Rabu, 22 Februari 2012

Solusi Jurnal Online Kampus


Solusi Jurnal Online Kampus
Lukman Hakim, DOSEN DAN BERPENGALAMAN MENJADI EDITOR E-JOURNAL/REPOSITORY
DI WEBSITE IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
Sumber : JAWA POS, 22 Februari 2012


REAKSI berbagai kampus atas surat edaran (SE) Dikti tentang kewajiban para calon sarjana memublikasikan karya ilmiahnya dalam jurnal ilmiah masih terus berlanjut. Akhir pekan lalu, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) yang beranggota 3.150 PTS memboikot dan menangguhkan penerapan SE Dikti Nomor 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 (Jawa Pos, 17 dan 18 Februari 2012).

Dalam kalkulasi rasional, SE Dikti tersebut memang sulit diterima. Alasan pertama, SDM dan sarana kampus belum siap karena waktu yang cukup singkat untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Kedua, kebijakan itu tiba-tiba dan cenderung emosional. Salah satunya, sikap reaktif dan cemburu atas pencapaian perguruan tinggi (PT) di Malaysia.

PT Kita Ungguli Malaysia

Betulkah akademisi dan PT di Malaysia lebih unggul dari kita dalam publikasi ilmiah? Beberapa pakar menyatakan begitu, termasuk Dikti.

Tapi, hasil riset Webometrics (yang dirilis Januari 2012) menunjukkan data yang berbeda. Menurut lembaga internasional pemeringkat website kampus di dunia yang bermarkas di Spanyol itu, PT di Indonesia lebih unggul daripada Malaysia.

Dalam kategori repository (gudang database yang berisi artikel populer, jurnal ilmiah, skripsi, tesis, dan disertasi), ada tiga PT kita yang masuk peringkat 50 besar kampus terbaik di dunia. Yakni, ITS Surabaya (peringkat ke-13), USU Medan (26), dan Undip Semarang (34). Sementara itu, tidak satu pun PT Malaysia masuk 50 besar.

Selain itu, dalam kategori website kampus terbaik di dunia (Ranking Web of World Universities), PT Indonesia jauh mengungguli Malaysia. Bayangkan, 352 di antara 20.366 PT yang masuk peringkat world class university (WCU) versi Webometrics itu adalah PTN dan PTS Indonesia. UGM (249), ITB (277), dan UI (365) masuk top 400 world universities. Di Malaysia, hanya ada 75 universitas di WCU, tapi di bawah 400 besar.

Dasar pemeringkatan Webometrics itu tidak hanya menilai jumlah tautan domain, namun juga didasarkan pada banyaknya file (rich file) dan jumlah artikel ilmiah -termasuk skripsi, tesis, disertasi, artikel jurnal, dan tulisan populer- di web kampus terkait yang terlacak melalui Google Scholar.

Dari situ, setidaknya alasan bahwa kuantitas karya ilmiah akademisi Indonesia lebih minim daripada Malaysia tidak sepenuhnya benar. Karena itu, penerbitan SE Dikti pada 27 Januari 2012 tersebut dinilai ''emosional'' dan kurang tepat.

Siapkan Software Antiplagiat

Terkait dengan prestasi di Webometrics itu, solusi paling rasional untuk menyikapi kebijakan SE Dikti tersebut adalah mengoptimalkan peran website kampus, baik dalam bentuk e-journal, online journal, maupun repository. Model online akan menghemat kertas (paperless), juga akan mudah diakses semua orang di seluruh dunia.

Lebih dari itu, hampir semua kampus saat ini sudah mewajibkan mahasiswanya untuk menyerahkan skripsi, tesis, serta disertasi dalam bentuk hard-copy dan soft-copy. Tidak sulit bagi pengelola website kampus untuk mengunggahnya dalam format online.

IAIN Sunan Ampel, misalnya, lima tahun belakangan ini sudah mendigitalkan sekaligus meng-online-kan semua karya ilmiah dengan program GDL (digital library). Beberapa hasil penelitian dan artikel populer dosen diunggah di repository website dengan program e-print. Selain itu, didigitalkan pula puluhan jurnal cetak yang diterbitkan jurusan dalam format e-journal. Yakinlah, 352 PTN-PTS yang masuk peringkat WCU versi Webometrics juga sudah menerapkan dan menggunakan program yang sama.

Namun, harus diakui, jangka waktu enam bulan untuk penerapan SE Dikti tersebut terlalu pendek. Tidak semua kampus mempunyai manajemen website yang bagus. Belum lagi problem kekhawatiran adanya plagiasi. Dengan sistem online, keaslian setiap karya ilmiah akan semakin mudah diakses dan dideteksi. Jika didapati semakin banyak karya akademisi Indonesia yang tidak orisinal atau plagiat, citra PT kita bisa terpuruk.

Karena itu, Dikti harus legawa untuk menjadikan tahun 2012 ini sebagai masa sosialisasi dan persiapan, belum pelaksanaan. Setidaknya, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam senjang waktu ini.

Pertama, Dikti harus membuat standar referencing dan plagiasi yang baku yang lebih lanjut akan digunakan sebagai acuan untuk pembuatan alat (software) deteksi plagiat karya ilmiah. Sekarang kita tidak punya acuan seperti apa sebuah karya dianggap plagiat, baik dari sisi ide maupun teknik penulisan seperti referencing, quoting, dan paraphrasing.

Pengalaman saya selama kuliah di University of New England (UNE), Australia, semua tugas, skripsi atau tesis, harus dimasukkan dalam software deteksi plagiat sebelum diserahkan. Jika terdeteksi ada plagiasi lebih dari 10 persen, tugas harus direvisi dan tidak boleh diunggah (upload). Software versi bahasa Indonesia itulah yang harus kita miliki di negeri kita untuk mengurangi risiko plagiasi. Tanpa perangkat itu, para editor online journal, e-journal, atau repository website kampus akan selalu waswas seperti yang saya alami selama menjadi editor website IAIN Sunan Ampel.

Kedua, dalam kurun waktu persiapan ini, pihak kampus bisa memanfaatkan untuk menata manajemen pengelolaan jurnal online atau jurnal cetak serta menyosialisasikannya kepada para calon sarjana. Bagi perguruan tinggi yang merasa siap dengan jurnal online, silakan jalan. Begitu pula dengan kampus yang lebih siap dengan jurnal versi cetak.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar