Jumat, 02 Maret 2012

Yang Mulia Bisa Stress Juga


Yang Mulia Bisa Stress Juga
Reza Indragiri Amriel, DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
Sumber : KORAN TEMPO, 1 Maret 2012



Dinilai kapabilitasnya tidak memadai untuk memimpin persidangan sekelas perkara Wisma Atlet, sejumlah kalangan mengharapkan mundurnya Darmawati Ningsih dari posisi ketua majelis hakim. Pada dasarnya tuntutan ini beralasan karena publik berasumsi, dengan kompleksitas masalahnya yang begitu tinggi, kasus Wisma Atlet seharusnya ditangani oleh hakim-hakim kelas Hercules. Lengkap dari sisi kompetensi keras (pengetahuan dan keterampilan), kompetensi lunak (sikap memimpin persidangan), dan ketaatan pada kaidah-kaidah profesi.

Masyarakat, terlebih yang awam, cenderung memandang hakim sebagai sosok omnipotent. Dengan--anggapan--kemampuan kerjanya yang luar biasa itulah, hakim dituntut secara ideal dapat mengungkap kebenaran demi kebenaran dalam persidangan yang dipandunya, sekaligus membuka pintu-pintu kebenaran yang relevan bagi persidangan-persidangan terkait lainnya.

Agar dapat memenuhi gambaran ideal itu, khalayak lagi-lagi beranggapan hakim pasti mampu mengolah seluruh informasi dan bukti secara komprehensif dan koheren. Terlepas apakah kasus yang disidangkan tergolong sederhana atau rumit semacam Wisma Atlet.

Dari perspektif psikologis, citra hakim yang digambarkan sedemikian ideal sesungguhnya merupakan utopia. Pada kenyataannya, setidaknya terdapat tiga nature pekerjaan hakim yang menjadikan profesi ini luar biasa berat. Yaitu, hakim harus berhadapan dengan timbunan informasi, sementara alokasi waktu yang tersedia hanya singkat, dan kapasitas mental individu hakim pun mempunyai keterbatasan untuk mengelola ketidakseimbangan antara informasi dan pengetahuan tersebut.

Studi-studi empiris juga menunjukkan betapa hakim rentan mengalami stres. Sumbernya bervariasi, seperti yang sebagian di antaranya dicantumkan di bawah ini.

Berkaitan langsung dengan proses persidangan, relevan dengan konteks kasus semacam Wisma Atlet, rangkaian persidangan yang memakan waktu panjang lagi membosankan dapat memunculkan stres berupa, antara lain, kelebihan beban kognitif (cognitive overload). Ketika berimbas ke ranah emosi, hakim dapat kehilangan sensitivitasnya. Daya kritis menurun, digantikan oleh pola kerja yang serba normatif dan prosedural. Untuk perkara yang keruwetannya amat tinggi seperti kasus Wisma Atlet, pola kerja semacam itu tentu akan mempertontonkan hakim laiknya individu yang naif.

Secara manusiawi, sebagian hakim yang menjadi subyek penelitian mengakui bahwa mereka bisa terbebani oleh figur yang menjadi terdakwa. Namun, riset menemukan, ada lebih banyak lagi hakim yang mengakui bahwa mereka dibuat stres oleh karakteristik pihak-pihak terkait secara keseluruhan, tidak semata-mata oleh terdakwa. Berhadapan dengan saksi-saksi berprofil tinggi, misalnya, hakim bisa mengalami perasaan tertekan.

Liputan media, bahkan keberadaan kamera di ruang persidangan, turut menciptakan suasana “sedang diawasi”, sehingga berisiko mempertinggi kadar stres sang pengadil. Bisa dibayangkan, semakin tinggi bobot kasus, semakin besar pula ekspektasi publik akan putusan yang adil dan memuaskan, betapapun--di mata khalayak--itu sangat subyektif sifatnya.

Selain itu, ada penyebab stres yang berhubungan tidak langsung dengan persidangan itu sendiri. Masalah-masalah keluarga si hakim dan konstelasi politik di luar arena persidangan, misalnya. Temuan-temuan di atas kebanyakan berasal dari penelitian terhadap hakim-hakim Amerika. Berbeda dengan di Indonesia, di mana format hakim adalah panel (majelis), hakim di Negeri Abang Sam bekerja di atas singgasana tunggal.

Bekerja dalam format panel tidak serta-merta membuat kerja hakim, terutama ketua majelis hakim, menjadi lebih mudah. Memperhatikan dinamika yang dapat berlangsung di antara sesama anggota majelis, friksi justru rawan menjadi sumber stres susulan. Bahkan manakala jenis kelamin dimasukkan ke penelitian, terungkap bahwa hakim-hakim perempuan lebih rentan terhadap stres ketimbang kolega mereka yang laki-laki.

Mencantumkan satu per satu faktor-faktor ekstrayudisial yang dapat mempengaruhi kerja hakim, seperti di atas, saya tidak berpretensi menyatakan bahwa ketua majelis hakim persidangan M. Nazaruddin niscaya mengalami stres sehingga tak mampu menjalankan tugas secara “militan”.

Justru, dalam skala luas, saya ingin mengajukan pertanyaan ke seluruh sarjana hukum. Mengapa, dengan limpahan dinamika psikologis yang sangat mengganggu itu, tetap saja orang berbondong-bondong ingin berprofesi sebagai "yang mulia hakim"? *

Mencantumkan satu per satu faktor-faktor ekstrayudisial yang dapat mempengaruhi kerja hakim, seperti di atas, saya tidak berpretensi menyatakan bahwa ketua majelis hakim persidangan M. Nazaruddin niscaya mengalami stres sehingga tak mampu menjalankan tugas secara “militan”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar