Euro,
Krisis dan Irasionalitas Bola
Restu Iska Anna Putri ; Praktisi
Keuangan-Perbankan dan Bolamania
di Balikpapan
Sumber : KORAN
TEMPO, 23 Juni 2012
Nyaris semua media memberitakan perhelatan
akbar Euro 2012 atau Piala Eropa, yang digelar di Polandia dan Ukraina (8
Juni-1 Juli 2012). Semua mata, khususnya pecandu bola, rela memelototi satu
pertandingan ke pertandingan lain, meski harus begadang atau melek malam hari.
Euro 2012 jelas menjadi suguhan yang siap
membebaskan kita dari rutinitas dan banyak masalah pelik di dalam negeri. Mari
lupakan kisruh dua PSSI di level atas persepakbolaan nasional serta fanatisme
yang sampai merenggut nyawa di level bawah. Sejenak gegap-gempita perpolitikan
kita yang kian panas menjelang pemilihan presiden dan pemilihan legislatif
2014, juga pemilihan gubernur DKI, terlupakan karena Piala Eropa. Meski hanya
menjadi penonton, serasa kita ikut bermain dan terlibat tiap kali menontonnya
di televisi.
Mengukir Sejarah
Dengan slogannya "Creating History Together" (Mengukir Sejarah Bersama),
perhelatan Euro kali ini sudah mengukir. Sebab, sejak digelar pertama kali pada
1960 di Prancis dengan Uni Soviet sebagai juara, acara empat tahunan ini baru
digelar di Eropa Tengah dan Timur. Maklum, sebelumnya selalu diselenggarakan di
Eropa Barat. Polandia dan Ukraina adalah dua negara yang dulu hidup dalam rezim
komunis, tapi kini sudah menjadi negara kapitalis.
Lalu, menurut otoritas sepak bola Eropa UEFA,
Euro 2012 juga mencetak sejarah, mengingat untuk ketiga kalinya dihelat bersama
oleh dua negara yang saling berdekatan secara goegrafis. Seperti diketahui,
Euro 2000 digelar di Belanda dan Belgia, sedangkan Euro 2008 di Swiss dan
Austria.
Tak mengherankan jika Piala Eropa selalu ditunggu.
Kini Piala Eropa mungkin hanya kalah bersaing dengan Piala Dunia, yang sudah
digelar sejak 1930. Atau mungkin juga ada yang beropini, Euro malah lebih
menarik daripada Piala Dunia. Pasalnya, para pemain timnas negara yang bermain
di Euro lahir dari liga-liga terbaik di dunia, entah liga Inggris, Spanyol,
Italia, atau Jerman.
Apalagi, dari sisi peserta, jumlahnya juga
semakin bertambah. Sejak 1960 hingga 1976, hanya empat negara yang tampil di
putaran final setelah lolos dari babak kualifikasi. Seiring dengan waktu,
jumlah peserta putaran final meningkat menjadi delapan pada kurun 1980 hingga
1992. Dan jumlah peserta di putaran final meningkat menjadi 16 tim sejak 1996,
sehingga makin meriah (Simak logo Euro 2012).
Dengan maskotnya, Slavek (Polandia) dan
Slavko (Ukraina), diharapkan perhelatan Euro 2012 mampu menyedot lebih dari
setengah juta penonton di 8 stadion di 8 kota, serta miliaran penonton tayangan
langsung di televisi. Yang heboh, dari sisi uang yang dibagikan ke 16 peserta
juga tak bisa disebut kecil. Union of
European Football Association (UEFA) di bawah Presiden Michel Platini
menggelontorkan uang yang terbesar sejak 1960, yakni sebesar 196 juta euro atau
setara dengan Rp 2,35 triliun. Coba bandingkan dengan dana pembangunan
megaproyek untuk sport centre Hambalang sebesar Rp 1,1175 triliun.
Adapun perinciannya, setiap peserta Euro
entah kalah entah menang sudah dijatah 8 juta euro. Jika menang atau draw
saja, kocek juga bertambah. Bayangkan, untuk setiap kemenangan di penyisihan
grup mendapat 1 juta euro, draw setengah juta euro. Lolos ke perempat
final dapat 2 juta euro, lolos ke semifinal dapat lagi 3 juta euro, sedangkan
lolos jadi juara meraih 7,5 juta euro. Jadi, jika perjalanan sebuah timnas dari
babak penyisihan hingga final ada 6 pertandingan, total uang yang akan diraih
sang kampiun Euro 2012 mencapai 23,5 juta euro atau Rp 282 miliar.
Irasionalitas
Yang mungkin membuat tidak habis pikir adalah
bahwa perhelatan akbar Euro kali ini berlangsung di tengah krisis Eropa. Juara
Piala Eropa 2008, Spanyol, yang merupakan salah satu tim yang difavoritkan
untuk jadi juara kali ini, tengah terbelit utang yang besar. Menurut laporan Barclays Capital, beban utang Spanyol
akan naik dari level 68,5 persen pada 2011 menjadi 95 persen pada 2012. Italia,
salah satu tim favorit di Euro, juga terancam mendapat dana talangan karena
utangnya sudah mencapai 1,9 triliun euro. Kemarahan dan ketidakpuasan warga di
negara-negara yang dilanda krisis, seperti di Portugal dan Irlandia, kian
membuncah di dalam dada.
Seperti diketahui, akar dari krisis Eropa
bermula dari kesalahan desain Uni Moneter Eropa (EMU) yang menggunakan euro
sebagai alat tukar mulai 1 Januari 1999 bagi 17 negara anggota--yang ditetapkan
oleh Bank Sentral Eropa (ECB) yang didirikan pada 1998. Mengingat terikat pada
satu mata uang euro, masing-masing negara anggota jelas tidak bisa melakukan
devaluasi eksternal dengan mengubah nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang
asing.
Krisis Eropa bermula dari Yunani, yang
memasuki krisis pada kuartal kedua 2009 dengan kontraksi ekonomi 0,4 persen.
Utang nasionalnya mencapai 350 miliar euro, lebih besar dibandingkan dengan
penghasilan negara itu. " Bailout" atau dana talangan tahap I
senilai 110 miliar euro pada pertengahan Mei 2010 belum cukup untuk
menyelamatkan Yunani dari deraan krisis. Written-off (pemutihan utang)
Yunani yang diusulkan pun masih banyak dipertimbangkan dan belum menghasilkan
keputusan berarti. Kini sudah disiapkan bailout tahap II, tapi situasi
di Yunani masih serba tidak pasti. Salah satu ketidakpastian muncul dari hasil
pemilu 17 Juni 2012, yang mungkin saja menghasilkan pemerintahan baru yang akan
keluar dari zona mata uang euro.
Maka Uni Eropa terus menekan Yunani agar
tetap berkomitmen pada bailout tahap II atau keluar dari zona euro. Bila
pemerintah baru Yunani memutuskan keluar dari zona euro (Grexit), efek
dominonya akan mengancam ke mana-mana. Simak saja dampak dari krisis Eropa
sudah membuat ekspor Indonesia turun.
Tidak mengherankan jika krisis seperti itu
membuat sebagian kalangan di Eropa, khususnya yang tidak begitu suka pada sepak
bola, tampak sinis pada perhelatan sepak bola Euro. Mereka menilai sungguh
tidak bermoral berpesta di tengah krisis ekonomi. Namun Presiden UEFA Michel
berpendapat bahwa sepak bola tidak boleh dicampuradukkan dengan masalah politik
dan ekonomi. Bola memiliki hukumnya sendiri, meski harus diakui sepak bola
kadang memang irasional.
"Euro 2012 must go on," ujar
Platini, anak imigran asal Italia yang membela Prancis dan juara pada Piala
Eropa 1984. Sementara beberapa pemain dari negara-negara yang dilanda krisis
hebat, seperti Yunani, Irlandia, Portugal, dan Spanyol, malah berargumen bahwa
Euro bisa menjadi ajang hiburan di tengah krisis. Memang bagi yang berjaya atau
meraih kemenangan, apalagi sampai juara, pasti perhelatan Euro bisa menjadi
obat penawar krisis. Tapi bila malah tersingkir atau kalah, termasuk di putaran
pertama, sebagaimana dialami Irlandia, jelas rasa sakit akan bertambah pedih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar