Pendidikan Indonesia, Sebuah Evaluasi
Tracey Yani Harjatanaya, Dewan
Pembina Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda
SUMBER
: KOMPAS, 02 Mei 2012
PBB mengategorikan Indonesia sebagai negara
yang mampu mencapai target kedua program education for all-nya UNESCO, yaitu
pendidikan dasar yang universal sebelum 2015.
Namun, ini tak berarti kita dapat berpuas
hati. Isu kecurangan dalam ujian nasional (UN) yang selalu diperbincangkan
setiap tahun, misalnya, dapat menjadi tolak ukur jalannya keseluruhan sistem
pendidikan Indonesia yang masih jauh dari sempurna. Penugasan anggota
kepolisian dan penggunaan kamera pemantau guna mengawasi jalannya UN di sekolah-sekolah,
suatu hal yang tak pernah terjadi di negara lain, menunjukkan adanya
ketidakpercayaan publik akan sistem dan kualitas pendidikan Indonesia.
Empat Isu Pokok
Sekurang-kurangnya ada empat hal yang bisa
diperbaiki guna meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Pertama,
berhubungan dengan akses dan infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud di sini
tidak hanya mencakup sarana dan prasarana yang ada di lingkungan sekolah.
Dalam kaitan ini pemerintah harus dapat
menyediakan infrastruktur jalan dan transportasi yang memadai agar anak dapat
bersekolah dengan nyaman. Kasus anak-anak di Banten yang harus menantang maut,
menyeberangi jembatan yang runtuh di atas arus Sungai Ciberang yang deras agar
bisa sekolah, tak boleh lagi terjadi. UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara
mendapatkan pendidikan yang layak dan negara dalam hal ini berkewajiban
memenuhi hak itu.
Kedua, program pendidikan dasar gratis memang
dari segi kuantitas dapat dikatakan berhasil karena angka partisipasi siswa SD
hampir mencapai 100 persen, tetapi tidak dari segi kualitas. Badan Pusat
Statistik (2010) mencatat, 13 persen siswa SD tidak menyelesaikan pendidikan.
UNESCO di Global Monitoring Report 2011 juga melaporkan, 80 persen dari murid
kelas IV SD di Indonesia masih memiliki kemampuan membaca di bawah standar
internasional.
Ketiga, privatisasi dalam bidang
pendidikan—walau diperlukan untuk menunjang kinerja pemerintah—telah
memperlebar jurang pencapaian prestasi antara anak dari keluarga berkecukupan
dan anak dari keluarga tak mampu. Salah satu contoh dapat dilihat dari dominasi
siswa/siswi dari sekolah swasta yang meraih prestasi di ajang olimpiade ataupun
kompetisi bergengsi lain.
Ketimpangan ini dapat terjadi karena sekolah
swasta dengan uang sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah negeri
mempunyai anggaran lebih besar untuk terus memperbarui infrastruktur dan
fasilitasnya. Swasta juga memiliki daya tarik lebih kuat bagi calon guru dengan
kompetensi yang tinggi. Selain gaji yang lebih tinggi, lingkungan kerja pun
lebih baik.
Keempat, mengacu pada ketiga hal di atas,
dapat dipastikan kesetaraan akan kualitas pendidikan yang diterima oleh
siswa/siswi di seluruh pelosok Indonesia sulit tercapai. Padahal, pendidikan
seyogianya mempersiapkan siapa saja—baik yang terlahir di keluarga kaya maupun
miskin—untuk bisa mendapatkan kesejahteraan hidup.
Akan tetapi, tren masyarakat dan dunia kerja
yang menekankan pencapaian akademis membuat persekolahan yang bertumpu pada
ekonomi pasar secara tidak langsung berperan memperuncing ketidaksetaraan
ekonomi-sosial yang ada. Meminjam rumusan Pierre Bourdieu, anak dari keluarga
kaya punya tendensi untuk bertahan di piramida sosial atas karena mereka
ditunjang budaya keluarga yang sejalan dengan budaya dominan: materi dan
jaringan yang tidak dimiliki anak yang terlahir di keluarga miskin.
Walaupun keempat hal di atas masih menjadi
tantangan besar dalam dunia pendidikan Indonesia, bukan berarti hal tersebut
tidak dapat dibenahi. Bantuan pendidikan, seperti bantuan operasional sekolah
dan anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen dari total APBN/APBD, adalah
awal yang baik.
Momen Refleksi
Namun, tanpa arah yang jelas, komitmen dan
konsistensi dalam penerapannya dari semua pihak, masalah yang dipaparkan di
atas tak akan pernah terselesaikan. Pendidikan multikultural yang bertujuan
memberikan pendidikan bermutu bagi setiap anak—tanpa melihat latar belakang
sosial dan ekonomi—yang berlandaskan pada nilai demokrasi, kemanusiaan,
keadilan, dan kesetaraan bisa menjadi solusi yang cocok bagi negara multikultur
ini.
Sebagai salah satu generasi muda bangsa, saya
berharap pemerintah beserta para pemangku kepentingan pendidikan dapat
menggunakan momen Hari Pendidikan Nasional kali ini untuk refleksi diri akan
kinerja mereka. Evaluasi yang konstruktif juga perlu dilakukan untuk mendorong
terjadinya perubahan yang sistematis. Dengan begitu, impian Indonesia untuk
menunjukkan kepada dunia akan keberhasilannya dalam mencetak generasi muda yang
bermutu dan berkarakter baik dapat tercapai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar