Kode
Etik Dakwah
Ali Mustafa Yaqub ; Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta; Rais Syuriah PBNU
Sumber : REPUBLIKA,
14 Juni 2012
Pada
1996, Ittihadul Muballighin,
organisasi para mubaligh yang dipimpin KH Syukron Ma’mun menyelenggarakan
musyawarah nasional (munas). Salah satu keputusan penting yang diambil dalam
munas itu adalah merumuskan kode etik dakwah untuk para dai. Keputusan ini
diambil karena pada waktu itu mulai muncul dai walakedu (ju[w]al agama kejar
duit). Rumusan kode etik itu diharapkan dapat menjadi pedoman para dai atau
mubaligh dalam menjalankan dakwahnya sehingga mereka dapat mewarisi tugas para
nabi, bukan justru mendapat laknat dari Allah SWT dalam berdakwah.
Sekurang-kurangnya,
ada tujuh kode etik dakwah. Kode etik pertama, tidak memisahkan antara
perbuatan dan ucapan. Kode ini diambil dari Alquran surah al-Shaff ayat 2-3. “Hai
orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak
melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah SWT karena kalian mengatakan hal-hal
yang tidak kalian kerjakan.” Kode pertama ini juga diambil dari perilaku
Rasulullah SAW di mana secara umum beliau tidak memerintahkan sesuatu, kecuali
beliau melakukannya.
Kode
etik kedua, tidak melakukan toleransi agama. Toleransi antarumat beragama
memang sangat dianjurkan sebatas tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah. Dalam masalah keduniaan (muamalah), Islam sangat menganjurkan adanya toleransi. Bahkan, Nabi
SAW banyak memberikan contoh tentang hal itu, sementara toleransi dalam akidah
dan ibadah dilarang dalam Islam. Hal itu
berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Kafirun
ayat 6, “Bagi kamu agama kamu dan bagiku
agamaku.” Dalam Hadis Riwayat Imam
ibn Hisyam juga disebutkan, “Orang-orang
Yahudi Kabilah Bani Auf adalah satu bangsa bersama orang-orang mukmin, bagi
orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang mukmin agama mereka.”
Kode
etik ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini diambil dari surah al-An’am ayat 108. “Dan, janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.”
Kode
etik keempat, tidak melakukan diskriminasi. Ketika Nabi SAW masih berada di
Makkah dan mengajarkan Islam kepada orang-orang miskin, antara lain, Bilal
al-Habsyi, Shuhaib al-Rumi, Salman al-Farisi, dan lain-lain, tiba-tiba datang
kepada Nabi SAW sejumlah tokoh bangsawan Quraisy
yang juga hendak belajar Islam dari beliau. Namun, bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan
dengan rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi SAW untuk mengusir Bilal dan
kawan-kawannya itu. Nabi kemudian menyetujui permintaan tersebut, namun Allah menurunkan
ayat yang mengkritik perilaku Nabi itu, yaitu surah al-An’am ayat 52.
“Dan, janganlah kamu mengusir
orang-orang yang selalu menyembah Tuhannya pada pagi hari dan petang sedangkan
mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun
terhadap perbuatan mereka dan mereka tidak memikul tanggung jawab sedikit pun
terhadap perbuatan kamu yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka sehingga
kamu termasuk orang-orang zalim.”
Kode
etik kelima, tidak memungut imbalan. Kode
ini diambil antara lain dari Alquran surah Saba’
ayat 47. “Katakanlah, upah apa pun yang
aku minta kepadamu maka hal itu untuk kamu (karena aku pun tidak minta upah apa
pun kepadamu). Upahku hanya dari Allah. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Demikian pula perilaku para Nabi,
termasuk Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah, mereka tidak pernah memungut
imbalan, apalagi pasang tarif, tawar-menawar, dan lain sebagainya.
Kode
etik keenam, tidak mengawani pelaku maksiat. Para dai yang runtang-runtung,
gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk
melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Akhirnya, justru Allah SWT melaknat
mereka semua. Hal itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil seperti
diceritakan dalam surah al Maidah
ayat 78-79.
“Telah dilaknati orang-orang kafir
dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa bin Maryam. Hal itu karena mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan
mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya, sangatlah buruk apa yang mereka
lakukan itu.”
Dan,
kode etik ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kode etik
ini diambil dari surah al-Isra ayat 36. “Dan,
janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Karena, sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan di mintai
pertanggungjawabannya.”
Munas
Ittihadul Muballigin dengan keputusan
kode etik dakwah telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak
demikian, justru semakin mendekat ke hari kiamat fenomena munculnya dai walakedu semakin ramai. Bahkan, sering
dibarengi dengan apa yang disebut dengan management
wa lakedu. Wallahul muwaffiq. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar