Budaya Baca vs Budaya Nonton
Tirta Rismahadi Wijaya; Direktur Indonesian Studies and
Advocation Centre (ISAC) Ciputat
SUMBER
: SUARA KARYA, 04 Mei 2012
Sekedar refleksi, pendidikan nasional membukukan banyak catatan
keberhasilan. Di antaranya yang cukup spektakuler dan membanggakan adalah mobil
Esemka karya siswa SMK di Solo, Jawa Tengah. Namun, di balik itu terselip
catatan tidak menggembirakan, budaya literal sudah tercerabut dari nafas
pendidikan kita karena tidak mendapat tempat lagi di benak para siswa. Ini
menjadi catatan penting dan mendasar yang luput dari perhatian.
Dewasa ini, hampir 90 persen penduduk Indonesia menjadikan
televisi (media visual) sebagai konsumsi baku untuk mendapatkan informasi dan
hiburan. Hampir di setiap sudut ruangan rumah penduduk terdapat televisi.
Selain praktis, aksesnya yang cepat membuat media ini semakin diminati warga.
Tayangan-tayangan di televisi memang sangat menarik, sehingga
membuat pemirsa terlena oleh keadaan. Tayangan hiburan lebih banyak digemari,
baik di kalangan orangtua, dewasa, bahkan remaja (mahasiswa). Acara sinetron
yang tayang setiap hari dengan cerita yang tidak masuk akal adalah menu yang
selalu dinanti-nanti.
Mudahnya akses televisi (TV) serta luasnya jangkauan, memudahkan
masyarakat untuk menikmatinya. Di satu sisi, kehadiran TV yang menyajikan
hiburan dianggap solusi pelepas lelah dari mumetnya pikiran di tengah persoalan
kehidupan yang semakin sulit. Di sisi lain, hampir 70 persen lebih tayangan
televisi sangat tidak mendidik dan banyak diisi tayangan drama dengan pesan
berbau kekerasan, egoisme, mistik, hedonisme, dan pergaulan bebas. Selain itu,
hampir setiap stasiun TV didominasi oleh infotainment.
Padahal, semakin sering anak-anak menonton TV berdampak pada
perkembangan mental mereka hingga menjadi lemah dan tidak terdidik secara baik.
Di lain pihak, kebanyakan menonton TV dapat menyebabkan kemalasan di kalangan
pelajar.
Porsi untuk belajar sangat kecil ketimbang menonton televisi.
Kebanyakan waktu mereka tersita hanya karena tontonan yang tidak mendidik dan
tidak bermoral. Remaja Indonesia pun sekarang lebih pas dibilang generasi
visual. Padahal generasi visual adalah musuh utama budaya literal.
Inilah sebenarnya tantangan besar pendidikan di Indonesia, kini.
Budaya membaca dan menulis semakin tidak populer di kalangan pelajar dan
mahasiswa. Membaca dan menulis dianggap sebagai hal yang kurang menarik dan
sangat membosankan. Bahkan, banyak di antara mereka menganggap kegiatan membaca
dan menulis adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Maka, tidak heran apabila
siswa enggan melakukan kegiatan yang berbau literal. Lebih tragis lagi,
mahasiswa yang diharapkan mampu membuat sebuah laporan ilmiah, ternyata
skripsinya saja membeli dari orang lain.
Budaya membaca tampaknya memang belum terbangun dengan baik di
Indonesia. Para siswa masih menganggap kegiatan membaca dan menulis sebagai hal
yang menguras otak dan membuat pusing. Di samping itu, kesadaran membaca dan
menulis belum dijadikan kebutuhan pokok seperti halnya makan dan minum sehingga
hal tersebut sangat sulit untuk dibiasakan.
Sampai saat ini, pendidikan nasional belum mampu menyiapkan SDM
yang mampu menguasai ilmu pengetahuan serta memiliki nilai-nilai kemanusiaan
yang luhur.
Perlu orientasi pendidikan nasional untuk meningkatkan daya saing
dan kemajuan bangsa. Terdistorsinya pendidikan di Indonesia mulai dari mutu dan
relevansi serta pendekatan pendidikan terlihat ketika lulusan-lulusan lembaga
pendidikan belum bisa memenuhi kebutuhan bangsa.
Lembaga pendidikan yang dikelola oleh negara maupun swasta
sebaiknya memperhatikan sistem dan metode pembelajaran yang proaktif melibatkan
anak didik, serta membiasakan budaya literal. Tanggung jawab ini tidak hanya
bagi para pendidik, melainkan tanggung jawab seluruh individu untuk membimbing
dan mengarahkan anak didiknya untuk membiasakan membaca, terutama orangtua
siswa.
Ini juga merupakan tugas besar seluruh komponen bangsa, agar kita
tidak kembali menjadi budak dari pengetahuan itu sendiri. Bukankah dengan
belajar, membaca dan menulis, kita akan melihat seluruh isi dunia?
Negara yang sedang berkembang dengan sumber daya alam (SDA) yang
melimpah seperti Indonesia, sangat memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang
cukup. Eksplorasi di berbagai bidang memerlukan keterampilan dan pengetahuan
yang mumpuni. SDM yang cukup dan memadai, akan tumbuh dari mereka yang memiliki
wawasan dan pengetahuan yang mereka dapatkan dari belajar, membaca dan menulis.
Terkikisnya budaya baca di kalangan pelajar dan mahasiswa akan
memperburuk citra pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, pendidikan yang kita
anggap sebagai tolak ukur kemajuan bangsa ternyata sangat memprihatinkan.
Pelajar sebagai aktor dunia pendidikan masih enggan membaca dan
menulis. Bisa dibanyangkan, bagaimana kualitas peserta didik negeri ini di masa
mendatang. Padahal, dengan membaca paling tidak akan membuka wawasan dan
pengetahuan minimal untuk pribadinya.
Jika diingat kebangkitan nasional seabad lalu, akar gerakan itu
bermula dari budaya literal, yaitu belajar, membaca, menulis dan berpikir
sehingga tercipta pola pikir kebangsaan. Lihat saja, hampir semua tokoh bangsa
yang mempelopori kebangkitan dan kemerdekaan adalah orang-orang yang selalu
bergelut dengan budaya literal.
Rupanya, budaya membaca yang dulu menjadi ciri khas peradaban
bangsa begitu jauh tersisihkan. Kemajuan teknologi dan derasnya arus
globalisasi bukan berarti selalu membawa efek negatif. Tetapi, hal tersebut
harus disikapi dengan arif diikuti keseimbangan berpikir. Budaya nonton yang
kian menjalar bukan sebagai sebab dari makin malasnya generasi bangsa tetapi
bagaimana kesadaran akan pentingnya pendidikan kembali ditanamkan. ●
anak muda sekarang membaca via internet, pak. membaca status di fb atau twitter. ad anggapan bahwa membuka buku menghabiskan waktu, berbeda jika browsing via internet. lebih cepat dan lebih banyak informasinya dari mana saja. baca satu buku belum tentu satu hari selesai, kecuali komik, cerpen, atau novel yang disukai.. :)
BalasHapus