Petani,
Kekerasan, dan Negara
Eko Cahyono, PENELITI DI
SAJOGYO INSTITUTE (SAINS) BOGOR, MAHASISWA PASCASARJANA JURUSAN SOSIOLOGI
PEDESAAN (SPD), FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB)
Sumber : SINDO, 24 Januari 2012
Belakangan ini kita disuguhi potret
pilu kekerasan berbasis sengketa agraria terhadap masyarakat petani miskin
pedesaan oleh suatu kolaborasi ‘tangantangan’ pemilik modal (perkebunan dan
tambang) dan negara (beserta aparatus keamanannya) yang memuncak pada kasus
Mesuji dan Bima.
Kekerasan dan konflik tersebut tentu saja pucuk gunung es dari beragam masalah sejenis yang tidak/belum terekspos media secara nasional. Laporan data kekerasan dan konflik agraria yang dikeluarkan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada 2011 menyebut,ada 163 konflik agraria di seluruh Indonesia selama 2011 atau terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan pada 2010 (106 konflik). Sebanyak 22 petani/ warga yang tewas di wilayahwilayah sengketa dan konflik agraria.
Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 keluarga,sementara luas areal konflik mencapai 472.048,44 hektare. Dari 163 kasus yang terjadi, 97 kasus terjadi di sektor perkebunan (60%), 36 kasus di sektor kehutanan (22%), 21 kasus terkait infrastruktur (13%), 8 kasus di sektor tambang (4%),dan 1 kasus terjadi di wilayah tambak/pesisir (1%). Sementara dilihat dari sebaran wilayah konflik, jumlah konflik atau sengketa agraria terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 36 kasus, Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi Tenggara 15 kasus, Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus,Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus,dan sisanya tersebar di sebagian besar provinsi lain di Nusantara.
Ketimpangan Struktur Agraria
Sayangnya, masalah kekerasan atas petani miskin pedesaan ini lebih banyak dipersepsikan pada sudut pandang ‘sektoralisme-tematik’; HAM, keamanan, masyarakat adat, pengalihan isu politik nasional, dan pelanggaran-pelanggaran hukum negara lainnya. Persepsi ini cenderung membias dari akar masalahnya, yakni ketimpangan penguasaan, pemilikan,dan peruntukan sumber-sumber agraria nasional.
Satu bentuk ketimpangan struktural agraria yang nyatanyata mengingkari mandat konstitusional baik UUD 1945 (khususnya Pasal 33) maupun TAP MPR No IX/2001 yang mengatur pengelolaan dan pengurusan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pada praktiknya kekayaan alam, aset nasional, dan sumber penghidupan rakyat hanya dimiliki oleh segelintir penguasa modal (baik pribumi maupun asing).
Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2010), kurang lebih 56% aset nasional dikuasai hanya 0,2% dari penduduk Indonesia. Dengan kenyataan semacam ini, dapat dikatakan bahwa para petani pedesaan sudah kehilangan jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam.
Negara dan Globalisasi
Hampir seluruh kebijakan dan program pembangunan negara hari ini sulit dijelaskan secara terang benderang tanpa mengaitkannya dengan kepentingan politik-ekonomi dari kapitalisme global.Pemberian konsesi dan hak penguasaan di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, pertanian, kelautan, pulau-pulau kecil, dan beragam sumber agraria lainnya kepada pengusahakonglomerat pribumi maupun trans national corporation (TNC) adalah bagian nyata dari kolaborasi dan kaitkelindan kepentingan ekonomi-politik guna akumulasi modal sebesarbesarnya untuk lembaga dan kelompok oligarkis mereka sendiri.
Untuk tujuan itu, beragam pintu masuk dan “karpet merah” masuknya modal diperlebar, apa yang dianggap menyumbat“ leher botol”investasi ditiadakan.Maka tak heran jika lahir beragam regulasi sektoral pascareformasi yang lebih propemodal raksasa dan mengabaikan hak masyarakat miskin. Sebut saja di antaranya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-Undang No 7/2004 Sumber Daya Air,UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU Holtikultura, UU Lahan Abadi Pertanian,UU Migas,dan yang terbaru adalah UU Pengadaan Tanah yang baru disahkan pada Desember 2011.
Sementara ‘payung’ hukum pengelolaan sumber- sumber agraria nasional yang dimandatkan UUPA tahun 1960 tidak kunjung dihiduptegakkan. Dengan melihat kaitkelindan hubungan integral negara dan kapitalisme, dapat dipahami segala hal yang dianggap menghambat jalan utama sirkuit modal akan ditiadakan (kalau perlu) dengan cara apa pun. Masyarakat petani pedesaan yang hidup di sekitar/dalam kawasan perkebunan, pertambangan hutan, dan sumber-sumber agraria lainnya (yang kerap) dianggap sebagai masalah dan ancaman akan menjadi bagian yang akan disingkirkan paksa. Jika masih dan mau ditundukkan, mereka akan menjadi cadangan buruh murah, tentu setelah mereka terputus hubungan dengan aset tanah dan alam mereka.
Proses terlemparnya petani pedesaan dari hubungan-hubungan tradisionalnya dengan tanah dan alam menjadikan mereka hanya berpangku pada tenaga dirinya sendiri. Sementara untuk berkompetisi di wilayah industrialisasi perkotaan, mereka tak cukup keterampilan dan pengetahuan. Barangkali di tengah “ketiadaan pilihan” itu apa pun akan mereka lakukan,sekadar untuk bisa bertahan hidup, mempertahankan basis subsitensi mereka yang makin terancam.
Meski harus jahit mulut, harus dipukuli, dipenjara, dibacok,dan tertembak mati. Dalam karya klasiknya The Great Transformation, Karl Polanyi (1994) sudah menegaskan bahwa tanah dan kekayaan alam bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak sepenuhnya bisa diperlakukan sebagai komoditi.
Memperlakukan tanah (dan alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya niscaya akan menghasilkan guncanganguncangan yang akan menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar