Proyek
Kekerasan Berbasis Identitas
Triyono
Lukmantoro, DOSEN
FISIP UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
Sumber
: SINAR HARAPAN, 17 Januari 2012
Penembakan yang dijalankan orang-orang tak
dikenal terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tiga warga dari Jawa
Tengah telah menjadi korbannya.
Ketiga korban di simpang Aneuk Galong, Suka
Makmur, Aceh Besar, itu adalah Gunoko dan Sotiku Anas, warga Demak; serta Agus
Suwignyo, warga Grobogan.
Gunoko pada akhirnya meninggal. Jenazahnya
telah dimakamkan di tanah kelahirannya, Dusun Donoloyo RT 7 RW 3 Desa Donorejo
Kecamatan Karangtengah, Demak, Sabtu (7/1) sekitar pukul 23.00.
Menurut pihak kepolisian, penembakan yang
terjadi pada lima kasus dalam dua bulan terakhir memiliki pola-pola serupa.
Pelaku menggunakan senjata AK-47. Sasarannya ialah warga pendatang beretnis
Jawa.
Motif penembakan tersebut masih gelap. Hanya
saja Kapolri Jenderal Timur Pradopo menduga kasus itu akibat kecemburuan
sosial. Namun, para aktivis organisasi non-pemerintah meyakini kasus-kasus itu
bermotif politik, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) pada
2012.
Fenomena yang menarik ditelaah adalah jika
pihak pemerintah (dalam kaitan ini juga kepolisian) pada awalnya menolak
kekerasan di Aceh adalah karena masalah pilkada, tapi dalam waktu berikutnya
pemerintah berkata sebaliknya.
Dalam pernyataannya, Menteri Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan kekerasan yang terjadi di
Aceh memang berkaitan erat dengan pilkada.
Pernyataan yang tidak jelas dari awal semacam
ini tentu saja menimbulkan berbagai dugaan. Salah satu dugaan itu adalah
pemerintah memang sengaja menutup-nutupi ketidakbecusannya dalam mengelola
pilkada di wilayah Serambi Mekah tersebut.
Apa pun pernyataan pemerintah yang
memperlihatkan sikap kebimbangan itu, muncul sejumlah pertanyaan yang dapat
dikemukakan untuk menilai peristiwa tragis tersebut.
Mengapa kejadian penembakan itu terjadi menjelang
pilkada? Kenapa pihak-pihak yang menjadi korban adalah warga yang beretnis
Jawa? Kalau kalangan pelaku penembakan itu bersenjata AK-47, bukankah pihak
kepolisian secara implisit mengarahkan dugaan bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
berada di balik kasus-kasus keji itu? Apakah ini semua skenario untuk
menjadikan Aceh sebagai proyek kekerasan yang menguntungkan pihak
tertentu?
Tragedi Kemanusiaan
Semua pertanyaan itu hanya menghasilkan
prasangka. Di situlah komunikasi politik terhenti karena klarifikasi yang
diberikan pihak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tampaknya saling
bertentangan.
Simaklah bagaimana Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam Irwandi Yusuf menyatakan kekerasan yang terjadi di daerahnya tidak
berkaitan dengan persoalan pilkada. Hal yang lebih ironis adalah pihak
kepolisian yang memiliki otoritas resmi dan memonopoli keamanan belum mampu
meringkus para pelaku penembakan.
Namun, persoalan yang pasti adalah kekerasan
berbasis identitas telah terjadi di Aceh. Sebagai kejadian yang bermuatan
tragedi kemanusiaan, pesan yang hendak ditegaskan pada peristiwa itu adalah
etnis Jawa sebagai warga pendatang menjadi sasaran penembakan.
Logika berikutnya yang dapat dimengerti
adalah para pelakunya merupakan penduduk asli, yakni warga Aceh yang tidak
senang dengan keberadaan warga Jawa. Namun, logika itu boleh jadi sangat keliru
dan sekadar upaya untuk mengacaukan ketenteraman warga di sana.
Selama penerapan Daerah Operasi Militer (DOM)
di Aceh, ada pemahaman TNI identik dengan suku Jawa. Karena itu, urai Linda
Christanty (Berdamai dari Bawah, 2011), Hasan Tiro pun menjalankan perlawanan
terhadap “kolonialisme Jawa”.
Apakah kedamaian yang tercipta di Aceh sejak
2005 tidak bisa melenyapkan paham tentang kolonialisme itu? Kalau paham itu
sengaja dimunculkan lagi, siapakah yang diuntungkan? Jawabannya adalah
pihak-pihak tertentu yang mampu bermain kembali dengan mengerahkan proyek
kekerasan berbasis identitas etnis.
Proyek kekerasan itu mampu memberikan
keuntungan secara finansial dengan berdalih pada penciptaan keamanan dan
memantapkan kedamaian, ataupun dalih terselubung lainnya.
Proyek kekerasan berbasis identitas itu dapat
dijalankan pihak mana pun. Jika proyek kekerasan itu berasal dari atas
(negara), aparat keamanan memiliki pembenaran untuk menguasai kembali wilayah
itu. Di sini proyek kekerasan dapat mengatasnamakan pemulihan keamanan dan
penciptaan ketertiban.
Apabila proyek kekerasan itu berasal dari
bawah (masyarakat), tujuan yang dapat diduga adalah penembakan yang terjadi
secara misterius itu memang untuk menunda jalannya proses pilkada sehingga
berbagai agenda politik yang selama ini belum dapat terealisasikan akan
diakomodasi pihak penyelenggara pilkada.
Hanya saja, persoalan yang dapat diberikan
penegasan adalah dalam setiap konflik, problem identitas (baik yang
berlandaskan pada etnisititas maupun religiositas) dengan mudah bisa dimainkan.
Identitas, demikian Kath Woodward
(Understanding Identity, 2002) menjelaskan, mampu memberikan tawaran sebuah
cara berpikir yang menghubungkan antara sisi yang personal dan sisi yang
sosial.
Identitas adalah tempat pertemuan antara
aspek psikologis dan sosial. Identitas merupakan pembentukan dan lokasi
psikososial. Selain itu, identitas berbicara tentang perbedaan. Identitas
menjadi penandaan yang begitu sempurna antara “kita” melawan “mereka”. Hal itu
mudah dijalankan, terlebih lagi pada masa peperangan yang melibatkan tindakan
konfliktual.
Menciptakan Demarkasi
Dengan memainkan kekerasan berbasis identitas
etnis itu, bergulirlah paham bahwa etnis Jawa masih dimusuhi etnis Aceh. Siapa
pun pelaku penembakan itu berhasrat menciptakan demarkasi dan adu domba antara
“kita” versus “mereka”.
Melalui cara berpikir ini, “kita”
berkeinginan meletupkan identifikasi sebagai warga setempat yang terjajah,
dimiskinkan, dan disingkirkan. Sementara itu, “mereka” difantasikan sebagai
kalangan pendatang yang menjajah, melakukan pemiskinan, dan menjalankan
penyingkiran. Semua dapat berjalan rapi jika merujuk pada masa silam.
Siapa pun pihak yang sengaja melakukan proyek
kekerasan berbasis identitas di Aceh pada dasarnya memungkiri tindakan politik.
Filosof Hannah Arendt (1906-1975), seperti diuraikan Karin A Fry (Arendt: A
Guide for the Perplexed, 2009), menyatakan kekerasan berlawanan dengan
kebebasan.
Kekerasan yang dilakukan mereka yang berada
dalam pemerintahan menggulirkan pemaksaan yang pada akhirnya menindas
kebebasan.
Tidak seperti lazimnya tindakan politik,
kekerasan itu bisu karena membungkam pertukaran gagasan serta digunakan untuk
mencapai tujuan dengan paksaan. Penggunaan kekerasan, seperti termaktub di
dalamnya, tidak mampu diprediksi dan berbahaya karena tidak pernah bisa
menjamin hasil yang diharapkan.
Jadi, siapa pun yang sengaja memainkan proyek
kekerasan berbasis identitas (atas nama suku maupun agama) di Aceh (atau di
wilayah mana pun) dengan dalih menciptakan tertib sosial dan kedamaian, atau
agenda politik lainnya, pastilah akan menuai kegagalan.
Terkecuali jika kekerasan itu memang secara
sengaja dijadikan proyek menangguk keuntungan finansial dan memainkan
petualangan politik yang mengarah pada penciptaan kekacauan. Pihak-pihak
semacam itu telah memunggungi arti penting perdamaian dan mengoperasikan
kebrutalan terhadap sesama manusia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar