Rabu, 22 Februari 2012

BUMN Pangan Harus Bersih

BUMN Pangan Harus Bersih
Rahmat Pramulya, DOSEN DAN PENELITI DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR,
MEULABOH, ACEH BARAT
Sumber : SUARA KARYA, 22 Februari 2012



Wacana pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan oleh Kementerian BUMN terus mendapat dukungan. Wacana ini mengemuka setelah Badan Ketahanan Pangan (BKP) bakal digantikan oleh Badan Otoritas Pangan (BOP). Semula, BOP bakal berperan ganda, yakni sebagai regulator sekaligus operator. Tetapi, konsep tersebut dikritisi oleh banyak pihak, termasuk para pakar dari perguruan tinggi.

Mengadopsi usulan para pakar, tim perumus versi pemerintah kemudian memisahkan fungsi regulator dan operator. Dengan pembentukan BUMN Pangan, maka tugas badan otoritas pangan murni sebagai regulator, sementara operator menjadi kewenangan BUMN Pangan. BUMN sebagai operator pangan ini nantinya bertanggung jawab dalam tugas-tugas distribusi dan keamanan pangan untuk melakukan fungsi stabilisasi harga bahan pangan utama di level nasional. Dengan demikian, ketersediaan pangan bisa terjamin.

Menilik tanggung jawab dan tugas-tugas yang diamanatkan kepada operator pangan, bisa jadi ini mengarah ke Badan Urusan Logistik (Bulog). Kalaupun BUMN Pangan ini nantinya dibentuk lembaga operator yang terdiri dari beberapa BUMN, maka Bulog yang berpeluang besar dijadikan leader. Hal ini bisa dipahami karena Bulog telah memiliki pengalaman puluhan tahun dalam urusan semacam ini.

Pertanyaannya, mampukah Bulog? Tentu kita ingat bagaimana Bulog sering tampak kedodoran dengan tugas-tugasnya selama ini dalam menstabilkan harga pangan pokok. Surat Menko Perekonomian, 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok Beras, Gula dan Minyak Goreng telah memberi wewenang penuh kepada Bulog untuk menstabilkan harga beras.

Bahkan, dengan keluarnya Permendag No. 1109/ 2007 pemerintah menetapkan mulai 1 September 2007, Bulog sebagai satu-satunya institusi yang diamanatkan dalam menjaga stabilitas harga beras secara nasional. Kewenangan meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah (HPP) demi mengejar target pengadaan dan menjaga stok beras minimal satu juta ton. Secara keseluruhan keputusan yang baru ini tampaknya dikeluarkan dalam usaha mengembalikan public service obligation (PSO) dari Bulog.

Sayangnya, apa yang terjadi di lapangan sungguh mengejutkan. Hingga kini, kabar bahwa para petani padi masih banyak yang menerima harga pembelian gabah kering giling jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) masih terdengar nyaring dari berbagai daerah. Padahal, dengan peran itu mestinya Bulog akan lebih leluasa memupuk stok dari pengadaan dalam negeri maupun impor sehingga akan bertindak lebih fleksibel untuk menstabilkan harga beras. Jika target stok belum tercukupi, sedangkan harga beras/gabah di atas HPP, Bulog boleh membelinya. Bulog pun di-setting bisa menjadi pemimpin pasar dan pembentuk harga beras di tingkat petani dan konsumen.

Melihat perkembangan di lapangan, asumsi tersebut rasanya perlu ditinjau ulang. Pengembalian sebagian fungsi Bulog yang sejak awal diramalkan berpotensi membangun kembali citra Bulog yang sudah telanjur jatuh lantaran berbagai kasus seperti korupsi, sarang pemburu rente dan sumber KKN akhirnya tak jua menemukan hasil. Jika tidak dilakukan penguatan kelembagaan dan juga infrastruktur, seperti penguatan sistem logistik dan distribusi pangan yang mendukung, kinerja BUMN Pangan nantinya akan sama saja. Belum lagi, ketika BUMN ini nantinya berbentuk perum, di mana akan terjadi tarik-menarik, antara meraih profit dan tugas sosial.

Bisa-bisa BUMN Pangan nantinya akan sama kedodoran-nya. Belajar dari Bulog, dengan tugas sebagai stabilisator pangan selama ini diakui banyak ganjalan yang ditemui. Beberapa hal terbukti belum dimiliki Bulog, di antaranya jiwa kewirausahaan. Selama ini Bulog hanya mengandalkan hidup dari keuntungan mengelola beras untuk rakyat miskin dan program PSO lain. Itu pun kenyataannya di daerah banyak penyimpangan. Bulog masih dihadapkan pada tantangan ketidakefisienan dan berbagai potensi penyimpangan.

Dengan peran sebelumnya saja keinginan Bulog untuk impor beras tidak terbendung, apalagi dengan peran barunya belakangan yang demikian luas. Gelimangan uang rent seeking yang sangat menggiurkan dari bisnis impor beras, terlebih ketika impor itu dikuasai sepenuhnya oleh pemain tunggal adalah contoh terdekat. Betapa tidak, dengan hanya memberi lisensi kepada para eksportir mitra di luar negeri untuk memasukkan beras ke dalam negeri, tanpa memerlukan energi dan biaya ekonomi yang berarti, seseorang akan mendapat rente ratusan miliar rupiah dalam sekejap.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa keputusan-keputusan ekonomi dengan tingkat korupsi yang tinggi seperti negara kita ini, cenderung didomplengi para kepentingan pemburu rente. Dengan kondisi semacam itu, Bulog tidak saja belum bisa menggeser citranya sebagai lembaga korup, tetapi juga bisa terjerembab ke level death. Konsekuensinya, siapa saja yang menduduki posisi puncak di Bulog identik dengan duduk di 'kursi panas'. Jika kurang lentur mengikuti permainan politik, duduk di kursi panas akan bisa berakhir di jeruji besi. Kursi panas itu telah menelan korban Widjanarko Puspojo dan lima pejabat Bulog lainnya.

Perjalanan Bulog yang penuh warna ini patut dijadikan pelajaran serius bagi kinerja BUMN Pangan yang akan dibentuk nanti, terutama dari sisi potensi konflik tugas sosial dan komersial. Satu hal mendasar untuk dipahami dalam wacana BUMN Pangan ini adalah bahwa pangan pokok itu harus dilindungi oleh negara melalui lembaga negara yang mengurusi pangan. Lembaga tersebut harus didukung oleh operator yang memiliki wewenang penuh, mulai dari menyediakan sarana produksi pertanian semisal lahan, pupuk, irigasi, hingga distribusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar