In Memoriam Prof Dr A Teeuw
Kenangan
kepadamu
Terentang
dari Leiden hingga Jakarta
Suryadi
; Leiden University Institute
for Area Studies, Leiden, Belanda
SUMBER
: KOMPAS,
26 Mei 2012
Hari Jumat, 25 Mei 2012, mulai pukul 11.00
waktu Leiden, Belanda, jenazah Prof Dr A Teeuw (91) dilepas di Marekerk (Gereja
Mere), Lange Mare 48, 2312 GS Leiden, untuk selanjutnya dikremasikan secara
pribadi oleh pihak keluarga almarhum.
Meski sudah meninggal sejak 18 Mei lalu,
kepergian akademikus dan kritikus sastra Indonesia terkemuka ini baru diumumkan
ke khalayak pada Kamis (23/5) pagi. Dalam kartu undangan sekaligus
pemberitahuan yang diterima para sejawat, murid, dan kenalannya di Leiden,
disebutkan bahwa penghormatan terakhir untuk Hans—panggilan akrab Prof A
Teeuw—dapat diberikan di Gereja Mere, Jumat siang. Selanjutnya, ”Hans wodts in daarna in besloten kring
gecremeerd” (Hans kemudian akan dikremasi secara pribadi).
Berita kematian A Teeuw mengagetkan para
murid, kenalan, dan para pembaca buku-bukunya di Indonesia, seperti dapat
disimak dari banyaknya ucapan belasungkawa di jejaring sosial Facebook sejak
Jumat lalu.
Memang, bagi para peneliti, kritikus dan
pencinta sastra Indonesia, nama Prof Dr A Teeuw tentu tidak asing lagi. Ia
adalah akademikus dan kritikus sastra Indonesia sangat terkemuka, yang telah
berjasa mengembangkan studi bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden,
Belanda. Semasa ia mengajar di sini (1959-1986), studi bahasa dan sastra
Indonesia sangat berkembang dan menggema ke seluruh dunia.
Peletak Fondasi
Andries ”Hans” Teeuw lahir di Gorinchem,
Provinsi Zuid-Holland, Belanda, pada 12 Agustus 1921. Ia meraih gelar doktor di
Universitas Utrecht tahun 1946 dengan disertasi berjudul Het Bhomakawya: een Oudjavaans gedicht. Tahun 1945-1947 A Teeuw
sering berada di Yogyakarta, saat cintanya kepada Bhomakawya mulai mendalam.
Setelah menjadi doktor, ia menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia (UI,
1950-1951) dan di University of Michigan, Amerika Serikat, tahun 1962-1963.
A Teeuw telah mengukir karier akademiknya
dengan sangat gemilang. Ia telah menerbitkan lebih dari 150 publikasi ilmiah
tentang bahasa dan sastra Indonesia (klasik dan modern, nasional dan daerah,
khususnya Jawa, Sunda, dan Melayu), baik yang ditulis sendiri maupun bersama
orang lain. Minatnya tidak terbatas pada sastra Indonesia modern, tetapi juga
sastra lisan dan sastra klasiknya.
A Teeuw telah berjasa meletakkan fondasi
kerja sama akademik Indonesia–Belanda di bidang ilmu-ilmu humaniora, khususnya
bahasa dan sastra Indonesia. Banyak kerja sama antara universitas-universitas
di Indonesia dengan Universitas Leiden telah dibuat semasa ia menjadi guru
besar dan ketua Jurusan Bahasa-bahasa dan Budaya-budaya Asia dan Oseania di
Universitas Leiden. Lusinan doktor bidang studi bahasa dan sastra Indonesia
telah lahir berkat sumbangan akademiknya.
Sepanjang kariernya, A Teeuw dekat dengan
masyarakat akademik Indonesia. Ia tidak hanya menulis buku-buku atau artikel
dalam bahasa Inggris, tapi juga rajin mengirimkan esai-esainya dalam bahasa
Indonesia ke harian-harian terkemuka di Indonesia (termasuk Kompas), sehingga
pikirannya dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas di Indonesia. Beberapa
bukunya juga diterjemahkan dan ditulis dalam bahasa Indonesia. Itulah sebabnya
namanya dikenal luas di Indonesia. Pada tahun 1975 UI menganugerahinya gelar
doktor honoris causa.
Sejak terjun di dunia akademik tahun 1940-an
sampai bulan-bulan terakhir sebelum meninggal, A Teeuw tidak pernah berhenti
berkarya. Bahkan sejak pensiun tahun 1986 ia tetap produktif menulis. Publikasi
terakhirnya (ditulis bersama Willem van der Molen) adalah sebuah artikel
berjudul ”A Old Javanese Bhomântaka and
its floridity” yang dipersembahkan untuk Prof Lokesh Chandra (2011).
Beberapa buku karya A Teeuw sudah begitu
dikenal oleh para peneliti sastra Indonesia. Sebutlah—untuk sekadar menyebut
contoh— Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (terbit pertama kali
dalam bahasa Inggris, 1967); Membaca dan Menilai Sastra (1992); dan Indonesia
antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1995). Kamus yang dieditorinya, Kamus
Indonesia-Belanda (GPU, 1991), yang merupakan versi Indonesia dari Indonesisch-Nederlandsch Woordenboek
(KITLV Press, 1990), telah beberapa kali dicetak ulang, dan sampai kini menjadi
pegangan utama para penerjemah dan mahasiswa Belanda yang ingin belajar bahasa
Indonesia.
A Teeuw telah menghasilkan beberapa publikasi
tentang Pramoedya Ananta Toer dan karya-karyanya. Bersama mantan muridnya yang kemudian
menjadi suksesornya sebagai profesor bahasa dan sastra Indonesia di Leiden,
Henk Maeir, ia gigih memperkenalkan pengarang terkemuka Indonesia itu dalam
wacana akademik internasional. Lewat upaya ini mereka berharap Pramoedya akan
dinominasikan sebagai peraih Hadiah Nobel. Namun, sampai akhir hayat yang
mempromosikan maupun yang dipromosikan, harapan itu tidak pernah jadi
kenyataan.
Yayasan A Teeuw
Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa
akademis A Teeuw, pada 1992 Koninklijk
Instituut voor Taal,- Land-, en Volkenkunde (KITLV) Leiden—lembaga
penelitian dan perpustakaan terkaya di dunia yang menyimpan literatur dan
berbagai jenis dokumen lainnya mengenai Indonesia—mendirikan The Professor Teeuw Foundation.
Sekali dua tahun yayasan itu memberikan penghargaan
dan hadiah uang secara bergiliran kepada seorang Indonesia dan Belanda yang
dinilai berjasa dalam meningkatkan hubungan akademik Indonesia–Belanda. Orang
Indonesia yang telah menerima penghargaan ini, antara lain, Goenawan Mohamad
(1992) dan Ajip Rosidi (2004).
Studi bahasa dan sastra Indonesia yang
dirintis A Teeuw masih tetap eksis di Universitas Leiden sampai sekarang, walau
di sana-sini terus menyesuaikan programnya mengikuti perubahan zaman dan
dinamika internal kampus yang berdiri tahun 1575 itu. Mungkin itulah harapan
seorang akademikus sejati seperti A Teeuw. Dalam satu kesempatan pertemuan
dengannya di Leiden tahun 2009, saya ditanya tentang situasi pengajaran bahasa
dan Indonesia di Universitas Leiden. Ini menunjukkan betapa, walau sudah lama
meninggalkan dunia kampus, A Teeuw tetap memperhatikan program studi bahasa dan
sastra Indonesia di Universitas Leiden.
A Teeuw menikah dengan Joosje Teeuw-de Vries
tahun 1945. Joosje lebih dulu meninggal (2009). Pasangan langgeng itu
dikaruniai lima anak (4 perempuan; 1 lelaki): Marijke (baru pensiun sebagai
guru), Anandi (seniman), Arie (konsultan keuangan), Jossine (kerja partikulir),
dan Kristina (guru piano).
Selamat
jalan Pak Teeuw. Kenangan kepadamu terentang dari Leiden sampai Jakarta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar