Islamofobia
dan Anti-Barat :
Sama-Sama
Ideologi Ekstremis
( Wawancara
)
Masykuri Abdillah ; Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pengamat Hubungan Antarumat Beragama
SUMBER : REPUBLIKA,
3 Juni 2012
Ketika
Islamofobia menghantui rasa aman dan disikapi dengan mispersepsi, ia tak akan
pernah terselesaikan. Gagasan tersebut disampaikan oleh dosen UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang juga pengamat hubungan antarumat beragama, Prof Dr
Masykuri Abdillah kepada wartawan Republika Devi A Oktavika belum lama ini.
“Baik
Islamofobia di kalangan Barat maupun anti-Barat di kalangan Islam telah menjadi
ideologi kelompok ekstremis yang saling terkait dan memengaruhi,“ katanya. Ia
berharap, dari segi internal, umat Islam perlu memperbaiki pemahaman tentang
Islamofobia itu sendiri. “Lalu menunjukkan sikap yang jauh dari konflik.“
Berikut petikan selengkapnya perbincangan dengan akademisi kelahiran Weleri,
Kendali, Jawa Tengah, pada 22 Desember 1958 ini.
Apa
sesungguhnya pengertian dari Islamofobia?
Islamofobia
adalah ketakutan dan kebencian terhadap Muslim dan Islam yang berakibat pada
munculnya sikap dan tindakan diskriminatif terhadap Muslim serta yang
menjauhkan mereka dalam konteks kehidupan sosial dan ekonomi. Dan, ia bisa
berubah menjadi tindakan kekerasan atau kriminal terhadap Muslim.
Islamofobia
juga menganggap Islam sebagai agama tanpa nilai-nilai dan budaya yang umumnya
dimiliki masyarakat beradab sehingga Islam dianggap inferior terhadap Barat. Dalam
pandangan mereka (yang membenci Islam), Islam itu bengis, tidak rasional,
primitif, diskriminatif terhadap perempuan, dan lain sebagainya. Bahkan, tak
jarang mereka menganggap Islam lebih sebagai ideologi politik yang keras atau
bengis daripada sebagai sebuah agama.
Istilah
dan pengertian Islamofobia ini menjadi isu yang kontroversial dan ia merupakan
bagian dari xenophobia (kebencian terhadap barang atau orang asing) yang
disamakan dengan rasisme. Satu pendapat berbeda tentang Islamofobia dikemukakan
Fred Halliday yang mengatakan bahwa ketakutan dan kebencian tersebut tidak
ditujukan kepada semua Muslim, tetapi hanya kepada kelompokkelompok Islam
radikal dan ekstremis.
Apa
faktor yang memengaruhi dan mendorong munculnya Islamofobia?
Jadi,
istilah Islamofobia sebenarnya telah muncul sejak awal dekade kedua abad 20.
Istilah itu mulai disebut kembali terutama sejak 1980-an, yakni setelah
revolusi Iran pada 1978. Revolusi itu kadang-kadang disertai slogan
“Anti-Amerika dan Barat“ karena mereka (Amerika dan Barat) dianggap mendukung
rezim Shah Reza Pahlevi yang dianggap zalim. Pada masa inilah istilah
Islamofobia secara akademik mulai disosialisasikan. Antara lain, dalam
tulisan-tulisan Edward Said tentang orientalisme untuk menggambarkan persepsi
sebagian masyarakat Barat terhadap Islam dan Muslim.
Istilah
Islamofobia semakin populer pascaperistiwa penyerangan menara kembar WTC pada
11 September 2001 oleh Alqaidah, ditambah sejumlah kekerasan dan teror kelompok
ekstremis Islam yang jumlahnya sebenarnya sangat minoritas. Semua itu
memperkuat anggapan dan prasangka (prejudice) sebagian masyarakat Barat
terhadap Muslim dan Islam yang memosisikan Islam sebagai agama bengis yang
mendukung terorisme.
Prasangka
itu menguat ketika semakin banyak Muslim yang berimigrasi ke Amerika dan Eropa.
Kehadiran mereka menimbulkan ketakutan akan adanya “Islamisasi Eropa“ atau
“Islamisasi Amerika“. Karena itu, masyarakat Barat merasa Muslim harus dibenci
dan dijauhkan dari kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Sebagai reaksi, slogan
“Muslim harus keluar dari Eropa“ atau “Setop Islamisasi Amerika“ pun
dimunculkan. Itu adalah wujud dari Islamofobia. Contoh lainnya adalah
pembantaian terhadap 77 orang di Norwegia oleh Anders Behrig Breivik tahun
lalu, meski ia bertindak secara individual.
Lalu,
apa yang membuat prasangka itu berkembang sehingga Islamofobia tetap ada hingga
sekarang?
Persepsi
dan prasangka tersebut dimunculkan terutama oleh adanya misinformasi tentang Islam
dan Muslim, baik oleh media, tokoh, maupun organisasi tertentu. Pelaku
Islamofobia itu ada kalanya berlatar belakang agama, seperti ekstremis Kristen,
yang mengkhawatirkan terjadinya Isla misasi.
Namun,
ada kalanya pula, Islamofobia ditunjukkan oleh kelompok kanan sekuler yang
khawatir Eropa diwarnai budaya Muslim dan Arab. Dalam konteks ini, para
pendukung Islamofobia dengan politik identitasnya melakukan penyebaran
informasi tentang Islam dan Muslim dengan stereotip negatif serta
mengampanyekan anti-Islam dan anti-Muslim. Mereka terdiri atas para sarjana (scholars), aktivis, politikus, media,
dan penyandang dana.
Di
Amerika, beberapa tokoh pendukung Islamofobia dari kelompok scholars adalah Daniel Pipes dengan
lembaganya Middle East Forum dan juga
Robert Spencer dengan lembaganya Jihad
Watch & Stop Islamization of America. Dari kelompok aktivis, ada
Brigitte Gabriel (Nour Saman) dengan lembaganya ACT for America dan David Horowitz dengan Freedom Center-nya.
Sementara
itu, di Eropa, ada sejumlah tokoh partai yang beraliran kanan, seperti Geertz
Wilders (Belanda), Jean-Marie Le Pen (Prancis), dan Filip Dewinter (Belgia).
Nah, mereka semua itu, baik yang berlatar belakang agama maupun yang berlatar
politik, adalah para pendukung Islamofobia.
Melihat
fakta yang ada, seberapa parahkah Islamofobia yang sedang kita hadapi saat ini?
Menurut
saya, jumlah orang Barat (Amerika dan Eropa) yang fobia pada Islam sebenarnya
minoritas. Mayoritas sisanya adalah orang-orang yang cukup toleran terhadap
keberadaan Muslim, meski dari segi pendapat atau perasaan mungkin cukup banyak
juga yang tidak nyaman dengan keberadaan Muslim.
Hasil
jajak pendapat yang dilakukan Pew
Research Center menunjukkan, pada 2010 jumlah orang Amerika yang memiliki
pendapat tidak baik tentang Islam (unfavorable
opinion of Islam) sedikit mengalami kenaikan menjadi 38 persen dari
persentase lima tahun sebelumnya, yakni 36 persen. Sedangkan, jumlah mereka
yang memiliki pendapat baik atau menyenangkan (favorable opinion) mengalami
penurunan dari 41 persen menjadi 30 persen.
Indikasi
apakah yang ditunjukkan hasil jajak pendapat tersebut?
Dalam
hal ini, menurut hemat saya, perlu dibedakan antara pendapat tidak baik (yang
dalam sikapnya masih bisa toleran) dan sikap kebencian terhadap Islam
(Islamofobia) yang pasti tidak toleran. Dan, terkait persoalan ini, sebenarnya
ada dua hal yang perlu kita cermati. Pertama, Islamofobia yang dimiliki
sebagian kecil orang Barat terhadap Islam dan Muslim. Dan, kedua, sikap
anti-Amerika/Barat yang dilakukan juga oleh minoritas umat Islam.
Keduanya
kini menjadi ideologi kelompok ekstremis dan keduanya saling terkait. Jadi, di
samping dipengaruhi oleh faktor internal, munculnya Islamofobia juga
dipengaruhi ekstremisme kelompok Islam tertentu yang memiliki slogan
anti-Amerika atau anti-Barat. Pun demikian sebaliknya, ekstremisme Islam, di
samping dipengaruhi oleh faktor internal juga dipengaruhi oleh sikap Amerika
atau Barat yang sebagian kebijakannya dinilai anti-Islam.
Dengan
demikian, teori Clash of Civilizations
(benturan peradaban) yang dikemukakan Huntington dalam tingkat tertentu
sebenarnya sudah terjadi. Meski, faktor utamanya bukan pada perbedaan
peradaban, melainkan lebih pada politik kepentingan dan politik identitas.
Lantas
apa yang harus kita lakukan sebagai respons dan sikap atas Islamofobia?
Sampai
saat ini, tidak satu pemerintahan pun di Barat yang mendukung Islamofobia,
kecuali barangkali jika partai-partai kanan tersebut menang dalam pemilihan
umum. Memang ada kecenderungan kenaikan suara partai-partai kanan di Eropa. Tetapi,
terlepas dari itu, pemerintah dan masyarakat sipil di negara-negara Barat telah
berupaya melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap munculnya
Islamofobia.
Uni
Eropa dan Dewan Eropa pernah mengeluarkan deklarasi untuk melawan genosida, pembersihan
etnis, rasisme, antisemitisme, Islamofobia, dan xenofobia. Majelis Parlemen
Dewan Eropa juga pernah memberikan rekomendasi bahwa diskriminasi terhadap
Muslim tidak bisa ditoleransi di Eropa karena melanggar Konvensi HAM Eropa.
Selain
itu, sejumlah LSM juga dibentuk untuk melawan Islamofobia, baik oleh kalangan
Kristen maupun Muslim, seperti Forum Against Islamophobia and Racism (FAIR)
yang berbasis di London. Sementara itu, kalangan Muslim sendiri berupaya
melakukan integrasi sosial dengan menjadikan Islam dan Muslim sebagai bagian
dari Eropa dan Amerika.
Selain
sebagai respons dan upaya solutif, upaya-upaya tersebut juga perlu dilakukan
sebagai bagian dari aksi preventif. Di tingkat internasional maupun regional,
misalnya, dialog-dialog antaragama dan antarbudaya banyak dilakukan untuk
menghindari terjadinya konflik antarperadaban atau antaragama.
Hanya,
memang di beberapa negara masih ada sejumlah kebijakan yang dinilai mengandung
prasangka buruk terhadap Muslim. Kebijakankebijakan semacam itu dibuat atas
nama tindakan preventif terhadap munculnya terorisme. Dan, kampanye serta
realisasi war on terrorism (perang
terhadap terorisme) yang dilakukan secara berlebihan tidak jarang menjadi
bentuk Islamofobia itu sendiri dan mendorong pada fobia tersebut.
Karena
itu, penyelesaian perlu dimaksimalkan melalui penegakan hukum. Di tingkat
dunia, misalnya, penyelesaian persoalan Palestina dan Israel saya rasa akan
dapat mengikis Islamofobia. Karena, meski sesungguhnya akar permasalahan yang
menonjol dalam kasus Palestina-Israel-Amerika adalah kepentingan politik dan
ekonomi, masyarakat garis keras tertentu memersepsikannya sebagai bentuk
anti-Islam. Mispersepsi adalah salah satu faktor penyebab Islamofobia.
Di
lingkup negara pun demikian, pemerintah harus bisa menegakkan hukum yang
menghindarkan masyarakat dari konflik antaragama serta hal-hal yang memicunya.
Pemerintah Inggris pernah menindak tegas seorang warganya yang memasang pamflet
berisi jargon anti-Muslim. Itu bisa jadi contoh.
Di
tingkat individu?
Saya
rasa masing-masing perlu memulainya dari dua hal mendasar. Pertama, dari segi
pemahaman, kita perlu belajar untuk tidak saling memaksakan budaya dan nilai
tertentu berdasarkan agama yang kita anut. Selanjutnya, dari segi sikap,
masingmasing seharusnya dapat menunjukkan hal-hal yang lebih bersahabat. Mengapa? Karena
sebagaimana telah saya singgung di depan, sikap yang salah terhadap Islamofobia
justru bisa memicu Islamofobia yang lebih besar dan luas.
Disadari
atau tidak, sesungguhnya budaya Barat di dunia Islam lebih dominan daripada
budaya Islam di dunia Barat. Bahkan, tak jarang orang Islam “lebih Barat“ dari
orang Barat sendiri yang terlihat dari cara berpakaian, pemikiran, dan
sebagainya. Hal itu seharusnya memunculkan konklusi realistis tentang betapa globalisasi
memungkinkan sosialisasi dan akulturasi yang semakin global. Dan, untuk menghadapi itu diperlukan pemahaman yang multikultur.
Dalam
Islam sendiri kita mengenal ukhuwah
Islamiah (ikatan dalam Islam), ukhuwah
wathaniah (ikatan dalam negara, sebagai bangsa), dan ukhuwah insaniah (ikatan kemanusian, sebagai individu dan makhluk
sosial). Itu modal penting untuk mengembangkan pemahaman tentang Islam sebagai
agama damai dan cinta, rahmatan
lil'alamin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar