Senin, 05 Maret 2012

HET dan Problem Per-pupuk-an


HET dan Problem Per-pupuk-an
Rahmat Pramulya, DOSEN DAN PENELITI DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR,
MEULABOH, ACEH BARAT
SUMBER : SUARA KARYA, 5 Maret 2012



Pemerintah bersikukuh untuk menaikkan harga pupuk urea mengingat rencana tersebut sudah dimasukkan dalam UU APBN 2012. Selain itu, diyakini bahwa langkah tersebut juga tidak akan membebani kalangan petani. Sementara kenaikan harga eceran tertinggi (HET) urea bersubsidi pada tahun ini sebesar Rp 200 per kilogram (kg) atau 12,5 persen dari harga sebelumnya.

Pupuk, kalau bukan karena langka di pengecer, harganya pasti melonjak. Walaupun pemerintah sudah menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk pupuk, petani tetap mengeluh. Penyakit kronis pupuk seolah menjadi problem tahunan yang mesti dihadapi petani kita. Pemerintah terkesan seperti tidak mengambil pelajaran dari kasus tersebut yang hampir selalu berulang setiap musim.

Produksi pupuk (urea) secara nasional mencapai 5,8 juta ton, sedangkan kebutuhan petani mencapai 5,7 juta ton. Ini berarti produksi pupuk dalam negeri mestinya mampu mencukupi kebutuhan petani. Kenapa sering terjadi kelangkaan pupuk, dan apa yang salah?

Problem tata niaga kemudian banyak disebut-sebut sebagai biang keladi persoalan kelangkaan tersebut. Potret tata niaga pupuk di negeri ini memang terbilang buram. Jika kita coba telusuri, tata niaga pupuk telah dibongkar-pasang berkali-kali. Perkembangan terakhirnya, pada 1997 dibentuk perusahaan induk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pupuk dengan Pusri memonopoli distribusi dan pemasarannya. Akhir 1998, tata niaga dibubarkan. Semua subsidi dihapus kecuali untuk penyaluran ke daerah terpencil. Pada tahun 2000, produsen kembali mendapat potongan harga gas, bahan baku utama pupuk. Setahun kemudian, tata niaga pupuk untuk tanaman pangan dan perkebunan rakyat diberlakukan lagi dengan Pusri memonopoli distribusinya.

Tahun 2003, sekali lagi tata niaga dirombak. Kali ini produsen tetap mendapat potongan harga gas, tapi monopoli Pusri dicabut. Gantinya diterapkan rayonisasi distribusi pupuk, satu atau beberapa provinsi untuk setiap produsen. Produsen wajib memasok pupuk ke distributor sampai ke tingkat kabupaten pada harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (SK-MPP) Nomor 356/2004 semakin memperkuat hal tersebut. Yang terbaru, menteri perdagangan telah mengeluarkan SK No 03/2006 yang mengatur sistem pengawasan distribusi terhadap pupuk bersubsidi tersebut.

Sistem distribusi seharusnya dipisahkan dari sistem produksi. Selama ini sistem distribusi dilakukan oleh pabrik-pabrik pupuk, paling tidak sampai di lini III. Di situ ada konflik kepentingan dan tidak efisien. Pemerintah harus memikirkan masalah itu. Semestinya, biarlah pabrik pupuk bertugas memproduksi saja. Soal distribusi pupuk biar ditangani institusi lain.

Terkait subsidi, ternyata petani tidak merasakan secara langsung program subsidi pupuk. Subsidi pupuk bagi petani tidak efektif, salah sasaran, bahkan memberatkan petani. Seharusnya subsidi pupuk dinikmati petani, kenyataannya justru dinikmati pihak tertentu seperti pedagang dan distributor.

Harga pupuk di tingkat petani tidak berkaitan langsung dengan harga pokok pabrik pupuk domestik. Pada pasar terbuka seperti saat ini, harga pupuk di tingkat petani ditentukan oleh harga paritas impornya. Pengalaman selama lima tahun terakhir membuktikan hal tersebut.

Jika harga pupuk di pasar internasional meningkat, maka untuk mengejar laba yang lebih tinggi, pabrik pupuk domestik cenderung mengekspor produknya. Akibatnya adalah pasokan pupuk di tingkat petani menjadi langka dan harganya pun meningkat sepadan dengan peningkatan harga pupuk internasional.

Petani mengharapkan pemerintah memberikan subsidi secara langsung. Sama halnya dengan subsidi lewat pemberian bantuan tunai langsung. Dengan begitu, pemerintah membantu petani tidak setengah-setengah, petani benar-benar merasakan langsung manfaat subsidi itu.

Oleh karena itu, format kebijakan subsidi gas bagi pabrik pupuk memang sudah saatnya diakhiri karena bisa menguntungkan pabrik pupuk dengan merugikan petani dan negara. Kebijakan ini tidak sesuai dengan misi awal pembangunan industri pupuk, yaitu untuk menunjang pembangunan pertanian nasional. Kebijakan pupuk nasional harus dirancang ulang sehingga lebih mendahulukan kepentingan petani dan upaya revitalisasi sektor pertanian. Opsi kebijakan yang lebih memihak petani dan pembangunan pertanian ialah memberikan subsidi pupuk langsung kepada petani seperti pada masa lalu.

Mekanisme subsidi bagi petani lebih baik dilakukan dengan meningkatkan harga pembelian gabah yang lebih tinggi. Konsekuensinya pabrik pupuk akan membeli gas pada harga pasar dan pada saat yang sama harga pupuk di tingkat petani akan naik. Ada tiga keuntungan dengan mekanisme ini. Pertama, petani akan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk di tingkat petani jauh lebih tinggi dari rekomendasi teknis. Kedua, berbagai studi menunjukkan bahwa petani lebih responsif terhadap insentif kenaikan harga pembelian gabah dibandingkan dengan kenaikan harga pupuk. Ketiga, bagi pabrik pupuk, perubahan mekanisme subsidi ini akan mendorong efisiensi karena membeli harga gas sesuai dengan harga pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar