Koruptor
Hidup Tak Tenang
Moh
Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
SUMBER
: SINDO,
26 Mei 2012
Pada
12 Mei 2012 lalu saya makan malam sambil berbincang-bincang dengan Duta Besar
Indonesia untuk Prancis, Reslan Izhar Jenie, dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah Ferry Tinggogoy di Wisma Nusantara Paris.
Topik
perbincangan pun bermacam-macam, beralih dari satu masalah ke masalah lain
secara spontan. Dalam perbincangan yang berlangsung sekitar 90 menit itu kami
sempat membicarakan masalah perkembangan bioteknologi dan teknologi kedokteran
yang luar biasa. Maklum, di berbagai penjuru dunia sekarang ini banyak
ditawarkan berbagai pengobatan terhadap penyakit yang beratberat.
Ibaratnya, penyakit-penyakit yang dulunya hanya bisa diselesaikan dengan menunggu kematian sambil berputus asa, sekarang sudah ditemukan cara pengobatannya, baik untuk penyembuhan bagi yang terserang penyakit maupun sebagai antisipasi bagi yang belum sakit. Jantung dioperasi tanpa kesakitan, hati dan ginjal bisa dicangkok, sumbatan pembuluh darah di otak bisa dibersihkan sambil bernyanyi-nyanyi,orang yang tak bisa punya anak bisa membuat anak melalui bayi tabung.
Bahkan sel-sel organ tubuh bisa diremajakan melalui living cell. Pokoknya, penyakit apa pun yang dulunya memutusasakan, sekarang sudah ada obatnya. Benar kata Nabi Muhammad, ”Likuklli daa’in dawaa’,” setiap penyakit pasti ada obatnya. Yang tidak ada obatnya hanya mati. Tentu saja, pengobatan atau penyembuhan melalui teknologi kedokteran modern itu tidaklah murah sehingga tidak banyak orang yang bisa menjangkaunya, apalagi untuk rata-rata orang Indonesia. Tapi berapa pun mahalnya, setiap orang lebih mengutamakan pengeluaran uang dan hartanya untuk kesehatan. Mengapa?
”Karena kalau kita tidak sehat, maka apa pun yang kita miliki takkan bisa dinikmati, baik harta yang melimpah maupun posisi yang menjulang,” kata Dubes Reslan. ”Health is not everything, but life without health is nothing, kesehatan bukan segalanya, tetapi hidup tanpa kesehatan tidak ada gunanya,” kata Ferry Tinggogoy berfilsafat. Orang yang tidak sehat takkan bisa menikmati sebanyak apa pun harta yang dimilikinya.
Kalau kita tidak sehat tak bisalah kita menikmati setinggi apa pun jabatan yang kita duduki. Coba Anda menjadi orang kaya-raya atau menduduki jabatan tinggi, tetapi terserang penyakit ganas yang mengancam nyawa, maka Anda akan melakukan berbagai upaya agar sembuh, termasuk kalau harus membayar dengan seluruh harta yang dimiliki. Dengan penyakit yang ganas, meski kaya dan berkedudukan tinggi, Anda takkan tenang dalam hidup.
”Ya, yang diperlukan dalam hidup itu sebenarnya ketenangan, yaitu hidup yang tidak dihantui oleh ketakutan dan kecemasan,” kata saya. Dan kalau yang diinginkan adalah ketenangan, maka yang diperlukan bukan hanya kesehatan dalam arti fisik, melainkan juga kesehatan batin. Kesehatan batin itu bisa dijaga melalui perilaku dan akhlak. ”Salah satu hal penting dalam konteks ini adalah kebersihan dari kasus hukum seperti korupsi. Yang tak bersih dari korupsi takkan bisa hidup tenang,” kata saya lagi.
Bayangkan, banyak pejabat tinggi yang dulunya pernah dielu-elukan sebagai orang terhormat dan dianggap punya masa depan cemerlang sekarang hidupnya menjadi tidak tenang karena terlibat atau diduga terlibat dalam kasus korupsi. Orang-orang yang punya kasus hukum seperti itu hidupnya pasti tidak tenang. Setiap membaca koran atau melihat dan mendengar berita di televisi dan radio yang terkait dengan tindakan KPK atau polisi, maka hatinya menjadi kecut, takut, gelisah, dan tidak tenang.
Bahkan saat ada petugas pemadam kebakaran lewat di depan rumahnya pun dia menjadi ketakutan dan segera bersembunyi karena petugas pemadam kebakaran itu dikira petugas dari KPK semata-mata karena berseragam yang agak aneh. Alangkah tak enaknya kalau kita bernasib sebagai pejabat yang kaya-raya tetapi dijatuhi hukuman karena korupsi.
Harga diri hancur berantakan, harta tak bisa dinikmati karena harus tidur di penjara, bukan di kasur empuk di kamar berpendingin, anak dan istri tak bisa ditemui secara wajar. Para koruptor yang tidak atau belum tersentuh oleh hukum pun pasti hidupnya tak tenang karena harus mencari perlindungan ke sana-kemari. Mungkin biaya yang harus dikeluarkan untuk mencari jalan agar kasusnya tak terbongkar sangatlah besar. Mungkin pula dia harus membayar ”uang pengaman” atau ”pengawal kasus” secara terus-menerus tanpa tahu kapan harus berakhir sehingga sepanjang hidup tidak pernah tenang karena selalu diperas orang.
Tidurnya pun menjadi tidak nyenyak karena akan selalu dihantui oleh mimpi buruk atau oleh bayangan-bayangan yang menakutkan. Apa enaknya hidup seperti itu meski harta banyak dan jabatan tinggi? Para koruptor yang mengalami nasib seperti itu kalau boleh memilih, sangat mungkin, memilih menjadi orang biasa kembali seperti sebelum menjadi atau sebelum memiliki apa-apa.
Mereka pasti ingin menjadi orang yang bukan apa-apa dan tak punya apa-apa di banyak desa terpencil, tetapi bisa nyenyak dan bermimpi indah tidur di atas anyaman bambu di dalam rumah yang tak berlistrik. Para koruptor itu pastilah hidupnya tak pernah tenang sampai ajal datang menjemputnya. Mengerikan, bukan? ●
Ibaratnya, penyakit-penyakit yang dulunya hanya bisa diselesaikan dengan menunggu kematian sambil berputus asa, sekarang sudah ditemukan cara pengobatannya, baik untuk penyembuhan bagi yang terserang penyakit maupun sebagai antisipasi bagi yang belum sakit. Jantung dioperasi tanpa kesakitan, hati dan ginjal bisa dicangkok, sumbatan pembuluh darah di otak bisa dibersihkan sambil bernyanyi-nyanyi,orang yang tak bisa punya anak bisa membuat anak melalui bayi tabung.
Bahkan sel-sel organ tubuh bisa diremajakan melalui living cell. Pokoknya, penyakit apa pun yang dulunya memutusasakan, sekarang sudah ada obatnya. Benar kata Nabi Muhammad, ”Likuklli daa’in dawaa’,” setiap penyakit pasti ada obatnya. Yang tidak ada obatnya hanya mati. Tentu saja, pengobatan atau penyembuhan melalui teknologi kedokteran modern itu tidaklah murah sehingga tidak banyak orang yang bisa menjangkaunya, apalagi untuk rata-rata orang Indonesia. Tapi berapa pun mahalnya, setiap orang lebih mengutamakan pengeluaran uang dan hartanya untuk kesehatan. Mengapa?
”Karena kalau kita tidak sehat, maka apa pun yang kita miliki takkan bisa dinikmati, baik harta yang melimpah maupun posisi yang menjulang,” kata Dubes Reslan. ”Health is not everything, but life without health is nothing, kesehatan bukan segalanya, tetapi hidup tanpa kesehatan tidak ada gunanya,” kata Ferry Tinggogoy berfilsafat. Orang yang tidak sehat takkan bisa menikmati sebanyak apa pun harta yang dimilikinya.
Kalau kita tidak sehat tak bisalah kita menikmati setinggi apa pun jabatan yang kita duduki. Coba Anda menjadi orang kaya-raya atau menduduki jabatan tinggi, tetapi terserang penyakit ganas yang mengancam nyawa, maka Anda akan melakukan berbagai upaya agar sembuh, termasuk kalau harus membayar dengan seluruh harta yang dimiliki. Dengan penyakit yang ganas, meski kaya dan berkedudukan tinggi, Anda takkan tenang dalam hidup.
”Ya, yang diperlukan dalam hidup itu sebenarnya ketenangan, yaitu hidup yang tidak dihantui oleh ketakutan dan kecemasan,” kata saya. Dan kalau yang diinginkan adalah ketenangan, maka yang diperlukan bukan hanya kesehatan dalam arti fisik, melainkan juga kesehatan batin. Kesehatan batin itu bisa dijaga melalui perilaku dan akhlak. ”Salah satu hal penting dalam konteks ini adalah kebersihan dari kasus hukum seperti korupsi. Yang tak bersih dari korupsi takkan bisa hidup tenang,” kata saya lagi.
Bayangkan, banyak pejabat tinggi yang dulunya pernah dielu-elukan sebagai orang terhormat dan dianggap punya masa depan cemerlang sekarang hidupnya menjadi tidak tenang karena terlibat atau diduga terlibat dalam kasus korupsi. Orang-orang yang punya kasus hukum seperti itu hidupnya pasti tidak tenang. Setiap membaca koran atau melihat dan mendengar berita di televisi dan radio yang terkait dengan tindakan KPK atau polisi, maka hatinya menjadi kecut, takut, gelisah, dan tidak tenang.
Bahkan saat ada petugas pemadam kebakaran lewat di depan rumahnya pun dia menjadi ketakutan dan segera bersembunyi karena petugas pemadam kebakaran itu dikira petugas dari KPK semata-mata karena berseragam yang agak aneh. Alangkah tak enaknya kalau kita bernasib sebagai pejabat yang kaya-raya tetapi dijatuhi hukuman karena korupsi.
Harga diri hancur berantakan, harta tak bisa dinikmati karena harus tidur di penjara, bukan di kasur empuk di kamar berpendingin, anak dan istri tak bisa ditemui secara wajar. Para koruptor yang tidak atau belum tersentuh oleh hukum pun pasti hidupnya tak tenang karena harus mencari perlindungan ke sana-kemari. Mungkin biaya yang harus dikeluarkan untuk mencari jalan agar kasusnya tak terbongkar sangatlah besar. Mungkin pula dia harus membayar ”uang pengaman” atau ”pengawal kasus” secara terus-menerus tanpa tahu kapan harus berakhir sehingga sepanjang hidup tidak pernah tenang karena selalu diperas orang.
Tidurnya pun menjadi tidak nyenyak karena akan selalu dihantui oleh mimpi buruk atau oleh bayangan-bayangan yang menakutkan. Apa enaknya hidup seperti itu meski harta banyak dan jabatan tinggi? Para koruptor yang mengalami nasib seperti itu kalau boleh memilih, sangat mungkin, memilih menjadi orang biasa kembali seperti sebelum menjadi atau sebelum memiliki apa-apa.
Mereka pasti ingin menjadi orang yang bukan apa-apa dan tak punya apa-apa di banyak desa terpencil, tetapi bisa nyenyak dan bermimpi indah tidur di atas anyaman bambu di dalam rumah yang tak berlistrik. Para koruptor itu pastilah hidupnya tak pernah tenang sampai ajal datang menjemputnya. Mengerikan, bukan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar