Enam Pilar Pendidikan Karakter
J. Sumardianta, Guru,
Bermukim di Yogyakarta
SUMBER
: KORAN TEMPO, 02 Mei 2012
Seorang kakek hidup serumah bersama anak,
menantu, dan cucu berusia 6 tahun. Keluarga itu biasa makan malam bersama. Si
kakek yang sudah pikun sering mengacaukan suasana. Tangan bergetar dan mata
rabun membuatnya susah menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh. Saat si
kakek meraih gelas, susu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantu dibuat
gusar.
Suami-istri itu lalu menempatkan sebuah meja
kecil di sudut ruangan, tempat sang kakek makan sendirian. Mereka memberinya
mangkuk melamin yang tidak gampang pecah. Saat keluarga sibuk dengan piring
masing-masing, sering terdengar ratap kesedihan dari sudut ruangan. Namun
suami-istri itu justru mengomel agar Kakek tak menghamburkan makanan lagi.
Anak mereka memandangi semua kejadian itu
dalam diam. Suatu hari si ayah memperhatikan anaknya sedang membuat replika
mainan kayu. Anak itu bilang, ”Aku sedang
membuat meja buat Ayah dan Ibu saat aku sudah besar. Nanti akan kuletakkan di
sudut itu, dekat Kakek biasa makan.”
Keprihatinan anak membuat kedua orang tuanya
terkesiap. Mereka memahami ada sesuatu yang harus diperbaiki. Sejak itu mereka
berempat kembali makan di meja yang sama. Tiada lagi omelan saat piring jatuh,
makanan tumpah, atau taplak ternoda kuah.
Anak-anak sesungguhnya persepsi dari orang
dewasa. Mata mereka selalu mengamati. Telinga mereka senantiasa menyimak. Dan
pikiran mereka terus mencerna. Mereka adalah peniru. Melihat orang dewasa memperlakukan
orang lain penuh kepedulian, kelak mereka akan memperlakukan orang lain dengan
kelemah-lembutan cinta yang merawat (nurturing love) pula.
Anekdot di atas adalah ilustrasi betapa
pentingnya role model dalam parenting dan schooling di
Indonesia. Pendidikan telanjur identik sebagai ramuan eksplosif yang
menghancurkan karakter anak-anak akibat bertemunya bad parenting dan bad
schooling, ketika pola buruk pengasuhan anak di rumah berkolaborasi dengan
proses pengajaran buruk di sekolah.
Proses pengajaran di sekolah menggunakan
model celengan. Sembilan puluh persen soal ujian nasional berupa hafalan.
Sekolah jadi monokultur, hanya berkutat pada mechanical intelligence
(kecerdasan mekanis), bukan creative intelligence (kecerdasan kreatif),
apalagi wisdom (kearifan). Gejalanya tampak jelas: anak muda Indonesia
berkarakter alay yang dangkal, impulsif, mudah putus asa, tidak menyukai
tantangan, dan bila tertekan menjadi agresif.
Karakter merupakan ciri khas yang melekat
pada kepribadian seseorang dan tecermin dalam sikap, perilaku, dan cara
merespons stimulus--pengaruh dari luar. Semakin kuat karakter seseorang,
semakin rendah tingkat responsnya terhadap stimulus. Semakin lemah karakter
seseorang, semakin tinggi responsnya terhadap stimulus. Karakter berarti apa
yang tetap dilakukan orang, walau tidak ada yang sudi memperhitungkan; apa yang
membuat orang tetap tegar ketika orang lain tidak ada yang menghargai; apa yang
membuat orang tetap bahagia saat orang lain tidak ada yang mendukung; dan apa
yang tetap orang percayai saat seseorang melakukan kesalahan.
Bagaimana strateginya agar anak-anak bisa
bertumbuh dengan karakter kuat? Mereka harus difasilitasi dan didukung sistem
persekolahan yang bagus dengan pengajaran bermakna (good school).
Pengajaran bermakna (contextual learning) ditandai oleh empat sikap para
guru yang memperagakan passion for knowledge--learn, share, formulate,
dan practice. Para guru yang senantiasa berkeinginan kuat mempelajari
pengetahuan baru selalu memperkaya diri dan sesama dengan berbagi pengetahuan,
berani memformulasikan konsep dan pemikiran baru, serta mampu mengaitkan
pengetahuan yang diajarkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari anak.
Sekarang ini, pendidikan tingkat dasar hingga
menengah praktis terperangkap monokultur. Kurikulum dan pengajarannya nyaris
sama. Semua bermuara pada ujian nasional. Faktor pembeda sekolah-sekolah itu
hanyalah tinggi-rendahnya perolehan nilai UN. Padahal sekolah unggulan yang
menghasilkan alumni berkarakter kuat memiliki value (nilai) yang terus
dirawat, dijaga, dan dihidupi. Value itu melembaga dalam prinsip-prinsip
etika yang tertanam kuat dalam perilaku seluruh civitas academica.
Mark Plus Institute of Marketing Jakarta
merumuskan enam pilar utama institusi penghasil manusia berkarakter kuat: trustworthiness
(kejujuran), responsibility (tanggung jawab), respect
(memperlakukan orang lain dengan penuh hormat), fairness (keadilan), caring
(peduli), dan citizenship (kewarganegaraan). Enam pilar itu secara
universal mencakup nilai-nilai etika yang berlaku di masyarakat pada umumnya
tanpa memiliki bias kepentingan politik dan agama.
Kejujuran dan integritas sebagai pilar utama
karakter manusia Indonesia menjadi barang langka yang penting dan mendesak.
Sudah terlalu banyak bencana kemanusiaan (pembunuhan aktivis hak asasi
manusia), bencana birokrasi (korupsi), dan bencana korporasi (Lapindo Brantas)
bermula dari ketidakjujuran. Integritas mesti dijadikan visi persekolahan agar
Indonesia menjadi bangsa berkarakter dan bermartabat.
Hormat kepada sesama juga harus dikedepankan
sebagai kultur persekolahan. Sudah menjadi salah kaprah seragam sekolah tidak
pernah bisa menyembunyikan segregasi kaya-miskin. Sekolah bukanlah tempat ramah
bagi mereka yang menyandang masalah sosial dan kesesakan ekonomi.
Tanggung jawab juga mesti mendarah daging
sebagai nilai persekolahan, karena kecenderungan pelajar semakin seenaknya
sendiri akibat krisis keteladanan dari pendidik ataupun figur publik. Preseden
bagus apa yang bisa diteladani dari seorang politikus mantan Puteri Indonesia
yang terjerat kasus manipulasi proyek negara?
Prinsip keadilan harus dirumuskan sebagai
visi dan diturunkan sebagai misi persekolahan. Visi sekolah tentang iman dan
takwa hanya menyentuh aspek terluar kesalehan ritual. Jangankan bicara tentang
kesenjangan Jawa-luar Jawa, ketidakmerataan dan ketidakadilan perlakuan
terhadap sekolah di pelosok pedalaman Jawa masih tampak nyata.
Sekolah-sekolah di Indonesia sejujurnya belum
peduli terhadap muridnya. Mereka terjebak dalam materialisme kurikulum. Guru
sekadar agen penjejal pengetahuan dari buku ke pikiran murid mereka. Kepedulian
menjadi urgen mengingat pendidikan di Indonesia itu kisah kasih sekaligus
nestapa anak dan orang tua. Kasih karena orang tua sampai harus menjual ternak
dan pekarangan buat menyekolahkan anak. Nestapa karena sesudah dianiaya
sekolah, begitu lulus, anak-anak terlempar ke samudra pengangguran.
Pilar citizenship juga sangat mendesak
mengingat persekolahan di Indonesia, negeri ataupun swasta, makin bias agama.
Dalam jangka panjang, kalau tidak diantisipasi, hal ini bisa menjadi bom waktu,
karena menyuburkan fanatisme akibat dicampakkannya Pancasila sebagai landasan
hidup bersama (common ground). Itulah urgensi tumbuh berkarakter
berdasarkan enam pilar etis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar