Quo
Vadis Anas dan Demokrat?
Ridho
Imawan Hanafi ; Peneliti
Politik pada Soegeng Sarjadi Syndicate
SUMBER
: SINAR
HARAPAN, 26 Mei 2012
Sejak disebut-sebut dalam kasus dugaan suap
pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan dan sarana
olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, posisi Ketua Umum Partai Demokrat
Anas Urbaningrum seperti duduk di bandul ketidakpastian. Anas dihadapkan pada
situasi di mana ia dituntut mundur atau tetap bertahan. Posisi ini sungguh
dilematis, baik bagi Anas maupun Demokrat.
Tuntutan mundur muncul di kalangan internal
sebagai sebuah pilihan untuk menyelamatkan partai dari keterpurukan.
Bagaimanapun dugaan keterlibatan Anas dalam beberapa kasus berimbas pada citra
partai. Implikasi politik ini sangat riskan karena pemilu tidak menoleransi
penambahan waktu: dua tahun lagi. Artinya, kian tidak jelasnya status hukum
Anas sama halnya dengan menaruh molotov waktu bagi Demokrat.
Pilihan itu bukan tanpa dasar. Perkabaran
hasil survei yang dirilis beberapa lembaga tidak lagi selalu menempatkan
Demokrat sebagai partai pemuncak, posisi yang Demokrat raih pada pemilu 2009.
Salah satu penyebab merosotnya posisi tersebut adalah keterlibatan kader-kader
Demokrat dalam kasus korupsi yang membuat Demokrat dihukum opini publik.
Persoalan ini yang membuat gundah beberapa
petinggi Demokrat, terutama yang berseberangan dengan Anas. Mereka sadar betul
bahwa disebutnya Anas dan juga kader-kader lain dalam kasus korupsi adalah
sebuah ancaman partai. Pembiaran kondisi yang tak menentu seperti itu sama
artinya menggiring partai pada titik terendahnya. Kelompok ini menganggap sudah
saatnya bagi Anas tak lagi memegang kendali ketua umum.
Hanya saja, kelompok ini tidak memiliki
instrumen yang efektif untuk menurunkan Anas. Desakan mundur kepada Anas
dihalangi keringkihan pijakan, karena Anas sampai sejauh ini status hukumnya
masih dalam “posisi diduga-duga”, belum tersangka. Sementara itu, siasat untuk
menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) juga hanya menjadi wacana yang tak
bersambut. Ini karena Anas nyatanya memiliki legitimasi dukungan yang kuat di
daerah.
Dengan masih berstatus hanya diduga,
sementara basis dukungan di daerah Anas juga kuat, hal inilah yang menjadikan
ia masih kukuh bertahan. Anas masih percaya bahwa apa yang menimpanya tidak
lebih sebagai ujian politik. Selama statusnya seperti itu, Anas-lah yang
mengendalikan partai. Anas sepertinya juga yakin bahwa Ketua Dewan Pembina
Yudhoyono, tak akan menabrak garis konstitusi partai. Dengan kata lain, sebelum
status hukum Anas jelas, Yudhoyono dipastikan tak berani melangkah lebih jauh.
Untuk itu, posisi Anas yang seperti itu
membuat dilema tersendiri bagi Demokrat. Semakin ambangnya status Anas, semakin
limbung Demokrat. Merujuk Lees-Marshment dan Rudd (2003), pemimpin partai
merupakan aspek krusial dari produk partai. Ia menjadi komoditas politik yang
terus-menerus disorot media, publik, dan para politikus. Publik akan mencermati
bagaimana karakteristik personal, sikap politik dalam memimpin partai. Wajah
pemimpin akan mudah digiring sebagai wajah partai.
Yang bisa dilakukan saat ini oleh Demokrat
tampaknya masih menunggu kepastian status Anas. Solusi politik untuk Anas
sepertinya masih mampat, yang memaksa kondisi untuk membiarkan the game of
politics berjalan alami, meskipun pilihan ini tak dikehendaki petinggi
Demokrat. Sebuah pilihan yang tentu juga mengandung risiko politik tidak
ringan.
Pertama, kasus korupsi menjadi peluncur roket
bagi publik dan partai-partai lain untuk menghantam Demokrat dalam kontestasi
pemilihan umum. Demokrat dihadapkan dengan opini sebagai partai yang didiami
oleh kader-kader korup. Dua tahun adalah spasi waktu yang pendek bagi Demokrat
sebagai incumbent pemilu. Kegagapan menangani persoalan internal partai bisa menjadi
lahan subur bagi kompetitor untuk bersiap menerima limpahan suara Demokrat.
Kedua, situasi itu membuat Demokrat tidak
bisa leluasa melakukan konsolidasi internal. Konsolidasi akan sering dibayangi
“bisik-bisik” friksi internal yang mengganggu soliditas partai. Bayangan ini
akan menyasar pada legitimasi politik dan moral posisi ketua umum yang
disangkutpautkan kasus korupsi. Gegar soliditas ini semakin kentara dengan
sering munculnya perbedaan komunikasi politik masing-masing kader yang
substansinya saling berseberangan.
Ketiga, gangguan konsolidasi akan membuat
pengelompokan atau faksi yang berbeda-beda tidak makin mencair. Artinya,
situasi seperti ini mirip saat Demokrat melakukan hajat pemilihan ketua umum,
hanya saja tidak terlalu frontal terlihat di permukaan. Sebuah faksi di mana
masing-masing kekuatan saling tunggu untuk bisa menguasai keadaan.
Keempat, Demokrat akan dihadapkan pada
keterlambatan melirik nama-nama siapa yang hendak dikontestasikan dalam
pemilihan presiden nanti. Sejauh ini belum satu nama pun yang muncul dengan
basis dukungan memadai. Demokrat dalam hal ini masih terbalut situasi
membereskan internal kepartaian terlebih dahulu daripada mengusung siapa nama
kandidat capres. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar