Belum
(Sepenuhnya) Menjadi Indonesia
Salahuddin
Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang
SUMBER
: KOMPAS,
25 Mei 2012
Bangsa Indonesia adalah hasil perjuangan
bersama warga bernasib sama di wilayah Nusantara: dijajah oleh Belanda. Mereka
hidup miskin, tidak mendapat pendidikan, tidak mempunyai hak sama dengan warga
Belanda dan kaum priayi.
Kekayaan alam Indonesia diisap oleh Belanda
selama ratusan tahun. Dengan cultuurstelsel,
Belanda memanfaatkan tanah di Nusantara untuk menghasilkan produk-produk yang
dikirim ke Belanda, lalu dijual dan menghasilkan uang yang amat besar. Menurut
Bung Karno, mengutip dari Prof van Gelderen, Kepala Central Kantoor voor de Statistiek, dalam pidato ”Indonesia
Menggugat” (1930), kekayaan yang diangkut dari Indonesia per tahun setidaknya
mencapai 1,5 miliar gulden (dalam nilai sekarang mungkin 50 miliar euro atau
sekitar Rp 600 triliun).
Mantan anggota Dewan Hindia Pruys van der
Hoeven dalam buku Veerteg Jaren Indische Dienst menulis, ”Nasib orang Jawa
dalam 40 tahun terakhir ini tidak banyak diperbaiki. Di luar kaum ningrat dan
beberapa hamba negeri, hanya ada rakyat yang ”sekarang makan besok tidak”.
Mantan Asisten Residen HEB Schmalhausen di
dalam buku Over de Java en de Javanen menulis, ”Saya melihat dengan mata
sendiri, bagaimana orang-orang perempuan sesudah berjalan beberapa jam, sampai
di tempat yang dituju tidak bisa ikut mengetam padi karena terlalu banyak
pekerja. Kami menghitung bahwa harga padi yang mereka terima sebagai upah
paling banyak 0,09 gulden per hari.”
Kalau nilai gulden dulu ekuivalen 50 kali
nilai euro kini, upah tersebut ekuivalen Rp 50.000 per hari. Kalau nilainya 20
kali, upah tersebut ekuivalen Rp 20.000 per hari. Itu sedikit lebih tinggi
daripada standar Bank Dunia bahwa yang punya pendapatan di bawah 2 dollar AS
per hari tergolong miskin. Dengan standar tersebut, jumlah kelompok miskin 50
persen penduduk Indonesia atau di atas 120 juta orang. Bandingkan dengan
Malaysia yang kelompok miskinnya sekitar 7 persen dari jumlah penduduk.
Padahal, alam Indonesia lebih kaya dibandingkan dengan Malaysia.
Fitrah manusia yang tinggal di wilayah
Nusantara ialah bahwa mereka terdiri dari berbagai suku, etnis, dan ras. Ada
ratusan suku hidup di wilayah itu. Mereka juga majemuk dalam hal agama. Ada
sejumlah agama penduduk asli di sejumlah tempat.
Perjuangan panjang sporadis secara militer
melawan Belanda di beberapa daerah telah gagal. Muncullah kesadaran bahwa
perjuangan merebut kemerdekaan harus dilakukan bersama-sama dalam bidang
politik.
Syukur ada cukup banyak pemuda yang mendapat
pendidikan tinggi dari berbagai suku dan agama. Mereka berjuang mempersatukan
warga Nusantara dengan beragam latar belakang.
Ikatan Kebersamaan
Menurut Bung Karno, Bapak Nasionalisme
Indonesia adalah EFE Douwes Dekker (Setiabudi). Bersama Dr Tjipto Mangunkusumo
dan Suwardi Suryaningrat, Setiabudi telah berpikir tentang suatu bangsa yang
bukan diikat oleh sentimen primordial, kesamaan agama atau geografis, melainkan
proklamasi sederhana tentang rasa kesetiakawanan bangsa yang membebaskan.
Bung Hatta dan kawan-kawan melalui Perhimpunan
Indonesia di Belanda pada 1924 menerbitkan jurnal Indonesia Merdeka. Mahasiswa
Jawa di Al-Azhar Kairo pada 1922 bergabung dalam Kesejahteraan Mahasiswa Jawa
Al-Azhar. Mereka juga membaca jurnal Indonesia Merdeka.
Pernyataan prinsip Perhimpunan Indonesia
perlu kita catat: ”Masa depan bangsa Indonesia hanya terletak pada didirikannya
satu bentuk pemerintahan yang bertanggung jawab pada amanat rakyat karena hanya
bentuk pemerintahan itulah yang bisa diterima. Hanya Indonesia yang bersatu dan
mengesampingkan perbedaan yang mampu mematahkan kekuatan penguasa yang
menjajah. Tujuan bersama Perhimpunan Indonesia berdasar pada kesadaran dan
bertumpu pada kekuatan aksi massa nasionalistis”.
Kongres Pemuda 1928 menjadi wadah bagi
sejumlah pemuda terpelajar sebagai representasi dari ratusan suku di seluruh
Nusantara untuk bersumpah bahwa mereka mempunyai tanah tumpah darah yang satu,
yaitu Indonesia; mempunyai bangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia; dan
mempunyai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Pencapaian bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia adalah suatu capaian luar biasa.
Para pendiri bangsa menyadari realitas
kebinekaan tersebut dan menetapkan Pancasila menjadi landasan bersama yang
mempersatukan warga multimajemuk menjadi suatu bangsa. Masalah hubungan agama
(Islam) dan negara dapat diselesaikan untuk sementara pada 1945 dan
diselesaikan tuntas secara formal pada 1984 setelah NU menghasilkan dokumen
Hubungan Islam dan Pancasila yang diikuti ormas dan orpol Islam.
Indonesia gagasan ideal
Roh keindonesiaan termaktub dalam Pembukaan
UUD yang mengandung Pancasila. Untuk bisa mewujudkan cita-cita bangsa,
didirikan negara Republik Indonesia yang tujuannya dijelaskan di dalam
Pembukaan UUD. Negara secara konkret diwakili pemerintah dan lembaga negara
lain. Gagasan itu terasa ideal sehingga oleh Benedict Anderson dianggap sebagai
”the imagined community”.
Ada beberapa aspek yang bisa menjadi ukuran
sejauh mana kita telah menjadi Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan
kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Juga mengelola secara baik keragaman
agama, suku, etnis, dan ras.
Banyak contoh bahwa kita tidak mampu
melindungi warga negara yang terpaksa bekerja di luar negeri karena sulitnya
mencari pekerjaan di Tanah Air.
Masalah hubungan antarsuku sudah tidak jadi
masalah. Perkawinan antarsuku sudah amat biasa. Namun, yang sekarang kita
saksikan ialah munculnya sentimen kedaerahan dalam kaitan politik. Sentimen anti-Tionghoa
sudah jauh berkurang dan budaya Tionghoa bahkan menjadi bagian dari budaya kita
setelah Imlek diakui sebagai hari libur.
Namun, ada masalah dalam hubungan antarumat
beragama dan antarumat Islam. Yang masih hangat ialah masalah GKI Yasmin di Bogor,
warga anggota jemaah Ahmadiyah Indonesia di sejumlah tempat, dan pengikut Syiah
di Sampang.
Banyak umat Islam dan tokoh-tokohnya tidak
mampu memisahkan atau membedakan antara masalah keagamaan dan masalah
kenegaraan. Kasus yang menimpa warga Syiah di Sampang menunjukkan bahwa warga
hanya memakai hukum Islam (menurut tafsiran mereka) sebagai dasar tindakan,
tanpa mau tahu bahwa warga pengikut Syiah itu warga negara Indonesia yang punya
hak untuk hidup.
Keadilan belum hadir di Indonesia, baik dalam
masalah hukum maupun sosial ekonomi. Kita semua tahu bahwa lembaga penegak
hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan, sulit diharapkan.
Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pencuri
sandal jepit dan buah tidak berharga diadili, tetapi koruptor banyak yang
dibebaskan. Hukum kalah oleh uang, kalah oleh kekuasaan, dan kalah oleh tekanan
massa. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dibandingkan dengan empat
sila lain, adalah yang paling sedikit mendapat perhatian.
Cerdaskan Bangsa
Yang harus dicerdaskan kehidupan bangsa,
bukan sekadar orang per orang. Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti
menghilangkan sikap bangsa terjajah, sikap inlander yang terbelenggu oleh
keterjajahan, tidak punya harga diri, minder, dan fatalis. Kehidupan bangsa yang
cerdas tentu mensyaratkan adanya harga diri, harkat, martabat, kejujuran, rasa
saling percaya, kemandirian, kepandaian, sikap tidak mudah menyerah, produktif,
hemat, dan keadilan. Kehidupan bangsa yang cerdas akan membuat kita menjadi
bangsa kuat.
Tujuan itu dicapai dengan pelaksanaan dari
kebijakan pendidikan yang ditujukan bagi seluruh warga negara Indonesia. UUD
Pasal 28C angka (1) menjelaskan bahwa ”setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidup dan demi kesejahteraan manusia.
Pasal 11 Ayat 1 dari UU No 20/2003 tentang
Sisdiknas mengamanatkan bahwa ”Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Sampai kini ada sekitar 20 juta anak usia
7-15 tahun yang belum tersentuh pendidikan dasar. Ada sekitar 8 juta anak usia
16-20 tahun yang tidak dapat menikmati pendidikan menengah. Sekitar 3 juta
tamatan sekolah menengah tidak bisa meneruskan ke perguruan tinggi. Dua pertiga
tenaga kerja hanya tamat SMP.
Hasil uji kompetensi awal guru yang akan ikut
sertifikasi pada 2012 (10 persen dari jumlah guru) menunjukkan bahwa rata-rata
untuk SD mencapai angka 36,86; untuk SMP 46,15; SMA 51,35. Kompetensi yang
rendah dari para guru membuat siswa tidak siap menghadapi ujian nasional
sehingga mereka stres.
Pendidikan adalah kunci untuk menyiapkan anak
bangsa sebagai aset sesungguhnya dari bangsa Indonesia. Jumlah penduduk usia
produktif yang lebih besar dari penduduk usia non-produktif harus dimanfaatkan
dengan baik. Kita harus memperbaiki kesejahteraan dan meningkatkan mutu guru,
termasuk guru swasta yang berjumlah hampir 1 juta orang.
Dengan melihat beberapa fakta di atas,
menurut saya kita baru 15 persen menjadi Indonesia. Kenyataan pahit itu terjadi
karena maraknya korupsi dalam arti luas (penyalahgunaan kekuasaan) dan
kebijakan yang tidak prorakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar