Jumat, 03 Februari 2012

Pembangunan Berkesinambungan dan Perubahan Iklim


Pembangunan Berkesinambungan
dan Perubahan Iklim
Jeffrey D. Sachs, GURU BESAR EKONOMI DAN DIREKTUR EARTH INSTITUTE DI COLUMBIA UNIVERSITY, PENASIHAT KHUSUS SEKRETARIS JENDERAL PBB MENGENAI MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS
Sumber : KORAN TEMPO, 3 Februari 2012


Pembangunan berkesinambungan berarti mencapai pertumbuhan ekonomi yang dinikmati bersama dan yang melindungi sumber daya bumi yang vital. Namun ekonomi global saat ini tidak berkesinambungan. Lebih dari 1 miliar orang tertinggal di belakang dan lingkungan alam menderita kerusakan yang parah akibat ulah manusia. Pembangunan yang berkesinambungan memerlukan mobilisasi teknologi-teknologi baru yang dibimbing nilai-nilai sosial yang dibagi bersama.

Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa Ban Ki-moon dengan tepat telah menempatkan pembangunan berkesinambungan pada urutan teratas agenda global. Kita telah memasuki masa yang berbahaya, dengan jumlah penduduk bumi yang besar dan terus bertambah, beserta pertumbuhan ekonomi yang cepat, yang dikhawatirkan bakal membawa dampak serius terhadap iklim dunia, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan air tawar. Para ilmuwan menamakan periode baru ini Anthropocene--ketika manusia telah menjadi penyebab utama perubahan fisik dan biologis di muka bumi.

Panel Kebersinambungan Global (GSP) Sekretaris Jenderal PBB telah mengeluarkan sebuah laporan yang memberikan garis besar kerangka pembangunan berkesinambungan. GSP mencatat ada tiga pilar pembangunan berkesinambungan: mengakhiri kemiskinan ekstrem; memastikan kemakmuran dibagi bersama untuk semua, termasuk wanita, generasi muda, dan kaum minoritas; serta melindungi lingkungan. Pilar-pilar ini bisa disebut pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan. Atau, sederhananya, triple bottom line pembangunan berkesinambungan.

GSP telah menyerukan kepada para pemimpin dunia agar mengadopsi serangkaian baru Sustainable Development Goals, atau SDGs, yang akan membantu memberi bentuk aksi dan kebijakan global setelah 2015 sebagai target tercapainya Millennium Development Goals (MDGs).
Sementara MDGs berfokus pada pengentasan masyarakat miskin ekstrem, SDGs akan berfokus pada ketiga pilar pembangunan berkesinambungan: mengakhiri kemiskinan ekstrem, dinikmatinya bersama hasil-hasil pembangunan ekonomi, dan dilindunginya bumi

Sudah tentu mencapai tujuan yang hendak diraih SDGs tidak semudah meluncurkannya.  Masalahnya bisa dilihat dengan mengamati satu tantangan utamanya: perubahan iklim. Dewasa ini, ada 7 miliar orang yang mendiami bumi, dan setiap satu orang rata-rata ikut bertanggungjawab atas lepasnya setiap tahun lebih dari 4 ton karbon dioksida ke dalam atmosfir. Emisi CO2 terjadi ketika kita menggunakan batubara, minyak, dan gas untuk menghasilkan listrik, mengendarai mobil, atau menyalakan alat penghangat di rumah kita. Semua manusia mengeluarkan emisi sekitar 30 miliar ton CO2 per tahun ke dalam atmosfer, jumlah yang cukup untuk mengubah iklim dengan tajam dalam waktu beberapa dekade.

Menjelang 2050, mungkin bakal ada lebih dari 9 miliar orang di muka bumi. Jika orang-orang ini lebih kaya daripada orang-orang sekarang ini (dan karena itu menggunakan lebih banyak bahan bakar per orang), total emisi di seluruh dunia bakal meningkat dua kali atau bahkan tiga kali lipat. Inilah dilema yang harus kita hadapi: kita perlu membatasi emisi CO2, tapi kita berada di jalur global yang mendorong emisi semakin besar.

Kita harus peduli terhadap skenario ini, karena jika kita tetap berada di jalur emisi global yang terus meningkat, hampir pasti bakal terjadi kekacauan dan penderitaan bagi miliaran orang, sementara mereka dilanda kekeringan, gelombang panas, badai, dan banyak lagi bencana lainnya. Kita sudah mengalami awal dari penderitaan itu pada tahun-tahun terakhir ini dengan terjadinya kelaparan yang kejam, banjir, dan bencana-bencana lainnya yang terkait dengan perubahan iklim.

Jadi, bagaimana penduduk di muka bumi ini—terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan—bisa memperoleh manfaat dari akses transportasi modern yang lebih besar, tapi dengan cara yang menyelamatkan bumi, bukan dengan menghancurkannya? Kenyataannya adalah kita tidak bisa melakukannya—kecuali kita meningkatkan dengan dramatis teknologi yang kita gunakan.

Kita perlu menggunakan energi dengan lebih bijaksana, sedangkan kita beralih dari bahan bakar fosil ke sumber-sumber energi rendah karbon. Peningkatan-peningkatan yang menentukan pasti bisa dicapai, dan secara ekonomi realistis.

Lihat saja, misalnya, tidak efisiennya energi mobil. Kita sekarang ini bergerak dari satu ke tempat lainnya dengan kendaraan yang beratnya sekitar 1.000-2.000 kilogram untuk mengangkut cuma beberapa orang, yang masing-masing beratnya mungkin sekitar 75 kilogram. Dan kita berbuat begitu dengan menggunakan motor yang memanfaatkan hanya sebagian kecil dari energi yang dirilis dengan membakar bensin. Sebagian besar energi itu hilang sebagai panas yang terbuang percuma.

Maka kita sangat bisa mengurangi emisi CO2 dengan beralih ke kendaraan kecil, ringan, dan yang menggunakan tenaga baterai yang menggerakkan motor listrik yang sangat efisien dan yang dimuati listrik dari sumber energi rendah karbon seperti tenaga surya. Bahkan lebih baik lagi, dengan beralih ke kendaraan listrik, kita bakal bisa menggunakan teknologi informasi yang canggih untuk membuat kendaraan itu pintar—bahkan cukup pintar untuk mengembalikan dirinya sendiri dengan menggunakan sistem olah data dan positioning yang maju.

Manfaat teknologi informasi dan komunikasi bisa ditemukan di setiap wilayah kegiatan manusia: pertanian yang lebih baik dengan menggunakan GPS dan pupuk mikro; presisi manufaktur, yang tahu bagaimana menghemat penggunaan energi; dan kemampuan Internet, yang informatif dan yang menghapus jarak itu. Mobile broadband sekarang sudah menjangkau dan menghubungkan bahkan desa-desa terpencil di Afrika dan India, dan dengan demikian memangkas perlunya perjalanan untuk menghubungi desa-desa itu.

Perbankan sekarang dilakukan lewat telepon, dan begitu juga dunia medis yang semakin luas jangkauan diagnostiknya. Buku elektronik dipancarkan langsung ke dalam telepon seluler tanpa perlu adanya toko buku, perjalanan, dan kertas untuk terbentuknya buku secara fisik. Pendidikan juga semakin tersedia online, dan tidak lama lagi memungkinkan siswa di mana-mana memperoleh pelajaran kelas satu dengan ongkos yang “marginal”—hamper boleh dikatakan nol.

Tapi berangkat dari sini menuju ke pembangunan berkesinambungan bukan cuma soal teknologi. Ini juga soal insentif pasar, regulasi pemerintah, dan dukungan publik untuk penelitian dan pengembangan. Tapi bahkan yang lebih mendasar dari kebijakan dan regulasi adalah tantangan nilai. Kita harus memahami nasib yang kita bagi bersama, dan merangkul pembangunan berkesinambungan sebagai komitmen pada kepantasan (decency) hidup bagi umat manusia hari ini dan di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar