Negeri para Budak
Bashori Muchsin, Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam
Malang
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 02 Mei 2012
“Negaralah
yang bertanggung jawab dan menanggung dosa atas segala bentuk keteraniayaan
TKI, baik di dalam negeri maupun saat menjadi `pahlawan devisa' di negara lain."
BENARKAH
buruh atau pekerja Indonesia ini sudah mendapatkan perlakuan yang memartabatkan
dan memanusiakan? Sudahkah mereka menikmati kehidupan sebagai anak bangsa yang
selalu dilindungi hak-hak fundamental dan sakralnya sebagai manusia? Masih
akrabkah mereka dengan perlakuan yang menempatkannya sebagai objek dehumanisasi
atau perbudakwan modern?
Pertanyaan
tersebut sudah sering dilontarkan peneliti, elemen bangsa, atau pilar advokasi
sosial yang peduli terhadap nasib buruh atau pekerja Indonesia, baik yang
bekerja di dalam negeri maupun khususnya yang bekerja di negara lain.
Kepedulian mereka sejatinya sebagai kritik radikal terhadap realitas buruk,
tidak memanusiakan, dan sering ‘membinatangkan’ buruh.
Realitas
‘membinatangkan’ buruh Indonesia di sejumlah negara, khususnya di negara jiran,
terus saja terulang, seolah menjadi cerita yang berkelanjutan tanpa mengenal
titik nadir. Meski sudah berkali-kali ganti pemimpin negara, praktik
‘pembinatangan’ buruh asal Indonesia tetap saja tidak bisa dihentikan. Bahkan
tingkat kriminalisasi atau pembinatangannya semakin mengerikan.
Janji
para pejabat atau elemen negara, yang lantang hendak melindungi dan menjaga TKI
di negara lain dari perlakuan yang memperbudak (membinatangkan), ternyata hanya
lantang dalam lisan atau terbatas ‘fasih struktural’, dan tidak fasih dalam
kenyataan.
Sejumlah TKI masih terus mengisi agenda kekejaman manusia atas
manusia lain.
Meskipun
ahli forensik dari Universitas Indonesia, Mun’im Idris, memastikan organ tubuh
Abdul Kader Jaelani dan Herman, dua tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tewas
ditembak di Malaysia, masih utuh (tidak tercuri organ tubuhnya), kasus ini
tetap wajib ditempatkan sebagai wujud potret dehumanisasi manusia atas manusia,
atau menjadi segmentasi dari potret perbudakan modern yang selama ini
mengorbankan TKI.
Stigma
perbudakan itu semakin benar jika dikaitkan dengan sejumlah temuan, seperti
dilaporkan Migrant Care yang
menyebutkan bahwa terjadi 5.314 kasus kekerasan terhadap TKI di luar negeri
pada kurun 2009-2010. Itu terjadi akibat lemahnya advokasi pemerintah yang
belum menyentuh akar permasalahan, di samping kondisi itu diperparah dengan
kurangnya daya tawar bangsa terhadap negara tujuan tenaga kerja, sehingga
membuat hak-hak TKI makin tidak dihormati sebagai pekerja.
Data
5.314 kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) itu diperoleh dari
beberapa negara, yakni Malaysia 1.748 kasus, Arab Saudi 1.048 kasus, Singapura
16, Taiwan 103, Kuwait 784, Yordania 1.004, Abu Dhabi 533, dan Hong Kong 78
kasus.
Pemicu
kekerasan di beberapa negara tujuan TKI dipengaruhi budaya, sistem, dan produk
regulasi yang belum berpihak kepada TKI, serta masih kurang seriusnya negara
dalam menempatkan TKI sebagai subjek yang dimartabatkan dan dimanusiakan.
Mohammad Asmian (2011) menyebut perbudakan terhadap TKI di luar negeri tidak
lepas dari sikap politik `setengah hati' atau kurang agresifnya pemerintah
(negara) dalam memperjuangkan atau memperlakukan TKI sebagai subjek terhormat
dan pahlawan yang dimartabatkan.
Sudah
demikian banyak buruh di dalam negeri yang menjadi korban perlakuan bercorak
memperbudak yang dilakukan majikan atau korporasi. Ketika buruh ini berusaha
mengadukan problem dehumanisasi yang menimpa nya, tidak jarang kasus yang
diadukan tidak mendapatkan respons maksimal dari aparat penegak hukum.
Akibat
masih berstatusnya negeri ini sebagai sarang atau `produsen' budak, negara,
majikan, atau korporasi dari negara-negara lain pun memperlakukan TKI tak
ubahnya sebagai budak. Mereka menerima dan menyukai pekerja atau buruh-buruh
dari Indonesia, karena selain perlindungan dari negaranya tidak serius
(rendah), juga bisa dibayar dengan upah rendah. Bahkan dalam sejumlah kasus,
tak sedikit di antaranya yang dijadikan objek penipuan atau kriminalisasi di
bidang pengupahan.
TKI
kita bercita-cita besar bahwa dengan opsi berkerja di negeri orang, mereka bisa
hidup berkelayakan sesuai dengan konstitusi. Sayangnya, sejak dari Tanah Air
hingga di negeri orang, tidak sedikit yang terjerat dan dijerumuskan oleh
sindikat pekerja ke formasi pekerjaan yang tidak semestinya dan jauh dari
memperlakukan mereka sebagai pekerja yang punya hak-hak, yang seharusnya
dilindungi. Mereka tidak diperlakukan sebagai warga negara yang berhak hidup
berkelayakan, berkemanusiaan, dan berkeadaban, tetapi diperlakukan layaknya
sebagai budak.
Bukan
cerita asing, misalnya, banyak TKW Indonesia yang dijerumuskan menjadi budak
domestik (oleh majikan) maupun dijerumuskan dalam pasar prostitusi global. Mereka
digiring, ditipu, dikomoditaskan, dan dieksploitasi dalam ranah imoralitas
berbasis kapitalisme seksual dengan modus operandi yang sangat inhumanistis,
sehingga membuatnya kehilangan keberdayaannya.
Itu
semua tak lepas dari penyakit pembiaran yang dilakukan negara atau tidak
seriusnya negara dalam mengurus sektor ketenagakerjaan. Umumnya, negara baru
terpanggil mengurus problem pelanggaran hukum dan HAM yang menimpa TKI setelah
problem itu menjadi opini nasional maupun internasional, atau menguntungkan
secara politik.
Deklarasi
OKI, yang disebut sebagai HAM-nya orang Islam, dalam Pasal 13 sudah menyebutkan
bahwa bekerja adalah hal yang dijamin oleh pemerintah dan masyarakat untuk
setiap orang yang siap untuk bekerja. Setiap orang harus bebas untuk memilih
pekerjaan yang paling sesuai dan berguna bagi dirinya dan masyarakat. Adapun
perlakuan bercorak penganiayaan atau eksploitatif dilarang dalam ICCPR. Dalam
ICCPR disebutkan tentang hak-hak yang tidak dapat disimpangkan, yakni hak hidup
(Pasal 6), larangan penyiksaan (Pasal 7), larangan perbudakan dan perhambaan
(Pasal 8), larangan penahanan karena utang (Pasal 11), dan hak atas pengakuan
sebagai pribadi di depan hukum (Pasal 16).
Sayangnya,
hak-hak fundamental manusia (buruh) yang diakui instrumen internasional
tersebut, bagi TKI yang bekerja di dalam negeri maupun di negara lain, masih
manis di atas kertas. TKI kita masih akan kesulitan membebaskan diri dari
praktik perbudakan saat bekerja di negara lain akibat atmosfer perbudakan di
dalam negeri yang masih terbiarkan.
Dus,
jika bercita-cita mengurangi beban stigma sebagai `negeri para budak',
pembenahan lini internal atau dekonstruksi virus deviasi dan dehumanisasi
buruh/pekerja di dalam negeri wajib menjadi prioritas yang secara terus-menerus
digarap negara (pemerintah). Negaralah yang bertanggung jawab dan menanggung
dosa atas segala bentuk keteraniayaan TKI, baik di dalam negeri maupun saat
menjadi `pahlawan devisa' di negara lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar