Karut
Marut Sistem Transportasi
Wasisto Raharjo Jati, ANALIS
KEBIJAKAN PUBLIK FISIPOL UGM
Sumber
: SINAR HARAPAN, 16
Februari 2012
Awal 2012 mencatat sejarah kelam sistem
transportasi angkutan darat di negeri ini. Hal tersebut bisa dijelaskan melalui
serangkaian peristiwa kecelakaan maut yang terjadi di jalan raya.
Jika dirunut dari peristiwa pertama
kecelakaan bus di tahun 2012 pada 1 Februari hingga terbaru, yakni kecelakaan
yang dialami Bus Mira di Ngawi, Jawa Timur, pada 13 Februari lalu, setidaknya
telah terjadi tujuh kasus kecelakaan transportasi angkatan darat yang telah
memakan korban mencapai 33 jiwa.
Tentunya hal ini sangat memprihatinkan bagi
masyarakat Indonesia, di tengah semakin langkanya BBM terkait kebijakan
pembatasan yang efektif dilakukan 1 April 2012. Sektor transportasi publik yang
seharusnya menjadi acuan utama mobilitas masyarakat pada saat transisi
peralihan moda transportasi privat ke publik terkait kebijakan pembatasan BBM
justru mengalami permasalahan pelik.
Adapun pembenahan manajemen penyelesaian
kasus kecelakaan transportasi angkutan darat di negeri ini masih bersifat ego
sektoral dan sporadis. Dikatakan demikian, karena acap kali yang dipersalahkan
dan dikenakan unsur pidana sebagai sumber utama kecelakaan transportasi adalah human
error.
Tentunya hal tersebut amatlah disayangkan,
apabila sopir senantiasa menjadi korban mikro dari sistem transportasi yang korup,
karena hal itu sama sekali tidak menyentuh akar makro permasalahan sesungguhnya
dalam manajemen transportasi angkutan darat.
Akar permasalahan transportasi angkutan darat
adalah kesatuan organik yang melibatkan pemerintahan, pengusaha transportasi,
dan penumpang itu sendiri. Pertama, regulasi pemerintah yang diatur dalam UU
22/2009 tentang angkutan jalan raya dinilai membebani sopir selaku tenaga
teknis operator transportasi angkutan darat.
Sopir diwajibkan bekerja enam jam perjalanan
dengan waktu istirahat hanya 30 menit. Sopir akan merasa jenuh dan mudah letih
apabila dipaksa mengemudikan bus enam jam setiap harinya dan mudah kehilangan
konsentrasi utamanya jika terjadi kemacetan panjang sehingga menguras emosi dan
adrenalin si sopir.
Di negara-negara Eropa saja, seorang sopir
lintas daerah saja hanya dikenakan empat jam mengemudi dengan tenggat istirahat
1–2 jam, dan selalu disediakan sopir cadangan apabila sopir utama dirasa sudah
kecapekan.
Di Indonesia, regulasi pemerintah tidak
mengatur perusahaan otobus menyediakan dua sopir dalam satu bus dalam satu trip
perjalanan pulang-pergi. Belum lagi kendala yang dihadapi sopir adalah oknum
petugas terminal yang meminta pungutan liar kepada sopir bus saat uji kir
maupun uji emisi kendaraan bus.
Bus yang seharusnya tidak lolos uji emisi
maupun uji kir karena usia produktif bus sudah menua dan turun mesin kerap kali
dipaksakan laik jalan dengan menyuap oknum untuk meloloskan bus untuk melaju,
walaupun itu sebenarnya sangat membahayakan penumpang.
Sebanyak 50 persen bus yang beroperasi di
jalan raya pada umumnya berusia 15-20 tahun, telah melewati batas usia maksimum
kendaraan, 7 tahun. Sementara 40 persen sisanya adalah bus yang berusia 5–10
tahun pemakaian. Selain itu tonase kendaraan bus juga kerap berlebihan.
Idealnya, bus AKAP bertonase 75–100 kg, namun
sering kali dalam operasionalisasinya mencapai 200 kg lebih, yang berpotensi
membuat bus menjadi oleng dan hilang kendali. Sementara bus AKDP yang idealnya
bertonase 50–75 kg dilebihkan menjadi 100 kg.
Kedua, sistem setoran merupakan akar
permasalahan kecelakaan transportasi bus. Adapun pengusaha sebuah perusahaan
otobus maupun kendaraan sejenis membebankan setoran uang yang tinggi kepada
sopirnya. Dalam sebuah kasus mikrolet di DKI Jakarta, penghasilan kotor sopir
dibagi 70 persen pemilik kendaraan dan 30 persen menjadi milik sopir.
Pemilik tidak menanggung uang bensin, uang
makan, maupun onderdil mesin yang semuanya ditanggung sopir. Pemilik hanya tahu
setorannya lancar setiap hari setiap kali satu tarikan kendaraan yang dilakukan
sopirnya.
Oleh karena itulah sering kali sopir
bertindak ugal-ugalan demi kejar setoran dan sikut-sikutan dengan sopir lainnya
tanpa mengindahkan keselamatan penumpangnya.
Ketiga, penumpang angkutan transportasi
Indonesia juga menjadi akar permasalahan kecelakaan transportasi angkutan
darat. Penumpang sering kali tidak taat aturan untuk naik dan turun di halte, shelter,
maupun terminal, karena sering minta dinaikkan dan diturunkan di tempat
seenaknya yang mereka minta pada sopir.
Hal tersebut bisa memicu kecelakaan karambol
dengan kendaraan lainnya, karena bus maupun kendaraan sejenis kerap berhenti
mendadak untuk naik/turun dan menghiraukan pengguna jalan lainnya.
Karena itu pemerintah perlu membuat manajemen
transportasi yang baik dengan menyinergiskan pendidikan berkendara maupun
bertransportasi bagi sopir dan penumpang, terutama dengan menyiapkan segala
infrastruktur pendukung untuk kelancaran transportasi.
Selain itu, pemerintah juga perlu menindak
tegas oknum korup dalam sistem transportasi dengan petugas yang kredibel,
supaya kualitas moda transportasi juga terjaga dengan baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar