Rabu, 01 Februari 2012

Program Nuklir Iran dan Kebijakan AS di Timteng


Program Nuklir Iran dan Kebijakan AS di Timteng
Dwi Sasongko, WARTAWAN SENIOR, ALUMNUS PARAMADINA
GRADUATE SCHOOL OF DIPLOMACY
Sumber : SINDO, 1 Februari 2012


Beberapa waktu lalu, IAEA mengumumkan Iran telah mampu memperkaya uranium hingga mencapai kadar 20% dalam proyek nuklirnya di Fordow.
Temuan ini membuat Iran semakin terjepit. Amerika Serikat (AS) dan sekutunya (Barat) seakan menemukan “peluang” baru dalam menghentikan program nuklir Iran. Benarkah Iran sedang mengembangkan senjata nuklir? Analis Timur Tengah James M Lindsay dan Ray Takeyh dalam tulisannya After Iran Gets the Bombdua tahun lalu telah memprediksi Iran segera menjadi kekuatan nuklir ke-10 dunia. (Foreign Affair, Maret-April 2010). Atas hal itu,ada dua pertanyaan yang diajukan dalam tulisan ini. Faktor apa yang membuat Iran dicurigai mengembangkan senjata nuklir? Mengapa Iran mempertahankan program nuklirnya ditengahtekanannegara-negara Barat?

Kecurigaan

Ada sejumlah faktor yang membuat Iran terus dicurigai mengembangkan senjata nuklir. Pertama, Iran dikenal sebagai negara yang cenderung tertutup dan sangat anti-AS. Sejak Revolusi Islam tahun 1979, hubungan Iran dan AS terus memburuk. Berbagai embargo dilakukan AS untuk menghancurkan Iran, salah satunya kebijakan AS soal Iran Libya Sanctions Act (ILSA) yang melarang semua negara berinvestasi di Iran melebihi USD20 juta pada bidang energi.

Perbedaan ideologi dan kepentingan dengan AS menjadi faktor utama munculnya kecurigaan terhadap nuklir Iran tersebut. Apalagi, Iran di bawah Mahmoud Ahmadinejad sangat anti-Israel. Kedua,Iran memiliki teknologi rudal yang makin canggih. Berdasarkan data intelijen AS, Iran telah mengembangkan program rudal antarbenua (ICBM/intercontinental ballistic missile) sejak 1999.Kemampuan rudal Iran membuat khawatir masyarakat internasional, terutama negara-negara yang bisa dijangkau oleh rudal tersebut seperti Israel dan negara-negara Arab.

Ketiga, Iran di OPEC merupakan produsen minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi dengan kapasitas produksi sekitar 3,5 juta barel per hari. Menurut Oil and Gas Journal, per Januari 2011, Iran diperkirakan memiliki cadangan minyak terbukti (proven oil reserves ) 137 miliar barel atau sekitar 9,3% dari total cadangan minyak dunia. Kekayaan minyak Iran yang begitu melimpah ini tentu sangat menggiurkan sejumlah perusahaan minyak asing untuk menguasainya, tak terkecuali AS dan sekutunya.

Keempat, kebijakan Iran adalah untuk melakukan pengayaan uranium sendiri meskipun Rusia bersedia memberikan pasokan bahan-bahan nuklir kepada Iran.Sikap Iran yang menolak menghentikan pengayaan uranium atas permintaan IAEA menimbulkan kecurigaan bahwa Iran juga memiliki misi lain atas program nuklirnya. Apalagi, kabar terakhir, Iran berhasil melakukan proses pengayaan uranium hingga 20% di Fordow. Hanya soal waktu sampai Iran mampu menghasilkan uranium berkadar 90% untuk senjata nuklir.

Iran beralasan pengayaan nuklir dilakukan agar negaranyabisa mandiri karena selama ini negara ini terus digempur dengan berbagai embargo dari Barat. Iran juga memiliki pengalaman pahit mengenai kerja sama nuklir dengan sejumlah negara seperti Jerman maupun Rusia.Pada era Shah Reza Pahlevi, misalnya, Iran telah membayar miliaran dolar AS kepada Jerman, tetapi begitu pecah Revolusi Islam, kerja sama program nuklir itu bubar tanpa konsesi apa pun. Namun,apa pun alasan Iran dan sikapnya yang cenderung konfrontatif membuat negara itu terus dicurigai.

Apalagi kecurigaan itu dibesar-besarkan AS untuk mencari pembenaran menghentikan nuklir Iran. Sikap AS ini tentu dipertanyakan karena Badan Energi Atom Internasional (IAEA) belum menemukan bukti konkret keberadaan senjata nuklir Iran. Iran pun harus menanggung risiko dari kebijakannya mempertahankan program nuklirnya dengan berbagai sanksi dari DK PBB. Dalam resolusi yang mulai disematkan tahun 2006 hingga 2010 itu, DK PBB telah mengembargo berbagai perusahaan dan pejabat Iran yang dimasukkan dalam daftar hitam perdagangan dunia karena terkait dengan aktivitas nuklir Iran.

Meski begitu, sanksi-sanksi tersebut tak banyak berpengaruh bagi Iran. Bahkan, Iran terus berjuang mencari dukungan internasional atas program nuklirnya. Menurut Iran, program nuklirnya ditujukan untuk mendukung pasokan listrik negaranya.Sebagai negara penandatangan NPT (nuclear non-proliferation treaty), Iran memiliki hak mutlak (inalienable rights) mengembangkan teknologi nuklir untuk kepentingan damai.

Faktor Deterrence dan Prestise Internasional

Dari sisi politik luar negeri, motivasi Iran mengembangkan nuklir didasarkan dua aspek. Pertama, sebagai faktor deterrencedan kekuatan penyeimbang dalam hubungan internasional. Kedua, kepemilikan teknologi nuklir Iran bisa meningkatkan prestise internasionalnya. Hal ini pada gilirannya juga meningkatkan daya tawar (bargaining power) Iran.

Keinginan Iran untuk memiliki teknologi nuklir,bahkan senjata nuklir sekalipun, bisa dipahami sebagai upaya pertahanan diri sebuah negara dari ancaman asing. Jangan lupa posisi Iran yang berada di kawasan “panas”Timur Tengah yang memang sangat rawan terjadi konflik militer. Secara geopolitik, Iran dikelilingi negara-negara pemilik senjata nuklir seperti Israel,Pakistan, India, China, serta Rusia. Iran juga terancam oleh kehadiran kekuatan militer AS di hampir semua sisi perbatasannya.

Karena itu, penambahan kekuatan militer untuk pertahanan diri merupakan suatu “keharusan”bagi suatu negara seperti Iran kalau tidak ingin tersingkir dari persaingan global yang saat ini didominasi politik kekuatan (power politic). Terlepas dari kepentingan nuklir Iran, Barat telah bertindak inkonsisten. Misalnya, Barat tidak mempermasalahkan senjata nuklir yang dimiliki India, Pakistan, dan Israel.

Standar ganda ini perlu dipertanyakan seiring getolnya Barat menekan Iran agar menghentikan program nuklirnya di satu sisi dan di sisi yang lain membiarkan negara lain menguasai senjata nuklir sejauh mereka memiliki kesamaan kepentingan dan platform politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar