Gonjang-ganjing
Partai Demokrat
M
Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
Sumber :
REPUBLIKA, 25 Juni 2012
Gonjang-ganjing
alias kemelut politik tengah melanda Partai Demokrat, terutama pasca-kehadiran
dan ceramah Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada acara yang
diselenggarakan Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator (FKPD) Partai Demokrat
belum lama ini. Sebelumnya SBY telah bertemu dengan ketua-ketua Dewan Pengurus
Daerah (DPD) I se-Indonesia di kediamannya di Cikeas, suatu pertemuan yang
tidak dikenal dalam mekanisme formal Partai Demokrat.
Peristiwa-peristiwa
itu segera menyulut kontroversi. Seruan SBY, untuk kesekian kalinya, agar kader
partainya yang bermasalah untuk mundur, segera dikaitkan dengan upaya
marjinalisasi Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai. Pernyataan itu segera
ditafsirkan sebagai tekanan tidak langsung kepada Anas. Ketika elektabilitas
Partai Demokrat yang terpantu lembaga-lembaga survei anjlok dan penyebabnya
ditimpakan ke Anas, marjinalisasi kepadanya semakin gencar. Hanya saja, dari
perspektif demokrasi-konstitusional partai, caranya cukup ironis, kalau bukan
sarkastik.
Partai
ini memang sedang disorot habis karena kasus-kasus korupsi oknum-oknumnya.
Jelas, kasus-kasus hukum membuat persepsi publik negatif terhadap partai ini.
Tetapi, anjloknya elektabilitas Partai Demokrat tidak semata-mata disebabkan
oleh itu. Dapat dipahami ulasan Anas bahwa fenomena itu terkait dengan kinerja
pemerintah.
Menurutnya,
kepuasan publik yang memadai atas kinerja pemerintah adalah basis utama
keberhasilan partai pemerintah. Walaupun sangat logis, penekanan Anas itu
segera ditafsirkan bahwa ia tengah melakukan resistensi halus kepada SBY dan
kelompok penekannya.
Komunikasi Politik
Namun,
yang juga harus dilihat ialah kekompakan elite-elite Partai Demokrat,
sebagaimana ditunjukkan dari ragam pendapat dan ekspresi komunikasi politik
yang berimbas negatif terhadap partai. Publik melihat perpecahan tidak bisa
dibendung lagi, dan akhirnya mempersepsikan partai ini secara negatif.
Faksionalisasi memang selalu ada di partai politik manapun. Tetapi, manakala faksi-faksi terlalu bersemangat untuk berkonflik dan terus diekspoitasi ke media massa, maka imbas negatif pada partai akan membesar.
Faksionalisasi memang selalu ada di partai politik manapun. Tetapi, manakala faksi-faksi terlalu bersemangat untuk berkonflik dan terus diekspoitasi ke media massa, maka imbas negatif pada partai akan membesar.
Anas
belum terbukti terlibat atau ditetapkan sebagai tersangka kasus-kasus itu oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini artinya, Anas masih ketua umum partai
yang aktual dan memiliki ruang manuver terbuka, walaupun demokrasi internal
partai ini, sejak awal memposisikan ketua dewan pembina sebagai god father yang segera mengingatkan pada
Golkar masa lalu. Memimpin partai yang unik seperti Partai Demokrat, dalam perspektif
kemodernan partai politik, bagaimanapun tidaklah mudah, justru ketika kultur
patrimonialisme juga turut berkembang di sisi lain.
Anas
ditekan untuk mundur melalui berbagai upaya marjinalisasi politik kepadanya,
tetapi ia tetap bertahan. Justru di tengah sorotan yang menimpanya,
kapasitasnya sebagai pemimpin politik tengah diuji. Ia bukan politisi instan
yang tidak mengakar. Ia pemimpin politik berlatar-belakang aktivis yang punya
basis pendukung yang kuat di daerah-daerah, karena pandai berkomunikasi dan
memperkuat jaringan akar rumput partai. Karenanya dapat segera dipahami,
manakala Anas tidak menghadapi gejolak internal disebabkan desakan atau
tuntutan kongres luar biasa dari bawah. Selain, memang konstitusi partai tidak
memungkinkan untuk melakukan itu.
Yang
menjadi persoalan sekarang ialah bagaimana kata demokrat, sebagai suatu spirit
dasar partai ini, tercermin dalam dinamika internalnya. Demokrasi memang harus
berbasis etika politik, tetapi ia tetap dibingkai oleh koridor aturan main yang
pasti melalui konstitusi partai. Partai ini tak lepas dari figur SBY, bahkan
pada mulanya ia semacam klub penggembira yang bertumpu pada popularitas SBY.
Godaan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina untuk otoriter memang besar ketika
partai terlanda kemelut.
Gaya Mataraman
Tokoh
diperlukan dalam fungsi manajemen konflik. Tetapi, yang terpenting bagi suatu
partai modern ialah membangun kelembagaan partai. Prosedur dan mekanisme
demokrasi internal partai ini, karenanya, harus selalu dievaluasi.
SBY sendiri, tentu juga tidak cukup mudah untuk menampilkan kepemimpinan demokratisnya di internal partai. Ia sering menghadapi dilema dalam menghadapi ujian demokrasi internal partai yang dibentuknya itu.
SBY sendiri, tentu juga tidak cukup mudah untuk menampilkan kepemimpinan demokratisnya di internal partai. Ia sering menghadapi dilema dalam menghadapi ujian demokrasi internal partai yang dibentuknya itu.
Tentu
tidak sama persis, manakala gonjang-ganjing politik partai penguasa ini,
dikaitkan dengan politik Mataraman tempo dulu. SBY bukan Panembahan Senopati,
dan Anas bukan Ki Ageng Mangir yang melawan. Kepala Anas tidak identik dengan
kepala Mangir, ketika Panembahan Senopati hendak membenturkannya di atas kursi
singgasananya yang disebut watu gilang.
Walaupun demikian dinamika partai ini unik dan sinetrikal, justru ketika
kharisma berjumpa dengan aneka isu di dalamnya.
Dalam peta besar kompetisi politik Indonesia
jelang Pemilu 2014, ujian yang mendera partai ini sangat serius. Manakala
strategi keluar dari kemelut tidak memadai, ia akan terpental dari peta
rangking atas partai, dan turun sebagai partai menengah, kalau bukan kecil.
Manakala SBY, Anas, dan para elite politik lain terjebak dalam arena
konfliktual tak berkesudahan, maka semakin membuat kesempatan baik berlalu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar