Perempuan,
Kemiskinan, dan Korupsi
Siti Nuryati,
PENERIMA PENGHARGAAN MENKO KESRA 2009
ATAS GAGASAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Sumber
: SINAR HARAPAN, 12 Januari 2012
Pembahasan peran ekonomi perempuan kian hari
kian mengalami eskalasi. Hal ini sejalan dengan pandangan dunia internasional
yang masih menganggap perempuan adalah makhluk yang paling banyak memikul beban
kemiskinan.
Beban ini semakin bertambah berat karena
perempuan tidak dapat mengakses kesempatan ekonomi, pemilikan lahan, dan
lain-lain.
Dari 66 penelitian yang dilakukan
International Research Center for Woman (IRCW) di era 80-an, ditemukan fakta
keluarga berkepala perempuan lebih miskin daripada laki-laki.
Di Amerika hampir seluruh keluarga miskin
dibiayai perempuan tanpa suami. Iklim ekonomi global yang tidak menentu serta
perang di mana-mana semakin memperburuk keadaan ini. Kondisi ini kemudian
memunculkan pandangan pentingnya akses ekonomi perempuan.
Mengapa akses ekonomi perempuan dipersoalkan?
Ada satu hal yang perlu dicermati terkait fenomena tuntutan kesamaan akses
ekonomi antara laki-laki dan perempuan ini.
Jika dalam masalah ekonomi segala sesuatu
diukur dengan materi, perempuan yang tidak menghasilkan uang dianggap lebih
rendah nilainya. Jika sudah demikian maka upaya pemberdayaan perempuan yang
dipandang penting adalah dengan meningkatkan perannya dalam turut mendongkrak
perekonomian negara secara langsung.
Negara kemudian mengembangkan kebijakan dan
program-program untuk merangsang distribusi yang adil bagi setiap rumah tangga.
Namun negara dalam hal ini hanya menyediakan
sumber daya agar terbuka peluang bagi perempuan untuk mengaksesnya, tanpa
memperhatikan masalah distribusi sumber daya tersebut sudah berjalan baik dan
mencukupi bagi setiap orang yang membutuhkannya atau belum. Akhirnya
penyelesaian lebih bertumpu pada perempuan-perempuan itu yang harus mengatasi
persoalan kemiskinannya.
Dalam posisi seperti itu, peluang bekerja
bagi perempuan menjadi sesuatu yang penting diperjuangkan. Peran domestik
perempuan dianggap tidak bermakna dalam perekonomian. Ibu rumah tangga dianggap
warga negara kelas dua.
Faktor nonmateri seperti cinta kasih,
dedikasi, dan kesetiaan tidak dimasukkan dalam teori ekonomi, bahkan dalam
ekonomi neoklasik sekalipun. Padahal ibu rumah tangga memiliki andil yang besar
bagi perekonomian suatu negara walaupun kontribusinya tidak langsung.
Tak seperti di era 70-an di mana peran perempuan
belum terlalu diperhitungkan, pada 80-an perempuan mulai diperhatikan
peranannya dalam pembangunan. Kini peran tersebut semakin bergeser setelah
melihat bahwa bukan kesejahteraan yang diraih perempuan setelah mereka terlibat
dalam arus besar pembangunan.
Karena itu, saat ini yang menjadi sasaran
penting, perempuan harus pula terlibat sebagai agen pembangunan. Konsep
pendekatan pembangunan bergeser dari Woman In Development (WID) menjadi Gender
and Development (GAD).
Pendekatan GAD sangat menekankan kesadaran
relasi yang selama ini dipandang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan
sehingga perempuan harus turut berperan sebagai penentu kebijakan.
Alhasil penyelesaian persoalan yang ada
memang selalu beranjak dari fakta. Pendekatan semacam ini menyebabkan lepasnya
satu masalah untuk masuk ke masalah berikutnya. Bukan tidak mungkin pendekatan
model GAD ini akan kembali menimbulkan persoalan-persoalan baru.
Contoh paling mudah, belakangan ini begitu
marak kasus dugaan korupsi yang menjerat perempuan di ranah publik. Nunun
Nurbaeti, Angelina Sondakh, Mindo Rosalina, Miranda Gultom, dan deretan
nama-nama lainnya.
Dari sini jelas yang dibutuhkan saat ini
adalah suatu kerangka berpikir yang baku dengan asas yang benar sehingga mampu
menyelesaikan seluruh masalah sampai akarnya.
Bukan Problem Perempuan
Kita sebetulnya perlu bertanya, betulkah
perempuan pihak yang paling memikul beban kemiskinan dunia? Ini karena apabila
fakta kehidupan manusia diamati, kemiskinan tidak hanya menimpa perempuan,
melainkan juga laki-laki. Kemiskinan tidak hanya ada pada keluarga yang
dikepalai perempuan, tetapi bisa juga pada keluarga yang dikepalai laki-laki.
Kemiskinan tidak hanya ada pada masyarakat
yang memiliki budaya patriarki, tetapi juga ada pada masyarakat yang menolak
budaya tersebut (seperti Amerika dan Eropa).
Bahkan kemiskinan perempuan sebenarnya tidak
menjadi masalah pada beberapa negara yang memiliki budaya patriarki, seperti
negara-negara Timur Tengah. Dengan demikian kemiskinan bukan hanya masalah
perempuan, melainkan masalah manusia pada umumnya.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah
kemiskinan yang menimpa banyak perempuan di dunia saat ini tidak hanya dengan
memberikan alternatif untuk perempuan agar bisa dengan bebas mengakses sumber
daya ekonomi, sebab penyelesaian seperti ini bersifat individual dan parsial.
Akibatnya bisa muncul masalah baru sementara
masalah sebelumnya belum tuntas. Yang kita butuhkan, penyelesaian yang
berangkat dari pandangan yang universal tentang perempuan, yakni pandangan yang
melihat perempuan sebagai bagian dari masyarakat manusia yang hidup
berdampingan secara harmonis dan damai dengan laki-laki dalam kancah kehidupan
ini.
Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan
yang diciptakan untuk hidup berdampingan, saling melengkapi, dan saling
membantu dalam mengarungi kehidupan.
Hanya dengan hidup berdampingan inilah
kelestarian umat manusia akan terjamin sehingga yang kita butuhkan saat ini
bukanlah kebijakan yang hanya akan memunculkan pemilah-milahan masyarakat
manusia menjadi “masyarakat laki-laki” dan “masyarakat perempuan”.
Ini karena hal itu hanya akan menimbulkan
persaingan yang tidak sehat antara laki-laki dan perempuan sehingga keduanya
akan sulit hidup berdampingan secara harmonis dan damai.
Akhirnya muncul sifat saling memusuhi.
Keduanya memandang dari sisinya masing-masing. Laki-laki memandang
menurut kelelakiannya dan perempuan memandang menurut keperempuanannya. Apabila
ini terjadi, kelestarian generasi mendatang akan terganggu.
Kemiskinan adalah salah satu masalah dari
sekian masalah manusia dalam kehidupan. Kemiskinan tidak dipandang sebatas
sebagai bagian dari aspek ekonomi yang tidak terkait dengan aspek yang lain.
Karena itu, perlu alternatif penyelesaian
yang tuntas dan menyeluruh, serta tidak mengakibatkan adanya masalah baru
bagi manusia dalam aspek yang lain. Penyelesaian ini harus dilaksanakan
secara sistemis, tidak cukup hanya oleh individu-individu, agar setiap individu
manusia mendapat jaminan kehidupan yang sama.
Kemiskinan menjadi persoalan karena manusia
tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Ini akan membawa dampak pada aktivitas
lain dan menghambat manusia untuk meraih cara hidup yang ideal.
Karena itu diperlukan jaminan pemenuhan
kebutuhan pokok bagi setiap individu manusia agar tidak ada hambatan bagi
manusia menjalankan kehidupan ini menuju kehidupan yang ideal yang menjamin
kemuliaannya sebagai manusia.
Negara selayaknya menjamin distribusi
kekayaan/sumber daya kepada seluruh individu rakyat, yaitu menjamin distribusi
ini bagi pemenuhan kebutuhan pokok individu secara keseluruhan, serta memberi
peluang kepada setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya.
Jaminan ini berupa seperangkat hukum yang
tersistem, seperti hukum kebolehan memiliki dan bekerja pada sumber-sumber ekonomi,
seperti pertanian, industri, perdagangan, dan upah-mengupah, serta hukum
tentang pemeliharaan urusan rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar