Skandal Intelektual
Teuku Kemal Pasya, Dosen
di FISIP Universitas Malikussaleh
SUMBER : SINAR HARAPAN, 05 April 2012
Sejak sebulan lalu, ketika telah muncul
skenario menaikkan harga BBM, pemerintah mengeluarkan pelbagai jurus untuk “melumpuhkan” kesadaran publik, di
antaranya menggelentorkan iklan di media bahwa pemilik kendaraan sangat berdosa
menggunakan “BBM bersubsidi” sebab
mengambil jatah rakyat paling miskin.
Iklan terus-menerus meneror publik dengan
kata-kata pencabutan subsidi BBM demi kesejahteraan publik agar pelayanan kesehatan
dan pendidikan lebih baik.
Yang tak alpa juga digunakan adalah
menghadirkan para cendekiawan, akademikus, “orang
kampus”, terutama yang berlatar belakang ekonomi untuk memberikan “pembenaran” atas apa yang dilakukan
pemerintah.
Hitungan statistik konsumsi BBM tidak tepat
sasaran, rasio kenaikan harga minyak mentah dengan ketahanan APBN, dan perlunya
modal untuk mengembangkan riset dan teknologi untuk energi terbarukan
dibandingkan menggunakan minyak, dan sebagainya.
Namun fatwa cendekiawan yang pro pasar bebas
ini tidak sesuai dengan nadi masyarakat yang melihat pemerintah kurang serius
mencari solusi selain menaikkan harga BBM sesuai dengan petunjuk “New York”.
Karena itu, tak heran muncul komentar wakil
menteri ESDM yang terkesan arogan di telinga publik, kalau negara ini ingin
maju seperti Rusia, India, China, dan Korea Selatan, subsidi harus dicabut.
Jangan salahkan kalau mahasiswa pun berontak.
Mereka melancarkan demonstrasi dan hanya ditemani kelompok buruh mengepung
Senayan agar menolak opsi perubahan APBN yang melegalisasi kenaikan harga BBM.
Aksi ini ternyata cukup sukses membuat DPR dan pemerintah menunda kenaikan
harga BBM.
Mahasiswa dalam kapasitas intelektualnya
bersikap sinis dengan pemerintah karena tega menghisap rakyat melalui “politik penyelamatan APBN” yang secara
riil membiarkan masyarakat membelanjakan kebutuhan pokok dengan harga mahal.
Mahasiswa menganggap pemerintah tidak memihak masyarakat.
Pada situasi itu, siapakah sesungguhnya yang
bisa disebut intelektual? Para akademikus pro pasar besar, teknokrat, dan rezim
pendukung liberalisasi migas, ataukah mahasiswa dan intelektual kritis seperti
Kwik Kian Gie dan Ikhsanuddin Noorsyi yang anticara berpikir pemerintah?
Menggugat Kekuasaan
Seorang intelektual—seperti diungkap pakar
poskolonial Geeta Chowdhry–adalah sosok yang “secara jernih memandang setiap konteks imperialisme, dan punya
keinginan kuat memproblematisasi representasi kultural yang terlanjur
memperkuat situasi ketidakadilan antara penguasa (the colonizer) dan yang dikuasai (the colonized)” (Chowdhry, Power, Postcolonialism, and
International Relations, 2002).
Di tengah situasi “peradaban bisnis” seperti sekarang ini, sikap kritis harus dimiliki
semua orang, termasuk kelompok terpelajar. Jika tidak, mereka hanya akan
menjustifikasi dan melegitimasi bentuk-bentuk dominasi, dari skala lokal hingga
global.
Dengan definisi itu, performa teknokrat dan “cendekiawan negara” itu gagal disebut
sebagai intelektual. Mereka gagal menunjukkan kemewahan intelegensianya untuk
membongkar problem sosial dan kemanusiaan negeri ini. Mereka hampir tidak
bicara status moral kekuasaan.
Momen bicara itu hanya jadi ajang
mengampanyekan visi “pembangunanisme”
dengan dasar liberalisme agar Indonesia menjadi salah satu negara adidaya di
dunia, membangun fondasi ekonomi paling kuat di Asia, dan tak lama lagi akan
menuju menjadi negara makmur.
Pernyataan seperti itu penuh debu
ketidakcocokan dengan realitas yang diserap mayoritas rakyat.
Pernyataan seperti itu hanya mengulang dogma
klasik pengikut neoliberalisme yang mencoba mematut-matutkan diri di tengah
agenda pembangunan versi lembaga-lembaga ekonomi dunia dan negara asing untuk
Indonesia. Kenyataannya, secara praksis rumah Indonesia ini belum menjadi tempat
yang nyaman bagi sebagian besar warganya.
Fenomena kemiskinan absolut, pengangguran
yang semakin memuncak, lautan demonstrasi buruh akibat upah murah, demonstrasi
mahasiswa hingga berdarah akibat rencana kenaikan harga BBM yang dituntun
skenario global, buruknya sistem pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi
mayoritas warga, keadilan yang tidak terakses bagi semua, peradilan sesat,
mafia pajak, politik uang, dan perusakanan lingkungan adalah lukisan realis
Indonesia hari ini. Gambaran surealisme Indonesia 2045 itu sama sekali tidak
menjejak di bumi.
Kata untuk Dunia
Kejadian ini menunjukkan tidak semua
komunitas bergelar dari universitas dan mendisiplinkan diri pada tradisi
akademis dapat disebut intelektual. Edward Said, seorang pakar linguistik sekaligus
tokoh poskolonial dari Columbia University, mengatakan seseorang ditahbiskan
sebagai intelektual karena memiliki kata-kata yang bisa digunakan untuk
menembus dunia.
Intelektual merepresentasikan keyakinannya
kepada publik melalui kata-katanya; cermin teguh diri pada kebenaran. Seorang
intelektual harus siap terasing.
Ia tidak harus melakukan penyesuaian kepada
masyarakat atau memberontak terhadap segala kemapanan. Ia hanya mengabdikan
diri pada pencarian kebenaran melalui metodologi yang dimilikinya untuk
memproduksi pengetahuan (Edward Said, 2008).
Kaum cendekiawan yang hanya menyalin
kata-kata pemerintah tanpa pernah bersikap oposisi sesungguhnya tidak dapat
dikatakan intelektual. Tentu tidak disalahkan jika ada di antara barisan
akademikus yang menjadi staf khusus presiden, staf ahli gubernur, staf ahli
bupati, dan sebagainya.
Namun yang diperlukan, berdasarkan profesinya
adalah tetap setia pada “asas
keberantaraan”, antara merekonstruksi dan mendekonstruksi. Pada tikungan
terakhir, ketika negara/elite gagal merepresentasikan masyarakat dan
kemanusiaan, ia harus menghindar agar tidak terjerumus sebagai propagandis atau
juru bicara pseudo-borjuis.
Jalan yang jarang ditapaki inilah harus
diambil setiap intelektual. Ia tak harus menjadi aktivis yang selalu mengkritik
pemerintah, namun harus mampu berposisi untuk membongkar kebohongan-kebohongan,
menganalisis masalah/motif/relasi kekuasaan, dan membuat pertanyaan untuk hal
yang sering tidak dipertanyakan lagi.
Ia harus menjadi “nabi bagi kebenaran yang tak tersekat waktu”. Ia harus berusaha
mempertahankan status moral, kemanusiaan, dan kebudayaan agar lebih tinggi dari
kepentingan politik dan ekonomi. Jika tidak ia hanya akan menjadi pengutip data
statistik kemudian menggunakannya untuk berdusta.
Tentu bukan itu peran intelektual. Karena
jika itu maka lebih tepat disebut sebagai “perselingkuhan
yang berhasil”, memakai istilah Paul Ricoeur, seseorang mengaku intelektual
tapi melakukan tindakan-tindakan anti-intelektual. Jangan sampai! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar