Konflik
Agraria dan Dominasi Negara
Elfa Yenti ; Pengurus
Lembaga Indonesia Sejahtera, Aman dan Damai (Is'rad), Riau
SUMBER : SUARA
KARYA, 12 Juni 2012
Carut-marut pertanahan seakan tidak pernah usai dari percaturan
politik Indonesia. Hampir 80 persen konflik yang terjadi di Indonesia berlatar
belakang masalah tanah. Sebenarnya konflik pertanahan di Indonesia sudah
dimulai sejak zaman kolonial hingga sekarang.
Konflik tanah yang terjadi pada zaman kolonial terjadi antara para
petani dan pemerintah. Tanah petani pada waktu itu dikuasai secara paksa oleh
pemerintahan kolonial untuk kepentingan mereka. Seperti kita ketahui bahwa
tanah bagi para petani merupakan modal dasar bagi keberlangsungan hidup mereka.
Ironisnya, pemerintahan kita mengetahui tentang hal itu, tapi masalah
pertanahan di Indonesia sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda
perbaikan. Bahkan dari waktu ke waktu, masalah pertanahan makin parah dan
memprihatinkan, seperti kasus sengketa tanah di Meruya selatan, baru-baru ini.
Kalau kita perhatikan secara seksama, latar belakang konflik
pertanahan di Indonesia khususnya di daerah pedesaan banyak bersumber dari
perebutan tanah antara perkebunan (negara, swasta) dan rakyat petani. Konflik
tersebut berawal dari lahirnya hak erpacht yang kemudian dikonversi menjadi Hak
Guna Usaha (HGU) pada tanah perkebunan. (Musta'in, 2006).
Berangkat dari adanya kebijakan erpacht tersebut, lahan produktif
yang dikuasai oleh pengusaha semakin meluas, tidak terkecuali tanah yang
semulanya dikuasai oleh para petani telah beralih tangan kepada pengusaha.
Entah itu pengambil-alihan secara paksa maupun dengan campur tangan pemerintah
dengan kebijakan HGU-nya. Berangkat dari sinilah, perlawanan-perlawanan para
petani dalam mempertahankan tanahnya mulai timbul.
Besarnya peran dan intervensi negara terhadap para petani membuat
posisi petani semakin terjepit, ditambah lagi pengaruh kekuatan pasar. Sekarang
ini, yang dihadapi oleh petani dalam mempertahankan tanahnya bukan negara
semata, tapi juga kekuatan pasar global (global
capitalism) yang pengaruhnya cenderung meningkat. Kekuatan pasar global
mampu menyedot siapa saja ke dalamnya. Penawaran-penawaran yang dilontarkan
oleh kekuatan pasar mampu menggeser tatanan nilai yang sudah mapan sekalipun.
Konspirasi antara negara dan pasar dari hari ke hari semakin
menyudutkan posisi para petani. Tidak sedikit para petani yang kehilangan tanah
mereka. Tanah yang semula dikuasai oleh petani telah beralih tangan kepada para
pengusaha, sehingga para petani dipaksa untuk hidup dengan keterbatasan lahan
pertanian. Kesenjangan penguasaan dan kepemilikan tanah dan terancamnya
eksistensi diri para petani pada gilirannya menjadi penyebab utama terjadinya
konflik pertanahan di Indonesia.
Akibat kesenjangan dan kebijakan-kebijakan negara yang tidak
menguntungkan kaum tani telah menyulut terjadinya gerakan radikalisasi kaum
tani. Perlawanan kaum tani sekarang ini telah berubah menjadi kekerasan massa
yang sering kali brutal, radikal, destruktif terhadap sasaran-sasaran yang dianggap
menjadi simbol-simbol kekuasaan (negara-pasar).
Gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani dari masa ke
masa mengalami perubahan. Radikalisasi gerakan petani dibagi menjadi beberapa
periode. Pertama, masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan masa transisi
(reformasi). Masing-masing masa tersebut memiliki corak dan arah perjungan yang
berbeda antara satu dan yang lainnya.
Pertama, radikalisasi petani era kolonial terjadi karena pengambil
alihan tanah (adat) secara paksa oleh negara untuk kepentingan penguasa tanah
oleh Belanda dan Inggris untuk usaha perkebunan. Bentuk radikalisasi petani
pada waktu itu berupa pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah, yang
dikenal dengan istilah 'Ratu Adil' yang mengemban misi membebaskan rakyat dari
kesengsaraan. (Kartodirdjo, 1984)
Radikalisasi petani pada era Orde Lama diakibatkan oleh intervensi
partai politik dalam mem-blow out
masalah tanah sebagai isu kepentingan partai. Sedangkan masa Orde Baru, tanah
dipandang sebagai bahan komoditas. Sedangkan radikalisasi gerakan petani masa
tansisi (reformasi) dicirikan dengan reklaiming akibat ketidak-jelasan
paradigma dalam penanganan sektor pertanian, sehingga nasib petani tetap
termarjinalisasi oleh para pemilik modal.
Perlawanan petani terhadap hegemoni negara dalam hal kepemilikan
tanah sampai sekarang belum menemukan arah perbaikan. Bahkan, sekarang ini,
negara semakin leluasa mengekploitasi para petani, dengan memanfaatkan
peraturan hukum yang keliru, negara dengan leluasa menguasai lahan yang
sebelumnya dikuasai oleh petani yang merupakan warisan nenek moyang mereka
telah berpindah tangan kepada para kapitalis. Bahkan yang paling ironis adalah
terjadinya perampasan tanah petani oleh negara dengan jalan sertifikat ganda.
Hal ini jelas-jelas mengindikasikan bahwa betapa buruknya sistem agrarian di
Tanah Air ini.
Banyaknya perpindahan lahan petani kepada para kapitalis sedikit
banyak telah mengubah kultur masyarakat kita. Kultur masyarakat yang semulanya
bersahaja, dan sentra pertanian dan perkebunan kini telah berubah menjadi
pembangunan pusat-pusat perbelanjaan modern seperti supermarket. Imbasnya jelas-jelas menjadikan masyarakat yang
konsumtif.
Dalam rangka menjembatani jangan terus berlanjutnya konflik
pertanahan di Indonesia, sekaranag ini sudah seharusnya pemerintahan pusat
maupun daerah melakukan pembaharuan sistem agraria. Jangan sampai konflik
pertahanan terus berlanjut dan memakan korban lebih banyak lagi. Sudah
seharusnya kita sama-sama menyatukan fisi dan misi dalam membangun sebuah
Negara yang harmonis, berdaulat, dan mempunyai system agraria yang baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar