Teologia
Agraria dan Jalan Islah
Musyafak, ANGGOTA STAF
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGAMA SEMARANG
Sumber
: KORAN TEMPO, 20 Januari 2012
Reforma
agraria (land reform) kembali mencuat dalam diskursus politik-hukum belakangan
ini. Tragedi berdarah yang pecah di Sape, Bima, pada akhir 2011, juga
terkuaknya tragedi berdarah di Mesuji, Lampung, mendesak pemerintah melakukan
perombakan Undang-Undang Pokok Agraria yang inklusif dan mampu menjamin hak
agraria warga Indonesia dari ancaman monopoli pemilik modal, serta menjaga
kesetimbangan agraria dari gerak eksplorasi industri yang cenderung
eksploitatif.
Pelbagai
kasus sengketa tanah yang mencuat belakangan ini membelalakkan mata kita soal
pertanahan yang potensial membiakkan pertumpahan darah. Di samping berkah,
sebaliknya tanah menjadi sumber tulah dan musibah. Sebagaimana catatan
Konsorsium Pembaruan Agraria 2011, setidaknya terdapat 163 kasus sengketa tanah
yang menelan 22 korban jiwa di 25 provinsi. Jumlah kasus sengketa dari tahun ke
tahun pun mengalami tren kenaikan.
Ragam
faktor melatarbelakangi kegentingan dan ketegangan perkara kepemilikan tanah.
Selain aset produktif yang berharga, tanah menahbiskan identitas individu atau
kelompok masyarakat tertentu. Eksistensi marga, klan, etnis, bahkan bangsa tak
bisa tidak mengacu pada batas teritorial tanah yang mengukuhkan kedaulatan
sekaligus kejatidirian.
Teologi
Agraria
Di
tengah desakan perombakan tata hukum agraria, agama sebagai sistem kepercayaan
dan nilai, perlu dirumuskan bangunan teologis yang mampu menyokong diskursus
agraria yang adil serta damai. Teologi agraria mesti dibangun atas pijakan
kontekstualitas dan relevansinya terhadap kekhasan perkara-perkara pertanahan
di negeri ini.
Teologi
agraria, merujuk pada konsep "teologi tanah" yang dipaparkan Abu
Rokhmad (Teologia, Vol. 21 Nomor 1, 2010: 15), adalah pengetahuan
tentang hak atas tanah yang dikaji berdasarkan sistem keyakinan dalam Islam.
"Teologi tanah" tersebut diturunkan satu paket dengan "teologi
penyelesaian sengketa hak atas tanah", yakni landasan teologi Islam
mengenai penyelesaian sengketa hak atas tanah.
Teologi
agraria semestinya mampu memerankan fungsi-fungsi fundamental. Pertama,
landasan pengetahuan-kesadaran religius masyarakat mengenai makna kepemilikan
tanah, baik dalam relasinya dengan Tuhan maupun antarsesama. Kedua, sistem
nilai yang patut dijadikan acuan untuk menjamin hak kepemilikan tanah bagi
individu atau kelompok masyarakat. Ketiga, landasan penyelesaian (resolusi)
konflik sengketa kepemilikan tanah yang melibatkan pelbagai aktor, misal
individu versus individu, individu versus kelompok, atau kelompok versus
kelompok. Keempat, basis moral yang menyediakan etika religius dan etika sosial
dalam pengelolaan tanah.
Islam
telah menautkan manusia dengan tanah ke dalam relasi yang intim, dan menegaskan
suatu filosofi eksistensial. Tanah menyangkut sejarah muasal manusia: gerak
hidup yang bertolak dari tanah dan kembali ke tanah. Tanah adalah medan tempat
manusia berawal, tumbuh-kembang, dan berakhir. Tanah mengintensifkan kesadaran
religius manusia tentang perjalanan hidupnya di muka bumi.
Islam
membakukan kepemilikan atau kekuasaan tanah secara mutlak berada di tangan
Allah (QS 2: 107, 10: 68, 22: 64, 25: 2, dan 31: 26). Namun Tuhan mengedarkan kewenangannya
dalam bentuk mandat kepada manusia untuk mengelola dan memanfaatkan tanah. Hak
manusia atas tanah ialah kepemilikan relatif. Status sebagai khalifah menugasi
manusia untuk memakmurkan bumi atau tanah (QS 11: 61). Mandat pemakmuran itu
meliputi ikhtiar pemanfaatan, pengolahan, pemberdayaan, sekaligus
pendistribusian hak-hak (penguasaan) tanah.
Etika
pemanfaatan tanah mesti menghindar dari laku kerakusan. Kerakusan potensial
mendegradasi struktur alam dan merusak sosial. Sejarah telah memaparkan
kerakusan manusia atas tanah telah memicu imperialisme-kolonialisme yang
menghinakan martabat kemanusiaan. Mencermati tren sengketa tanah belakangan
ini, umumnya aktor-aktor yang terlibat adalah kelompok masyarakat vis a vis
perusahaan. Jamak kalangan menilai kelompok masyarakat lebih kerap kalah dan
menjadi korban di hadapan hukum, karena aparatur pemerintah cenderung memihak
perusahaan. Tak pelak, akhir-akhir ini negara menjadi bahan cibiran dalam soal
penjaminan dan perlindungan hak-hak kepemilikan tanah individu atau kelompok
masyarakat.
Dari
segi prinsip sosial pemanfaatan tanah, Islam menegaskan bahwa pemanfaatan
tanah, baik secara individu, kelompok, maupun perusahaan, semestinya tidak
merugikan individu atau kelompok masyarakat lainnya. Pemanfaatan tanah mesti
membawa kesejahteraan bersama bagi pengelola ataupun individu-individu di
sekitarnya.
Riwayat
tentang konflik saluran air pada masa Khalifah Umar menarik untuk dijadikan
kaca benggala. Alkisah, kebun milik sahabat Al-Dlahhak bin Huzaifah al-Ansari
tidak bisa dialiri air kecuali melalui tanah kebun Muhammad bin Maslamah. Namun
Maslamah tidak mengizinkan pembuatan saluran air di area kebunnya. Khalifah
Umar memutuskan agar Maslamah merelakan sebagian tanahnya dengan tegas
mengatakan, "Demi Tuhan, andai tidak ada jalan lain kecuali melalui
perutmu sekalipun, tetap aku lewatkan air itu dari perutmu," (Rokhmad,
2010: 11).
Ilustrasi
tersebut menegaskan, penguasaan tanah harus menghadirkan kemanfaatan bagi orang
lain. Dalam konteks ekonomi lebih luas, tidak dibenarkan perusahaan-perusahaan
yang memonopoli bagian keuntungan untuk masyarakat sekitar, apalagi merampas
hak-hak tanah warga. Perusahaan mengemban tanggung jawab untuk menjaga
harmonisasi antarwarga masyarakat, di samping melakukan kerja produksi dan
menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat.
Jalan
Islah
Problem
sengketa tanah tergolong perkara multidimensional, yang mencakup beragam aspek
adat, budaya, agama, dan lain-lain. Hukum positif dan pengadilan umum hingga
hari ini tampak belum menunjukkan kontribusi signifikan dalam menanggulangi
bentrok massa, intimidasi, dan kekerasan yang memakan korban. Islam menawarkan
jalan damai dalam penyelesaian sengketa tanah. Jalan islah (perdamaian) bisa
ditempuh dengan jalan dialog (syura) secara intensif di antara
pihak-pihak yang terlibat konflik.
Dialog
dipentingkan sebagai jalan tabayyun untuk mencari kejelasan suatu
kebenaran atau fakta secara mendetail, teliti, dan hati-hati. Metode tabayyun
dengan mengkonfirmasi kedua pihak yang bersengketa niscaya produktif untuk
mengecek ulang dan menelusuri fakta-fakta historis-diakronis mengenai sejarah
kepemilikan tanah serta perpindahan kuasanya.
Jalan tabayyun-islah menjanjikan upaya
resolusi konflik secara damai dan selamat karena diiringi spirit keterbukaan
serta kesetaraan mengeluarkan pendapat. Islah mengurangi risiko gesekan massa
secara fisik sekaligus memberi peluang bangkitnya etika toleransi sekalipun
berada di batas konflik. Sebagai jalan damai sengketa tanah, islah membutuhkan
mediator-mediator (penengah) yang jujur, teliti, dan adil untuk memutuskan
perkara secara win-win solution. Pengadilan menjadi jalan terakhir
ketika upaya islah tidak tercapai karena kebuntuan kompromi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar