Kamis, 23 Februari 2012

Pers Mengancam DPR?


Pers Mengancam DPR?
I Dian Kurnia, MAHASISWA SEJARAH UIN SUNAN GUNUNG DJATI (SGD) BANDUNG
Sumber : REPUBLIKA, 22 Februari 2012



Rencana Badan Urusan Rumah Tangga (BURT)— salah satu alat kelengkapan DPR—membuat Tata Tertib (Tatib) Peliputan Jurnalis pada kegiatan DPR RI bagi wartawan media cetak dan elektronik adalah sebuah arogansi nyata dari badan publik terhadap awak media. Tatib ini akan menghambat corong demokrasi dan kebebasan pers serta mengaburkan transparansi kerja wakil rakyat di parlemen.

Aturan tersebut memuat pasal “sakit” tentang fungsi kontrol pers. Seperti, mengharuskan setiap wartawan menye rahkan slip gaji penghasilan per bulan kepada Sekjen DPR. Hal yang tidak ma suk akal dalam konteks negara de mokratis. Beberapa kalangan berpenda pat bahwa rencana tersebut berkaitan erat dengan ketakutan oknum anggota dewan atas terekamnya perilaku “amoral” beberapa anggota dari mereka oleh wartawan. Seperti nonton video porno, adu jotos antarfraksi, tidur sewaktu rapat, dan lain-lain. Benarkah DPR merasa terancam dengan keberadaan pers sehingga langkah mereka dipersempit untuk memasuki gedung parlemen? Berdasarkan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Dalam menjalankan tugas jurnalistik, pers di lindungi oleh hukum negara,        masyarakat, dan perusahaan pers. War tawan di lindungi dari tindak kekerasan, peng ambilan, penyitaan, atau perampasan alat kerja, tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak mana pun.

Piagam Palembang lahir atas kesepakatan delapan belas pemimpin redaksi (pemred) pers nasional yang disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yu dhoyono. Di antara isinya adalah Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, dan Standar Kompetensi Wartawan. Oleh karena itu, langkah “tak cerdas” DPR menyusun Tata Tertib Peliputan Jur nalis—yang sarat dengan restriksi atau pembatasan—hanya dapat memicu keretakan informasi arus kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Sebagaimana hasil riset Amartya Kumar Sen dalam bukunya Development as Freedom (1999), bencana kelaparan lebih banyak ditentukan oleh sistem administrasi dan distribusi pangan ketimbang kelangkaan pangan atau gagal panen. Artinya, infor masi amat sentral dalam mendorong ge rak laju pembangunan.

Pada zaman Hindia Belanda pernah diberlakukan 35 pasal yang bisa menggiring orang ke penjara karena berekspresi secara bebas, baik itu berupa tulisan maupun lisan. Dari ke-35 pasal itu, pelaku yang dianggap melakukan pelanggaran terancam hukuman maksimal tujuh tahun penjara. Zaman Orde Baru berkuasa lebih “sadis” lagi. Regu lasi tersebut dinaikkan menjadi 37 pasal de ngan ancaman hukuman seumur hidup. Pasca-Orde Baru, ancaman tertinggi dari pasal-pasal tersebut adalah hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Mengapa hal itu harus terjadi? Bu kan kah kebebasan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi diakui dalam konstitusi kita (Pasal 28F UUD 45 amendemen keempat) serta Pasal 19 Dek larasi Universal HAM? Era reformasi adalah era kebebasan pers. Era di mana publik beserta awak media—dengan tidak melupakan hu kum—menyuarakan pendapat di muka umum tanpa harus ada restriksi. Rencana BURT memberlakukan Tata Tertib Peliputan Jurnalis bagi wartawan di ge dung DPR RI hendaknya perlu dikaji ulang. Pers bukanlah ancaman bagi parlemen jika mereka berpikir. Pers menggandeng parlemen dalam menjalankan amanat konstitusi. Tentunya ber landaskan semangat perubahan. Jangan sampai publik, lewat awak media, mencemooh kinerja memble DPR untuk ke sekian kalinya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar