Hukum
Tidak Bisa Diintervensi
(
Wawancara )
Aswin Rizal Harahap ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
SUMBER : KOMPAS, 2
Juni 2012
Pemberian grasi terhadap narapidana narkoba
pembawa 4,2 kilogram ganja asal Australia, Schapelle Corby (34), mengejutkan
sejumlah kalangan. ”Sekali lagi, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang
bertentangan dengan keinginan masyarakat,” ujar Aswanto, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Rabu (30/5).
Pemerintah semestinya tidak mencampuradukkan
hukum dengan politik demi alasan apa pun. Idealnya, hukum tidak pandang bulu,
hukum tidak tebang pilih, dan hukum tidak bisa diintervensi. Aswanto berpendapat,
penegakan hukum di negeri ini, meskipun telah memasuki 14 tahun era reformasi,
masih jauh dari kondisi itu.
Ia pun mengemukakan pandangannya terhadap
hukum di Tanah Air, mulai dari kinerja aparat penegak hukum hingga kasus
korupsi yang kebanyakan justru membelit mereka. Berikut percakapan tersebut.
Bagaimana penegakan hukum di negara kita?
Harus diakui penegakan hukum di Indonesia
karut-marut. Hampir semua lembaga penegak hukum, mulai dari kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, hingga pengacara, tidak
menerapkan sistem keterpaduan demi mencapai tujuan penegakan hukum (integrated
criminal justice system). Selama ini polisi, misalnya, hampir tidak pernah
membuat surat penyampaian dimulainya penyidikan (SPDP) karena tidak ingin
dikontrol oleh jaksa ketika menyidik suatu perkara. Padahal, hal itu
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kalaupun ada, SPDP biasanya diserahkan
bersamaan dengan penyerahan berkas apabila memang kasus itu benar- benar
berlanjut. Artinya, setiap saat polisi bisa menghentikan penyidikan tanpa
sepengetahuan jaksa. Itulah mengapa banyak sekali praktik jual-beli hukum.
Anda yakin praktik jual-beli menyandera
hukum?
Kebetulan disertasi saya tentang praktik
jual-beli putusan di pengadilan. Sejumlah pengacara yang telah menangani
ratusan kasus umumnya mengakui mereka membayar hakim untuk memenangi kasus. Di
Pengadilan Negeri Jeneponto beberapa tahun lalu, misalnya, seorang tersangka
korupsi dibebaskan hanya karena hakim ketua menganggap dia tidak korupsi.
Padahal, dua hakim anggota lain menilai orang itu terbukti korupsi. Ini
sebagian fakta bahwa penegakan hukum kita masih karut-marut di segala lini.
Apa dampak dari penegakan hukum yang
karut-marut itu?
Implikasi terbesar tentu saja pelanggaran hak
asasi manusia. Orang yang sebenarnya tidak salah justru dihukum, begitu pula
sebaliknya. Bahkan sering kali lembaga peradilan digunakan sebagai ajang
pembunuhan karakter. Biasanya muncul menjelang pemilihan kepala daerah ketika
ada calon ingin menjatuhkan lawan politik. Kesalahannya cenderung dicari-cari,
seperti ijazah palsu atau korupsi yang lemah pembuktiannya.
Apa yang perlu dibenahi untuk mengatasi
karut-marut itu?
Seorang atasan perlu terus-menerus
menyadarkan anggotanya yang keliru. Kesadaran moral dibutuhkan untuk membongkar
sistem yang menghambat kiprah penegak hukum yang benar-benar berkomitmen dan
”bersih”. Masyarakat pun lambat laun akan mencontoh keteladanan aparat yang
kredibel dalam menjalankan tugasnya.
Apakah hal ini juga berlaku pada aparatur
pemerintah?
Ya, tentu saja. Bagaimana roda pemerintahan
dapat berjalan dengan baik kalau di dalamnya banyak pejabat yang tidak kompeten
sehingga ujung-ujungnya terlibat korupsi. Kalau saja dari awal Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menempatkan orang-orang profesional dalam jajaran
kabinet, tidak akan jalan di tempat seperti sekarang ini. Masyarakat bisa lebih
merasakan manfaat program-program pemerintah karena SBY tidak disibukkan dengan
urusan korupsi para anggotanya.
Lalu bagaimana dengan penanganan korupsi?
Kalau kita mau jujur, pemberantasan korupsi
yang disentuh penegak hukum kebanyakan baru korupsi administratif
(administrative corruption) yang relatif kecil, seperti penggelembungan dan
penyimpangan dana APBD. Padahal yang paling pokok diselesaikan justru korupsi
yang terjadi karena perbuatan kolutif antara pejabat pemerintah dan pengusaha,
seperti Bank Century. Meskipun sulit dilawan karena melibatkan penguasa dan
dukungan dana dari pengusaha, sebenarnya presiden bisa saja menuntaskan kasus
ini melalui jaksa agung.
Apakah ini artinya tidak ada iktikad baik
dari pemerintah?
Sikap yang ditunjukkan pemerintah belakangan
ini justru bertentangan dengan komitmen pemberantasan korupsi dan narkoba. Jauh
sebelum pemberian grasi terhadap Corby, pemerintah sempat mengajukan Rancangan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kontroversial.
Selain aspek jera, pemberantasan korupsi juga
harus memperhatikan aspek pembelajaran. Koruptor harus benar-benar disadarkan
bahwa perbuatan mengambil uang dan barang milik negara itu salah, berapa pun
jumlahnya. Hal ini menunjukkan pemerintah tidak memiliki konsep jelas tentang
pemberantasan korupsi. Mestinya pemerintah konsisten dengan komitmennya agar
tidak ada lagi orang yang berani mengambil kekayaan negara, sekecil apa pun
itu.
Bagaimana kondisinya, semakin memprihatinkan?
Nuansanya saja yang berbeda. Kalau saat Orde
Baru orang korupsi secara diam-diam, kini terang-terangan. Meski harus diakui
sisi positifnya saat ini kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi bisa
diseret ke pengadilan. Namun, sayangnya, hal itu tercoreng dengan maraknya
intervensi dari sejumlah pihak, baik itu menggunakan uang maupun kekuasaan.
Langkah apa yang paling efektif untuk meredam
karut-marut penegakan hukum?
Perlu perombakan radikal yang diawali dari
struktur pemerintahan. Bangunlah sistem presidensial secara benar tanpa
mekanisme koalisi yang kental nuansa transaksional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar