Hidup
Tanpa Kemewahan
M
Sobary ; Budayawan
Sumber :
KOMPAS, 27 Juni 2012
Gagasan mengenai ”hidup tanpa kemewahan” di
sini datang tidak dari kenangan akan ”hidup sederhana” yang sloganistik pada
zaman Orde Baru.
Keduanya bukan pasangan, bukan pula padanan
yang tepat. Hidup sederhana sudah gagal merespons kesenjangan sosial dan
pembangunan ekonomi, bahkan tetap menghasilkan golongan elite ekonomi yang
mewah dan golongan massa yang merana dalam kemiskinan tak berujung. Hingga
sekarang!
Hidup sederhana dulu itu lebih merupakan
sikap orang gugup menghadapi kegagalan mekanisme membagi ”kue” pembangunan
secara adil. Orang lupa, jalan pintas yang dianggap bijaksana semacam itu
terlalu moralistik dan karena itu tak operatif di lapangan. Jadi, membagi
secara adil sudah gagal; pilihan politik yang dijadikan jalan keluarnya pun
gagal.
Mungkin hal itu catatan penting: yang
moralistik, yang tampak megah dan memuaskan hati belum tentu mampu menjawab—dan
mungkin memang bukan jawaban—banyak urusan mendasar guna menata hidup kita
sehari-hari secara damai dan manusiawi. Pendeknya, ini orientasi nilai yang
bersifat serba lintas dan mengesampingkan banyak hal dalam hidup, yang tak
membuahkan rasa damai dan sifat manusiawi tadi.
Damai di sini harus dipahami dalam konteks dinamika
sosial politik sehari-hari yang kaya akan gejolak lautan kehidupan. Jadi, ia
hasil karya manusia dan bukan damai surgawi yang filmnya belum pernah kita
lihat. Jelas bahwa damai di sini fana, terbatas, dan tak mungkin sempurna.
Meski begitu, selama manusia tak peduli
etnisitas, kebangsaan, dan agama seseorang bisa mene- rimanya dengan baik, itu
sudah dianggap memadai. Saya kira, ini cocok dijadikan aspirasi kultural bagi
bangsa kita saat ini. Fakta demografis, mungkin juga politis, tentang golongan
minoritas yang bisa digertak setiap saat oleh siapa saja dan mayoritas yang
selalu merasa memiliki hak istimewa tetap kita catat, tetapi kita lupakan
secara bijaksana untuk membangun kehidupan yang damai dan manusiawi tadi.
Diperlukan komandan lapangan yang melek siang-malam dan pegang cemeti.
Tanpa Pahlawan
Apakah cemeti tak kontradiktif dengan
aspirasi tentang damai dan manusiawi tadi? Tunggu dulu. Cemeti itu kita anggap
peneguh cita-cita bersama, bukan penghalang. Selama tak digunakan berlebihan,
cemeti bukan cela karena jangan lupa: untuk jadi manusia di dalam dan melalui
suatu struktur yang kita biarkan garang dan liar sangat tak mudah. Cemeti
diperlukan setidaknya secara simbolis untuk mengurangi sifat garang dan liar
itu.
Idealnya memang kelembutan doa-doa, tetapi
hal itu hanya tepat untuk kehidupan para biarawan-biarawati yang sudah damai
dengan diri mereka sendiri. Dalam kehidupan yang garang, cemeti merupakan
”bahasa” yang lebih dipahami untuk mengingatkan siapa saja yang cenderung ingin
lebih berkuasa dan ingin menang sendiri. Bunyi ”cetar...” yang keras merupakan
simbol penegas kepada siapa saja bahwa ”kau bukan penguasa”. Dan ”cetar...”
lagi yang artinya sama: ”kau pun bukan penguasa”. Dan, komando tertinggi cukup
satu orang.
Pemimpin, komandan tadi, melek dan bekerja.
Dia tak memihak siapa-siapa, tetapi jelas tegas memihak nilai-nilai. Dia serius
menjagokan kedamaian dan kemanusiaan di atas yang lain. Dalam banyak hal, dia
bekerja mekanistis, tetapi dalam hal tertentu sangat manusiawi. Dia tak pernah
menang, tetapi juga tak pernah kalah.
Dalam hidup yang teratur, yang ”damai” dalam
ukuran yang disebut di atas, kalah-menang itu hanya ilusi. Seandainya pun
bermakna, kalah-menang tetap bukan orientasi nilai yang kita perjuangkan dan
bukan kiblat kehidupan yang kita tuju. Mungkin ini simbol Eropa, yang
film-filmnya antihero atau tak dimaksudkan untuk menciptakan ”hero” karena
Eropa mungkin tak lagi seremaja Amerika, yang mengutamakan otot Rambo dan sejenisnya
untuk jadi pahlawan pujaan. Kita sebaiknya mulai belajar matang dari dalam dan
mengutamakan kedamaian agar hidup ini, ya, hidup biasa: tanpa pahlawan.
Masyarakat sebaiknya terdiri atas orang biasa
semua yang derajatnya sama luhurnya, sama mulianya, dan setiap pihak
berkesalehan teruji: saleh di rumah ibadah, saleh pula di birokrasi dan jalanan
liar tanpa tatanan dan tanpa komandan penata.
Dalam masyarakat yang rusuh saat ini, setiap
orang, setiap kelompok—apa pun warnanya—diberi tempat di ruang publik secara
adil. Dengan begitu, tak ada yang diistimewakan dan dieluelukan seolah-olah
pahlawan bangsa serta tak ada yang dibiarkan terbuang. Gejolak sosial, di mana
pun, selalu lahir dari kelalaian menata ruang publik yang akomodatif, adil, dan
manusiawi tadi. Selama tak ada lagi pihak yang merasa dianggap atau
diperlakukan sebagai forgotten allay,
gejolak untuk tampil agar kelihatan menangan tak akan muncul.
Risiko politik dari keterbukaan memang
edan-edanan. Forum ini forum itu, kelompok ini kelompok itu, aliansi ini
aliansi itu bermunculan dengan semangat, seperti kuda lepas dari kandang.
Kematangan dan kedewasaan lenyap ditelan hawa nafsu untuk menang atas yang
lain. Kemampuan mawas diri—dan dalam hal tertentu perasaan malu—tak ada lagi.
Setiap orang, setiap golongan ingin tampil sebagai pemenang.
Sangat banyak pihak yang mendesak-desak pihak
lain menjadi pemimpin dengan dukungan palsu dari media dan ahli penata busana,
penata cara berbicara, serta cara yang berpura-pura menaruh perhatian kepada
pihak lain. Para pemimpin dan calon pemimpin beramai-ramai mengejar kepalsuan:
pamor di media. Dan, pamor itu bersifat sepuhan. Tak peduli apa kelak jadinya,
yang penting menang. Mereka tak menyadari, kemenangan sejati diukur dari
kemampuan membikin rakyat naik ”takhta”, cukup sandang pangan, dan damai. ●
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^