RUU
Ormas dalam Bingkai NKRI
Umar Syadat
Hasibuan, DOSEN IPDN
Sumber
: KOMPAS, 17 Januari 2012
Pascareformasi, publik sering dikejutkan oleh
maraknya perilaku anarkistis dari sejumlah ormas yang ada di Indonesia. Publik
pun kembali mempertanyakan di mana peran negara.
Tak dapat dimungkiri, pasca- reformasi,
posisi dan peran serta kapasitas negara untuk mengevaluasi aktivitas ormas di
Indonesia tampaknya masih dipersoalkan. Mengapa negara seakan tak kuasa
terhadap aksi anarkistis yang dilakukan sejumlah ormas?
Pada masa Orde Baru, negara dituduh
mengooptasi ormas untuk menjaga stabilitas kemapanan rezim politik. Namun,
pascareformasi, di tengah menguatnya ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi,
negara pun ramai-ramai dituduh melalukan pembiaran terhadap aksi anarkistis.
Posisi negara terhadap ormas tampak kian dilematis.
Keberadaan ormas memiliki peran penting bagi
kelangsungan NKRI. Bahkan, mereka terbukti ikut memiliki andil besar bagi
kelahiran NKRI.
Kendati belum memiliki landasan hukum yang
jelas, keberadaan ormas selama masa pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan
sebelum era demokrasi parlementer tampak memiliki peran penting dalam
memperkuat fondasi negara-bangsa. Meski belum diatur dalam UU, keberadaan ormas
tampak belum menjadi persoalan krusial di dalam panggung kekuasaan politik.
Rezim Orde Baru kemudian memberikan landasan
hukum. Melalui UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), keberadaan
mereka pun bahkan mendapatkan sejumlah restriksi. Pada masa tersebut, restriksi
ideologi diberlakukan secara ketat melalui asas tunggal Pancasila. Melalui UU
tersebut dan PP No 18/1986, pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus
pusat apabila ormas melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban
umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, serta
memberikan bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan
negara.
Runtuhnya Orde Baru sejak Mei 1998 menjadi
pesta kebebasan bagi ormas di Indonesia. Pesta kekebasan ormas pun sering
disalahgunakan sebagian kelompok masyarakat. Kerisauan terhadap peran dan
posisi ormas pada akhirnya mendorong kegelisahan pemerintah—sebagai salah satu
unsur negara—untuk kembali mencari landasan regulasi yang kuat bagi eksistensi
ormas di Indonesia. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
mengusulkan kepada DPR agar semua ormas terdaftar. Menurut data yang
disampaikan Mendagri, saat ini hanya 2.227 ormas yang terdaftar di Kemdagri.
Mengacu data di Kemdagri, terdapat 6.227
ormas yang tersebar di seluruh Indonesia. Artinya, masih banyak ormas yang
menjalankan aktivitasnya, tetapi belum terdaftar. Termasuk sekitar 150 ormas
asing yang tercatat di Kementerian Luar Negeri, tetapi enggan melaporkan
kegiatan mereka kepada pemerintah.
Bayangan Anarkistis
Pascakooptasi negara, keberadaan ormas tampak
memasuki dua pola yang kian nyata. Pertama, lepas dari kooptasi negara,
sejumlah ormas tampak kian terkooptasi oleh kekuatan elite yang mewarisi Orde
Baru. Ketika reformasi berlangsung, sejumlah ormas tampak secara tiba-tiba
terbentuk di Jakarta dan menjadi gelombang massa yang hampir ”berbenturan”
dengan gerakan mahasiswa dan kelompok demonstran lain.
Kedua, kooptasi dilakukan oleh parpol.
Bahkan, tren terakhir, ormas dibentuk sebagai embrio lahirnya partai baru.
Selain arus kooptasi, sejumlah ormas juga
jadi aktor perilaku anarkistis, baik terhadap masyarakat maupun ke sejumlah
ormas lain. Fenomena ini tak hanya memancing konflik vertikal, tetapi juga
mendorong sejumlah potensi konflik horizontal di sejumlah daerah di Indonesia.
Di tengah situasi tersebut, pemerintah dan
DPR sedang membahas RUU Ormas untuk menggantikan UU No 8/1985. Langkah ini
tepat mengingat pola hubungan dan posisi ormas dengan negara cenderung
dilematis.
Pertama, ormas di negeri ini tumbuh dan
berkembang dengan entitas yang ambigu dan jauh dari transparansi serta
pertanggungjawaban kepada publik. Kedua, regulasi yang baru harus mampu
mendorong independensi ormas, baik dari aspek ekonomi maupun politik. Karena
itu, arus ketergantungan yang tinggi terhadap anggaran negara ataupun dana
internasional serta rendahnya transparansi dan pertanggungjawaban ormas kepada
publik sudah saatnya diakhiri.
Regulasi baru harus mampu memberikan
kontribusi penting. UU Ormas yang baru harus mampu mengatur ruang lingkup dan
definisi ormas secara jelas terkait dengan aspek legal-administratif, termasuk
melalui regulasi satu pintu ataupun aspek substantif. Selain itu, definisi
ormas juga harus dipertegas, apakah perlu dibedakan dengan LSM atau yayasan,
termasuk organisasi amal.
UU Ormas yang baru juga harus memberi payung
regulasi terkait dengan mekanisme pemberian sanksi terhadap tindakan anarkistis
atau tindakan lain yang merugikan kepentingan publik, yang dilakukan oleh ormas
tertentu. Di sini ukurannya tentu tidak lagi didasarkan pada prasangka
ideologis yang berbasis nilai-nilai yang bersifat puritan, baik atas nama agama
maupun etnis/suku. Akan tetapi, sanksi didasarkan pada indikator yang bersifat
universal sebagai wujud penegakan hukum (law enforcement), baik pada level
nasional maupun internasional.
Bagaimanapun, keberadaan ormas merupakan
elemen penting bagi masa depan NKRI. Bukan tak mungkin ke depan antara ormas
dan pemerintah memungkinkan untuk saling bekerja sama dan memberi keuntungan
(Lee Wilson, 2011). Kejelasan peran dan posisi pemerintah yang mewakili
otoritas negara jelas sangat dibutuhkan untuk tetap menjamin bahwa keberadaan
ormas tidak berpotensi merugikan, apalagi membahayakan kenyamanan kehidupan
publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar