Senin, 09 April 2012

Biaya dan RUU Pendidikan Kedokteran


Biaya dan RUU Pendidikan Kedokteran
Kustaman, Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
SUMBER : JAWA POS, 09 April 2012



PENDIDIKAN kedokteran sampai saat ini masih menjadi pendidikan favorit. Untuk fakultas kedokteran (FK) favorit, daya kompetitif untuk masuk adalah 4-10 persen. Artinya, untuk setiap 100 peserta ujian masuk, hanya 4-10 orang yang diterima. Makin tinggi kualitas, makin kompetitif fakultas tersebut.

Di sinilah hukum ekonomi berlaku. Makin tinggi atau makin ketat daya kompetitif masuk suatu pendidikan, makin selektif mahasiswa yang bisa masuk. Yang ingin masuk dipandang dari berbagai sudut, baik kecerdasan maupun aspek sosial yang lain. Pada peserta yang memiliki fasilitas kehidupan serbacukup, kemampuan untuk mencari ilmunya juga unggul.

Mereka yang berkecukupan hidup atau orang kaya mempunyai kesempatan lebih tinggi. Sebab, biasanya mereka juga bersekolah di SMA yang juga unggul. Karena itulah, jika ada peserta yang berasal dari pedesaan dan bisa diterima, sungguh itu adalah orang pilihan. Dia barangkali jauh lebih unggul daripada mereka yang kaya dan diterima dengan nilai yang sama. Orang-orang itulah yang sangat dicari Universitas Airlangga.

Karena banyaknya pendaftar dari mereka yang berkecukupan, mereka pun biasanya juga mampu menyumbang dalam jumlah lebih banyak dibanding program studi lain. Meski, sumbangan itu tidak memengaruhi diterimanya mereka menjadi mahasiswa. Saat kita menawarkan beasiswa ke mahasiswa kedokteran pada FK yang unggul, di sini terasa sulit mencari siswa yang tergolong tidak mampu dalam jumlah cukup. Karena itu, beasiswa cenderung bisa dinikmati program studi yang lain.

Dalam catatan, mahasiswa yang masuk FK umumnya adalah pilihan pertama, membuktikan memang mereka sangat ingin masuk FK. Karena itu, sangat sulit mencari mahasiswa FK yang sudah diterima kemudian pindah ke program studi lain. Hal itu kiranya berlaku secara umum, bukan hanya mahasiswa kedokteran.

Karena kebanyakan yang mampu masuk FK adalah kalangan beruang, masyarakat seolah menilai bahwa seseorang harus kaya untuk masuk FK. Bahkan, dikaitkan dengan RUU Pendidikan Kedokteran, masuk sekolah kedokteran makin mahal. Padahal, dalam kenyataan, tidak ada perubahan atau dampak apa pun dalam hal biaya kuliah.

Kecuali pemerintah berani menggaransi bahwa pendidikan kedokteran akan ditanggung pemerintah, baru itu ada perubahan. Misalnya, pemerintah akan memberikan dana yang cukup ke FK, tentunya untuk FK yang terakreditasi dan layak dihargai.

Kembali ke permasalahan apakah sekolah di FK itu mahal. Misalnya, kita lihat saat ini FK unggul yang masuk dalam kelompok universitas pembina. Salah satunya, Universitas Airlangga. Dalam perhitungan kasar, biaya yang dibayar mahasiswa setiap semester adalah Rp 1.250.000 atau Rp 2.500.000 per tahun. Namun, kenyataannya, dalam setiap tahun, mereka membutuhkan biaya Rp 12 juta-Rp 15 juta. Hal itu belum termasuk belanja pegawai atau dosen yang disubsidi pemerintah, biaya mendidik dosen, dan lain-lain yang jika dihitung akan lebih tinggi.

Ditambah, para pimpinan Unair berkomitmen bahwa orang cerdas, walau tidak mampu, harus bisa masuk perguruan tinggi, khususnya FK. Mungkin masyarakat hanya melihat alokasi pendaftar jalur mandiri yang membayar mahal untuk sumbangan awal guna meningkatkan kualitas pendidikan. Padahal, kebijakan itu juga ditujukan untuk sumbangan silang mengimbangi pembayaran murah bagi jalur bukan mandiri. Juga, jumlah jalur mandiri itu sekitar sepertiga alokasi mahasiswa total.

Kita baca di Jawa Pos (Rabu, 5/4) tentang kegusaran ketua IDI soal tidak diakomodasinya usaha pemerintah untuk menurunkan biaya kuliah di FK. Hal ini kiranya layak menjadi pemikiran bagi kita yang sangat memikirkan nasib masyarakat umum untuk mendapat kesempatan masuk FK.

Namun, jika pemerintah menggaransi akan berusaha memberikan subsidi besar-besaran terhadap pendidikan di FK, sedangkan sistem ujian masuknya hanya didasarkan pada kemampuan dan kecerdasan peserta, hasilnya pun seperti subsidi BBM. Yang menikmati adalah orang-orang yang sama, yang mampu. Apakah itu yang menjadi keinginan kita?

Tiga Isu Pokok

Letak permasalahan RUU Pendidikan Kedokteran, menurut saya, adalah bagaimana cara biaya kuliah bisa turun. Namun, lebih tepat kalau ditujukan pada isu umum. Pertama, isu pemerataan distribusi dokter di Indonesia. Ada yang menyebut, kita tidak bisa memaksa mereka bekerja ke daerah karena bisa melanggar HAM. HAM-nya siapa? HAM lulusan dokter atau HAM masyarakat luas dan masyarakat pedesaan yang terpencil?

Kedua, isu wajib kerja sarjana maupun wajib kerja dokter spesialis. Untuk pendidikan dokter spesialis, subsidi pemerintah makin besar. Tapi, adakah kebijakan yang adil dalam mengabdi kepada masyarakat di daerah terpencil? Itulah yang harus diangkat.

Kalau dua hal tersebut luput dan belum terakomodasi, keberadaan RUU Pendidikan Kedokteran kehilangan jiwa. Ditambah permasalahan otonomi daerah, penempatan dokter di daerah akan menjadi permasalahan tersendiri. Semestinya kepentingan bangsa lebih dikedepankan dan itulah yang perlu diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran.

Ketiga, setelah dua pertanyaan itu dijawab, baru dibahas sistem pembiayaan pendidikan di fakultas kedokteran. Apakah diserahkan ke pasar seperti saat ini? Kalau begitu, apa bedanya dari pendidikan lain dan kenapa harus memiliki UU Pendidikan Kedokteran secara eksklusif? Di sinilah urgensi RUU Pendidikan Kedokteran untuk memberikan solusi biaya pendidikan.

Kalau tiga isu utama tersebut bisa diakomodasi dalam RUU Pendidikan Kedokteran, masyarakat bisa menilai bahwa UU Pendidikan Kedokteran memang dibutuhkan dan layak diundangkan. Kalau tiga isu utama itu tidak diakomodasi, untuk kepentingan siapa UU Pendidikan Kedokteran tersebut disahkan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar