Kamis, 23 Februari 2012

Elpiji dan Kebijakan Dahlan Iskan


Elpiji dan Kebijakan Dahlan Iskan
Sofyano Zakaria, DIREKTUR PUSAT STUDI DAN KEBIJAKAN PUBLIK (PUSKEPI)
Sumber : SUARA KARYA, 23 Februari 2012



Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VII DPR RI dengan PT Pertamina (Persero), pertengahan Februari lalu, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan menyampaikan kerugian akibat penjualan elpiji nonsubsidi ukuran tabung 12 kilogram (kg) dan 50 kg sebesar Rp 3,8 triliun pada 2011.

Kerugian ini terjadi karena elpiji nonsubsidi dijual Pertamina dengan harga di bawah harga keekonomian. Kerugian Pertamina tersebut bagi rakyat kecil terdengar sebagai ledakan hebat dari sebuah bom besar yang memekakkan gendang telinga mereka. Tetapi, tidak bagi para anggota DPR RI penghuni "Senayan" yang kebetulan gedungnya mungkin menggunakan peredam suara dan juga tidak pula bagi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau mungkin juga tidak bagi Bapak Presiden SBY karena rumahnya jauh dari Senayan.

Bagi para elite politik dan petinggi Republik dan juga Menteri ESDM yang berwenang, menyetujui atau tidak menyetujui kenaikan harga jual elpiji, BUMN di bidang energi, Pertamina yang terpaksa dan dipaksa rugi triliun rupiah. Tercatat pada 2010, Pertamina juga rugi Rp 3,1 triliun dalam menjual elpiji nonsubsidi. Hal ini bukanlah sesuatu yang meresahkan atau menyakitkan bagi mereka. Malah sepertinya dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja.

Aneh memang, ketika BUMN Pertamina harus terus-menerus menjual rugi elpiji 12 kg dan tabung 50 kg, ternyata tidak menggelitik telinga para elite masyarakat dan elite politik, apalagi petinggi pemerintahan di negeri ini. Bahkan, beberapa menteri BUMN (yang pernah menjabat) yang justru memiliki kepentingan terhadap pendapatan dan peningkatan laba BUMN, hanya berhenti di tataran normatif.

Ini berbeda dengan konsumsi elpiji tabung 3 kg yang memang sangat berarti bagi kalangan rumah tangga berpenghasilan rendah. Namun, hampir semua rumah tangga golongan mampu dapat dipastikan menggunakan elpiji tabung 12 kg atau mungkin tabung 50 kg.

Fakta ini terbukti jika dilakukan survei dengan mendatangi rumah tangga petinggi negara sekalipun, mulai dari presiden, wakil presiden, menteri beserta jajaran eselon II, para kepala daerah provinsi, kabupaten/kota hingga anggota DPR. Tetapi, diyakini pemerintah atau kementerian teknis (ESDM) tidak mau menaikkan harga elpiji nonsubsidi ke harga keekonomian, karena khawatir mendapat kecaman masyarakat, khususnya kaum ibu.

Nah, itu artinya jika pemerintah apalagi dengan tekanan DPR, menyesuaikan harga elpiji nonsubsidi ke harga keekonomian, maka mereka khawatir akan terjadi instabilitas politik. Pihak yang akan mengecam adalah kelompok elite yang punya akses ke media massa dan kekuatan uang serta lobi yang mampu menggerakkan massa.

Ini berbeda ketika pemerintah menaikkan harga jual minyak tanah dari Rp 2.000 per liter menjadi Rp 2.500 per liter. Pemakai minyak tanah pasti orang miskin, orang yang tidak punya akses ke media sehingga suara mereka bisa diredam.

Dalam konteks ini, Menteri BUMN Dahlan Iskan sangat memahami UU BUMN yang mengamanatkan setiap BUMN harus meraih keuntungan. Bahkan hampir setiap hari Senin di salah satu koran terbitan Jakarta, masyarakat membaca serial tulisan Dahlan Iskan dalam "Manufacturing Hope" yang mengupas kiat-kiat Dahlan Iskan untuk meningkatkan kinerja BUMN dari yang rugi agar tidak rugi, dari yang laba kecil jadi meningkat.

Sebagai seorang pebisnis, pengusaha media dan pengelola tenaga listrik, bagaimana sikap Dahlan Iskan? Sebagai Menteri BUMN, kalau bisnisnya di sektor penjualan elpiji 12 kg dan 50 kg harus terus-menerus rugi puluhan triliun rupiah?

Publik juga belum mengetahui apakah Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN akan berupaya menaikkan laba Pertamina dari penghapusan kerugian di sektor penjualan elpiji 12 kg dan 50 kg (juga BBM bersubsidi). Kita juga masih bertanya, apakah Dahlan Iskan akan getol meyakinkan sejawatnya Menteri ESDM, Menteri Keuangan serta Menko Perekonomian agar berkenan menyesuaikan harga jual elpiji nonsubsidi sehingga negara diuntungkan?

Bagaimanapun publik menaruh harapan kepada Dahlan Iskan untuk tulus berani meyakinkan Presiden bahwa Pertamina tidak boleh rugi di sektor apa pun. Karena, hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan negara. Dahlan Iskan seharusnya mampu berbuat dan meyakinkan Presiden bahwa selama ia dipercaya sebagai Menteri BUMN akan menghapus rugi dari pembukuan setiap BUMN.

Dahlan Iskan kita harapkan juga mampu berkomunikasi dengan Ibu Negara Ani Yudhoyono agar berkenan mengumpulkan semua istri menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II (sebagai Ketua Dharma Wanita di setiap kementerian) agar para ibu tulus dan ikhlas menerima perlunya penyesuaian harga elpiji 12 kg dan 50 kg. Karena, hal itu berarti mereka mendukung penghapusan kerugian Pertamina di sektor penjualan elpiji 12 kg dan 50 kg.

Kita tidak berharap lagi petinggi di negeri ini selalu berkilah bahwa secara korporasi Pertamina tetap untung. Idealnya, mereka tidak menutupi kenyataan bahwa di sektor penjualan elpiji 12 kg dan 50 kg Pertamina terpaksa rugi. Silat lidah semacam itu seharusnya tidak lagi mereka lontarkan jika ada pihak yang mempertanyakan kenapa Pertamina dibiarkan rugi.

Pertamina juga seharusnya rajin melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada semua pihak tentang hal tersebut. Pertamina bisa membuat terobosan dengan meminta pejabat-pejabat tinggi dan para anggota DPR, DPRD di negeri ini menggunakan elpiji harga keekonomian yang ada pada Pertamina. Jika saja Presiden dan para menteri maupun tokoh-tokoh masyarakat ditampilkan ke publik telah gunakan elpiji harga keekonomian, ini bisa jadi teladan bagi masyarakat golongan mampu di negeri ini. Salam Merah Putih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar