Syah(wat)rini
Arswendo
Atmowiloto ; Budayawan
SUMBER
: SINDO,
26 Mei 2012
Apa
yang digunjingkan mengenai hubungan Syahrini, penyanyi, selebritas dengan pria
yang dikenalkan sebagai Bubu (ada yang menyebut sebagai Bubuhu, plesetan dari
Bo Bo Ho yang juga gundul), adalah busa dari bir yang dituang.
Akan
hilang dengan sendirinya. Menguap dan lenyap bersama semilirnya angin dalam
sekejap. Kalau Syahrini mau belajar dari perjalanan hidup Nia Daniati,atau Ibu
Megawati, hidupnya akan berbeda. Kecuali kalau memang hanya menginginkan
sensasi.
Prestasi-Populer
Di zaman penuh televisi,menurut seniman Andy Warhol, setiap orang mempunyai kesempatan untuk mendadak populer. Seorang yang bahkan tidak punya bakat menyanyi sama sekali bisa menjadi terkenal karena mengikuti American Idol. Keterkenalan atau popularitas yang diperoleh tak ada hubungannya dengan bakat dan atau kemampuan bernyanyi. Popularitasnya dicapai karena ia terlihat aeng, aneh, dan kontroversial. Bukan karena prestasi yang diraih dari disiplin profesi yang ditekuni.
Televisi khususnya, media massa umumnya, dan terutama juga apa yang kemudian kita kenal sebagai media sosial tidak terlalu membedakan kedua posisi prestasi dengan populer. Begitulah seorang Syahrini bisa terus menjadi bahan pembicaraan. Dan perempuan asal Sukabumi—atau Bogor ini menikmati dan memanfaatkan daya sihir dan pelintir pada dirinya. Soal dandanan rambut, alis mata, hubungannya dengan Anang, dan kemudian dengan yang dikenalkan sebagai Bubu, cucu keluarga Sultan Selangor, menjadikan dirinya “sesuatu banget.”
Kalau nanti tidak terbukti sebagai cucu Sultan, atau bukan siapa-siapa, atau pacar bayaran, itu bagian yang merisaukan pelaku atau yang dilibatkan. Kalau masih bisa ditutuptutupi selama masih menjadikan newsmaker, pembuat berita, akan dilakukan.Kalau tak menambah nilai berita, ya tinggal dibuka atau dibiarkan terbuka dengan sendirinya. Demikian juga halnya permainan syahwat—nafsu atau keberahian—yang merupakan berita “seksi”, termasuk pacar, atau mantan pacar, istri atau mantan istri—untung tak ada isilah mantan anak, dan atau calon atau bakal calon.
Semakin mengambang, semakin “seakan- akan”, semakin menjadi busa perbincangan. Tidak setelah ada kepastian, misalnya pernikahan. Gosip Anang- Ashanty sekarang ini berhenti. Sampai ada peristiwa lain yang tak dikehendaki. Masih akan begitu karena bagi newstainment tetap berlaku bad news is good news, heboh asmara adalah berita, sementara kerukunan rumah tangga adalah berita basi.
Inilah yang dimanfaatkan dengan jitu oleh Syahrini dengan munculnya Bubu. Berbeda banget dengan apa yang dialami penyanyi Nia Daniati— dengan pria Malaysia, atau juga Ibu Megawati—dengan pria Mesir, dengan positioning sang pria dengan cara yang kurang lebih sama. Kali ini Syahrani-Bubu bisa saja saling memanfaatkan atau saling memaafkan.
Industri-Karakter
Yang lebih menarik dipersoalkan adalah sisi beda antara popularitas seseorang dan prestasi yang membuatnya populer. Demikian tipis, tapi bisa membedakan secara luas dan dalam. Kalau ini dikaitkan keterlibatan— atau dilibatkannya artis, atau sengaja melibatkan diri— artis yangpopulerdalampemilihan umum.Baik tingkat kota-kabupaten atau tingkat nasional. Kadang menggelikan, bahkan bagi yang tak biasa geli,ketika wacana Jupe menjadi kandidat bupati Pacitan—yang mungkin tak dikenali secara geografis.
Atau contoh lain dari penyanyi dangdut. Atau, ah sudahlah. Tidak selalu mereka yang dikenal sebagai artis lebih buruk dari yang kemudian juga terbukti tidak mampu-mampu banget. Itu semua adalah penilaian the day after, sesudah peristiwa, karena yang penting bagi artis selebritas adalah berhasil mencapainya. Apa yang dilakukan, atau tidak dilakukan,para artis yang menjadi wakil rakyat membuktikan itu.
Bahwa yang penting masuk ke Senayan sebagai wakil rakyat yang terhormat. Komentar miring atau bahkan komentar rebah tak mengubah keberadaannya. Ini semua terjadi karena pengaruh tata nilai dan tata karma yang berlaku dalam dunia industri. Industrialisasi lebih—atau malah hanya— mengedepankan penyeragaman, bukan memperhitungkan pribadi atau karakter seseorang.
Kuantitas adalah nilai yang diperhitungkan, diperbandingkan, bukan kualitas. Industri mengaburkan karakter yang cemerlang sebagai satuan dengan sosok lain yang biasa-biasa atau kurang.Industri memberi dan membuat peta popularitas, berapa banyak yang menonton siapa. Berapa banyak ini tak dibedakan antara preman atau majikan, sarjana atau buta huruf, pejalan kaki atau penabrak, dan sebagainya.
Yang semua diseragamkan menjadi satu bagian yang sama dengan yang lain, dalam menonton acara. Begitulah popularitas seseorang atau sesuatu diciptakan. Kritis atas penghargaan pada prestasi, krisis atas munculnya karakter yang beragam, agaknya lebih memerlukan perhatian dan keterpihakan dalam strategi pendewasaan masyarakat secara keseluruhan. Inilah yang lebih kita butuhkan ketika membaca kisah- kisah Syahrini, atau Julia Perez, atau Dewi Persik, atau syahwatwan– syahwati,yang bisa datang dan pergi.
Tanpa itu, kita akan ikut mabuk dengan busa-busa yang berlebihan. Karena pada saat mabuk kita tak bisa membedakan popularitas dengan prestasi, kualitas dengan kuantitas, yang pada akhirnya tak bisa membedakan benar atau ngawur. ●
Prestasi-Populer
Di zaman penuh televisi,menurut seniman Andy Warhol, setiap orang mempunyai kesempatan untuk mendadak populer. Seorang yang bahkan tidak punya bakat menyanyi sama sekali bisa menjadi terkenal karena mengikuti American Idol. Keterkenalan atau popularitas yang diperoleh tak ada hubungannya dengan bakat dan atau kemampuan bernyanyi. Popularitasnya dicapai karena ia terlihat aeng, aneh, dan kontroversial. Bukan karena prestasi yang diraih dari disiplin profesi yang ditekuni.
Televisi khususnya, media massa umumnya, dan terutama juga apa yang kemudian kita kenal sebagai media sosial tidak terlalu membedakan kedua posisi prestasi dengan populer. Begitulah seorang Syahrini bisa terus menjadi bahan pembicaraan. Dan perempuan asal Sukabumi—atau Bogor ini menikmati dan memanfaatkan daya sihir dan pelintir pada dirinya. Soal dandanan rambut, alis mata, hubungannya dengan Anang, dan kemudian dengan yang dikenalkan sebagai Bubu, cucu keluarga Sultan Selangor, menjadikan dirinya “sesuatu banget.”
Kalau nanti tidak terbukti sebagai cucu Sultan, atau bukan siapa-siapa, atau pacar bayaran, itu bagian yang merisaukan pelaku atau yang dilibatkan. Kalau masih bisa ditutuptutupi selama masih menjadikan newsmaker, pembuat berita, akan dilakukan.Kalau tak menambah nilai berita, ya tinggal dibuka atau dibiarkan terbuka dengan sendirinya. Demikian juga halnya permainan syahwat—nafsu atau keberahian—yang merupakan berita “seksi”, termasuk pacar, atau mantan pacar, istri atau mantan istri—untung tak ada isilah mantan anak, dan atau calon atau bakal calon.
Semakin mengambang, semakin “seakan- akan”, semakin menjadi busa perbincangan. Tidak setelah ada kepastian, misalnya pernikahan. Gosip Anang- Ashanty sekarang ini berhenti. Sampai ada peristiwa lain yang tak dikehendaki. Masih akan begitu karena bagi newstainment tetap berlaku bad news is good news, heboh asmara adalah berita, sementara kerukunan rumah tangga adalah berita basi.
Inilah yang dimanfaatkan dengan jitu oleh Syahrini dengan munculnya Bubu. Berbeda banget dengan apa yang dialami penyanyi Nia Daniati— dengan pria Malaysia, atau juga Ibu Megawati—dengan pria Mesir, dengan positioning sang pria dengan cara yang kurang lebih sama. Kali ini Syahrani-Bubu bisa saja saling memanfaatkan atau saling memaafkan.
Industri-Karakter
Yang lebih menarik dipersoalkan adalah sisi beda antara popularitas seseorang dan prestasi yang membuatnya populer. Demikian tipis, tapi bisa membedakan secara luas dan dalam. Kalau ini dikaitkan keterlibatan— atau dilibatkannya artis, atau sengaja melibatkan diri— artis yangpopulerdalampemilihan umum.Baik tingkat kota-kabupaten atau tingkat nasional. Kadang menggelikan, bahkan bagi yang tak biasa geli,ketika wacana Jupe menjadi kandidat bupati Pacitan—yang mungkin tak dikenali secara geografis.
Atau contoh lain dari penyanyi dangdut. Atau, ah sudahlah. Tidak selalu mereka yang dikenal sebagai artis lebih buruk dari yang kemudian juga terbukti tidak mampu-mampu banget. Itu semua adalah penilaian the day after, sesudah peristiwa, karena yang penting bagi artis selebritas adalah berhasil mencapainya. Apa yang dilakukan, atau tidak dilakukan,para artis yang menjadi wakil rakyat membuktikan itu.
Bahwa yang penting masuk ke Senayan sebagai wakil rakyat yang terhormat. Komentar miring atau bahkan komentar rebah tak mengubah keberadaannya. Ini semua terjadi karena pengaruh tata nilai dan tata karma yang berlaku dalam dunia industri. Industrialisasi lebih—atau malah hanya— mengedepankan penyeragaman, bukan memperhitungkan pribadi atau karakter seseorang.
Kuantitas adalah nilai yang diperhitungkan, diperbandingkan, bukan kualitas. Industri mengaburkan karakter yang cemerlang sebagai satuan dengan sosok lain yang biasa-biasa atau kurang.Industri memberi dan membuat peta popularitas, berapa banyak yang menonton siapa. Berapa banyak ini tak dibedakan antara preman atau majikan, sarjana atau buta huruf, pejalan kaki atau penabrak, dan sebagainya.
Yang semua diseragamkan menjadi satu bagian yang sama dengan yang lain, dalam menonton acara. Begitulah popularitas seseorang atau sesuatu diciptakan. Kritis atas penghargaan pada prestasi, krisis atas munculnya karakter yang beragam, agaknya lebih memerlukan perhatian dan keterpihakan dalam strategi pendewasaan masyarakat secara keseluruhan. Inilah yang lebih kita butuhkan ketika membaca kisah- kisah Syahrini, atau Julia Perez, atau Dewi Persik, atau syahwatwan– syahwati,yang bisa datang dan pergi.
Tanpa itu, kita akan ikut mabuk dengan busa-busa yang berlebihan. Karena pada saat mabuk kita tak bisa membedakan popularitas dengan prestasi, kualitas dengan kuantitas, yang pada akhirnya tak bisa membedakan benar atau ngawur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar