Senin, 20 Februari 2012

Kamar Gelap Korupsi


Kamar Gelap Korupsi
I Hery Firmansyah, DOSEN PIDANA FH UGM
Sumber : REPUBLIKA, 20 Februari 2012


Badai kencang yang tengah menimpa partai penguasa sepertinya belum hendak surut. Misteri ketua besar dan sejumlah kata dengan penuh kode rahasia, seperti apel washington dan lain-lain, masih akan terus menjadi trending topic setidaknya untuk beberapa bulan ke depan. Walau merebaknya ketegangan hubungan antarpimpinan KPK sempat diendus media, tidak menjadikan langkah KPK surut. Suntikan motivasi untuk membuktikan bahwa para pimpinan KPK tetap solid harus dibuktikan dengan tindakan.

Aktor baru dalam kasus Wisma Atlet SEA Games, Angelina Sondakh, semakin membuat dramatis kedudukan Demokrat sebagai sebuah mesin partai politik sang incumbent. Partai mencoba meyakinkan diri bahwa kader partai tetap berpegang satu komando kepada sang ketua umum. Namun, hal yang tidak disadari oleh mereka semua, apakah yang telah mereka lakukan merupakan keinginan rakyat banyak? Bukankah ketika menjadi wakil rakyat harusnya lebih peka terhadap jeritan suara rakyat? Pintar merasakan apa yang sedang dirasakan rakyat menjadi jauh lebih penting dan bernilai ketika menjalankan setiap amanah.

Sudah menjadi rahasia umum dan dapat dengan mudah ditebak jika masing-masing pihak yang terseret kasus skandal korupsi ini menyatakan bahwa mereka berada di pihak yang benar. Sehingga, sulit bagi hakim yang menangani perkara ini untuk kemudian dapat benar-benar memberikan keputusan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus yang telah merampok uang rakyat itu. Mengakui kebenaran merupakan suatu hal yang sudah langka jika tidak ingin dikatakan telah punah.

Konfusius dalam ajarannya menya ta kan bahwa semua orang dapat menga ta kan kebenaran, namun apakah se be nar nya kebenaran itu? Menurutnya, ke benaran yang hakiki adalah ke benaran itu sendiri sehingga perlu me lihat kasus korupsi yang terjadi di negara ini de ngan mata hati masing-masing pihak (polisi, jaksa, peng acara, dan hakim) agar usaha pencarian terhadap kebenaran materiil benar-benar terwujud.

Sistem peradilan pidana atau yang biasa disebut sebagai criminal justice system dapat diibaratkan sebuah mata rantai yang saling mengkait, baik dari proses penanganan perkara pertama kali oleh pihak kepolisian maupun sam pai kepada putusan hakim. Proses ini harus terus dikawal. Karena, kepu tus an berkualitas yang dapat meme nuhi rasa keadilan masyarakat tidak mungkin dapat terwujud. Jika, dari hulu penanganan perkara sudah terjadi hal yang didesain oleh mereka yang memiliki kepentingan pribadi dalam kasus tersebut. Sehingga, moralitas aparatur penegak hukum menjadi spot light yang penting untuk dijaga.

Prof Taverne pernah mengatakan, “Berikan aku sepuluh jaksa dan hakim yang baik maka dengan peraturan yang buruk sekalipun akan kuciptakan ke adilan.” Pesan ini menekankan akan pentingnya tingkah laku serta sikap para penegak hukum dibandingkan de ngan kerisauan akan pembuatan atur an, apalagi jika hanya fokus pada ba nyaknya (kuantitas) aturan yang di buat.

Kasus hukum di negeri ini, terutama korupsi, selalu saja dikaitkan dengan politik. Padahal, penanganan hukum tidak boleh sedikit pun satu ranjang dengan politik karena hal ini akan menjadikan para koruptor tidak akan pernah merasa benar-benar bersalah di mata hukum. Mereka dapat membela diri dengan mengatakan, kasus yang melibatkan mereka tidak lebih dari skenario politik yang diarahkan untuk menjatuhkan mereka dari posisi politis mereka. Bahkan, dengan santainya me ngatakan, ini adalah konsekuensi dari pekerjaan mereka dalam menjalankan amanah. Dan, dapat ditebak, mereka ber ubah menjadi sosok yang seakan terzalimi. Hal ini terus menerus dilakukan.

Mengutip dari tulisan Prof Jimly Asshiddiqie yang setidaknya dapat memberikan suatu pemahaman dan garis pemetaan yang jelas antara urusan hukum yang kemudian dipolitisasikan (politikus hukum). Dan, melihat dari kacamata urusan politik yang terbingkai dalam ranah hukum. Maka, tampilannya haruslah menjadi seorang ilmuwan hukum. Tergelincirnya dua paham tadi dapat kita lihat dari konteks sudut pandang politikus hukum dan ilmuwan hukum itu sendiri.

Norma hukum, bagi jurist dan ilmuwan hukum, adalah apa adanya (das sein) sedangkan bagi para politikus hukum, norma hukum adalah norma yang seharusnya (das sollen). Para jurist lebih mengutamakan norma hukum yang mengikat (ius constitutum) se dang kan para politikus hukum lebih me nekankan (ius constituendum) atau hukum yang dicita-citakan. Hal ini pa da akhirnya akan menimbulkan gangguan terhadap tertib hukum nasional kita.

Sejatinya kecintaan terhadap tanah air serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan merupakan hal yang tidak dapat ditawar. Hal ini sering disuarakan oleh mereka para pemimpin bangsa ini, teriakan lantang penuh semangat selalu dihadirkan demi menciptakan pencitraan akan nasionalisme mereka. Namun, sangat disayangkan, banyak dari mereka yang jatuh terjerembab ke dalam fanatisme sempit ber le bihan kepada bendera kepartaian mereka, mereka tidak lagi loyal terhadap konstituen, namun lebih men de ngar kan amant partai walau kadang ber ten tangan dengan hati nurani mereka.

Entah masih berapa lama lagi kita semua akan keluar dari kamar gelap yang menyimpan rapi sejumlah kasus korupsi. Korupsi dapat terjadi bukan hanya oleh syahwat ekonomi yang dikedepankan, namun juga oleh syahwat politik demi menikmati potonganpotongan kue kekuasaan. Korupsi da pat semakin berkembang biak de ngan baik dalam kondisi kehidupan berbangsa di mana khususnya kaum muda dengan seiring perjalanan waktu dan tuntutan hidup, menjadikan kemudian pemuda yang memiliki sikap pragmatis dan apolitis.

Sikap pragmatis sebagian pemuda yang nantinya lebih mengedepankan kepentingan pribadi, yakni seperti ke inginan untuk kaya, terkenal, dan sukses dalam karier, hanya akan semakin menutup rapat-rapat pintu yang dapat membuka tabir kasus korupsi di negeri ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar