Pemilu Kada dan Hantu Politik Uang
Umar Syadat Hasibuan; Dosen IPDN, Jakarta
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 03 Mei 2012
JAMES
Kerr Pollock pada 1932 menyatakan bahwa relasi antara uang dan po litik akan
terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan. Menurutnya,
kehidupan politik yang sehat mustahil diwujudkan, selagi uang secara tanpa
batas terus berbicara dalam kehidupan politik (Marcin Walecki, IFES, 2007:75).
Harus
diakui, peran uang memang kian vital dalam demokrasi modern, antara lain
digunakan dalam pembiayaan iklan, proses seleksi kandidat, penyelenggaraan
survei, dan juga mobilisasi pemilih selama kampanye. Namun, peran uang juga
dianggap kian membahayakan proses demokrasi ketika setiap parpol dan kandidat
terus berlomba-lomba menumpuk uang dengan berbagai cara untuk membiayai proses
pemenangannya. Beragam sumber uang haram, praktik pencucian uang, dan politik
uang terus dijalankan oleh parpol dan kandidat dalam memenangi pemilu. Karena
itulah reformasi pengaturan atas peran uang atau donasi politik menjadi agenda
yang paling krusial dalam menyehatkan sistem demokrasi.
Cermin Buruk
Sinyalemen
yang disampai kan James Kerr Pollock (1932) tampaknya benar dalam arena politik
lokal di Indonesia. Pertama, pemerintahan daerah yang menganut UU No 32/2004
tampak menunjukkan sejumlah kegagalan. Beberapa di antaranya, misalnya,
masifnya inefisiensi anggaran, perilaku korupsi APBD yang makin marak, dan
kinerja pemerintahan daerah yang terus terjun bebas.
Kedua,
ketika kekuasaan identik dengan kewenangan atas pengelolaan keuangan negara,
sumber pendapatan, dan aset negara, uang menjadi perusak pola hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintahan provinsi, dan juga antara pemprov dan pemkab/
prov dan pemkab/ pemkot. Persoalan itu bersumber dari interpretasi kewenangan
yang berbeda, baik dari sudut pandang politik maupun birokrasi.
Ketiga,
pengelolaan dan akses terhadap kekuasaan keuangan pemerintahan daerah jugalah
yang harus diakui ikut merusak hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pascapemilu kada, banyak k kondisi pemerintah daerah k kian memprihatinkan
akibat konflik antara kepala daerah dan wakilnya. Selama pemberlakuan UU itu,
dengan mengacu kepada data Kemendagri (2010 dan 2011), 94% pasangan kepala
daerah yang kembali maju dalam pemilu kada pecah kongsi dan tak sedikit yang
saling berhadap-hadapan berebut posisi kepala daerah. Pada 2010, dari 244
pemilu kada yang digelar, hanya 19 pasangan kepala daerah yang harmonis maju
kembali. Kemudian pada 2011, dari 67 pemilu kada, hanya 6 pasangan yang
harmonis hingga akhir masa jabatan. Ada kecenderungan kuat, enam bulan setelah
pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, banyak yang tidak
harmonis dan saling berebut kewenangan.
Keempat,
masifnya politik uang serta perolehan dan pengelolaan dana kampanye dalam
pemilu kada kian menambah cermin buruk pelaksanaan demokrasi lokal di
Indonesia. Hampir dapat dipastikan, setiap pem ilu kada berlangsung, politik
uang, per olehan, dan pengelolaan dana kampa nye selalu terjadi.
Perlu Ditata Ulang
Mengingat
bahaya relasi uang dalam demokrasi lokal di Indonesia, perubahan regulasi
pemilu kada perlu dilakukan. Pertama, dengan memperketat seleksi sosok calon
kepala daerah. Hal itu terutama terkait dengan track record-nya dalam kasus-kasus korupsi dan perolehan
sumber-sumber kekayaan, apakah dilakukan dengan legal atau ilegal, termasuk
misalnya karena memanfaatkan jalur politik kekerabatan. Sebagaimana yang jamak
kita jumpai, politik kekerabatan memicu masifnya jaringan politik uang dan
penyalahgunaan dalam pengelolaan sumber-sumber keuangan negara.
Dalam
RUU Pemilu Kada, hal itu dilakukan dengan memasukkan sejumlah ketentuan baru
yang lebih ketat (Pasal 70). Beberapa ketentuan baru seperti `tidak mempunyai
ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping
dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan dan
menyampaikan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan kepada
publik'. Langkah tersebut penting untuk meminimalisasi potensi KKN baru yang
dilakukan secara sistematis dan terstruktur oleh para dinasti politik.
Selama
ini korupsi secara legal dijalankan para dinasti politik lokal melalui
mekanisme pembagian dana bantuan sosial dan dana hibah. Selain itu, korupsi
juga dilakukan dengan pola-pola pengerukan APBD untuk kepentingan proyek-proyek
keluarga para dinasti politik, baik melalui jalur yang `seakan resmi' mau pun
melalui `penyedotan' `penyedotan' yang dilaku kan melalui BUMD yang telah
dikuasai keluarga dinasti politik.
Kedua,
RUU Pemilu Kada juga memberikan pengaturan yang lebih baik menyangkut dana
kampanye. Pemberian sanksi atas mekanisme atas mekanisme perolehan dan
pelaporan dana kampanye lebih tegas dan berat. Langkah maju ini misalnya dengan
memasukkan ketentuan seperti pemberian sanksi tidak hanya kepada kandidat
kontestan (Pasal 165 ayat 6), tetapi juga kepada donatur politiknya (Pasal 165
ayat 7) dengan hukuman yang lebih berat. Sanksi berat terkait dengan dana
kampanye juga ditujukan kepada mereka yang memberikan laporan yang tidak benar
(Pasal 165 ayat 8). Bahkan calon yang menerima sumbangan dana kampanye dan
tidak melaporkan kepada KPU dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara dipidana
dengan penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 48 (empat
puluh delapan) bulan serta denda sebanyak tiga kali dari jumlah sumbangan yang
diterima (Pasal 165 ayat 9).
Ketat dan transparan
Aturan
terkait tentang dana kampanye dalam RUU Pemilu Kada sebenarnya masih belum
memadai. Untuk menghilangkan hantu politik uang dalam pemilu kada, semestinya
dibutuhkan pengaturan dan sanksi tidak hanya terkait dengan dana kampanye,
tetapi juga kewajiban audit dan transparansi para kepala daerah dan pejabat
daerah, termasuk para keluarganya dalam garis dinasti selama dirinya menjabat.
Dengan
aturan lebih ketat, hal itu nantinya akan mengurangi potensi terjadinya politik
uang, baik dari level hulu maupun level hilir, baik menjelang dilakukan pemilu
kada maupun selama lima tahun ketika kepala daerah tersebut memerintah. Jika
ditemukan indikasi adanya penyalahgunaan kewenangan demi kepentingan parpol
atau untuk menumpuk kekayaan pribadi dan dinastinya, mestinya ada sanksi tegas
yang diterapkan.
Kita
butuh regulasi yang lebih ketat dalam hal dana kampanye dan politik uang serta
pengelolaan keuangan negara oleh pejabat politik, mengingat betapa uang bisa
membawa malapetaka bagi demokrasi di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar