Pembatasan
BBM
Kurtubi, PENGAJAR PASCASARJANA FEUI DAN UNIVERSITAS PARAMADINA;
DIREKTUR
CENTER FOR PETROLEUM AND ENERGY ECONOMICS STUDIES (CPEES)
Sumber
: KOMPAS, 11 Januari 2012
Setelah bertahun-tahun rencana pembatasan BBM
bersubsidi urung diterapkan, pemerintah saat ini sudah bulat untuk menerapkan
kebijakan pembatasan BBM mulai 1 April 2012 di Pulau Jawa dan Bali. Pemerintah juga
memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM.
Kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM)
dimaksudkan untuk mengalihkan pemakaian BBM bersubsidi, seperti bensin premium
dan solar, ke BBM nonsubsidi atau ke gas (BBG, LGV). Namun, karena
infrastruktur gas masih sangat tidak memadai dan tidak mungkin terkejar sampai
1 April 2012 di Pulau Jawa dan Bali, program pembatasan BBM ini pada hakikatnya
hanya bertujuan mengalihkan penggunaan premium ke pertamax. Ini berarti,
masyarakat pemilik kendaraan pelat hitam di Jawa dan Bali akan ”dipaksa”
membayar BBM lebih mahal dua kali lipat dari Rp 4.500 per liter menjadi sekitar
Rp 9.000 per liter. Ini berarti kebijakan pembatasan BBM identik dengan menaikkan
harga 100 persen.
Pelarangan kendaraan pelat hitam membeli
premium, sementara kendaraan pelat kuning (angkutan umum) dan sepeda motor
tetap diperbolehkan, membutuhkan mekanisme pengawasan yang rumit dan sangat
mahal. Pemilik kendaraan pelat kuning dan sepeda motor berpeluang mendapatkan
”keuntungan” dari menjual kembali premium dengan harga jual Rp 4.500 hingga Rp
9.000 per liter di pasar gelap.
Bisa dipastikan, sebagian pemilik kendaraan
pelat hitam akan memilih membeli premium di pasar gelap meski harganya jauh di
atas Rp 4.500 per liter, asalkan masih di bawah harga pertamax. Pasar gelap BBM
ini akan sulit diberantas.
Dilihat dari konteks kebijakan energi
nasional, program pembatasan BBM yang menggiring rakyat untuk pindah dari
”minyak” (premium) ke ”minyak” (pertamax dan kawan-kawan) jelas tak akan
membawa bangsa ini mencapai ketahanan energi nasional yang tangguh dalam jangka
panjang. Pasalnya, program pindah dari ”minyak” ke ”minyak” ini hanya
melanggengkan ketergantungan sumber energi pada minyak. Terlebih adanya fakta
bahwa produksi minyak nasional sangat rendah dan terus mengalami penurunan
selama sepuluh tahun terakhir. Maka, walaupun ada program pembatasan,
ketergantungan pada minyak impor tetap meningkat.
Ketergantungan pada minyak impor lebih lanjut
berisiko mengancam gerak perekonomian nasional, apalagi jika terjadi ketegangan
di kawasan Timur Tengah, termasuk ancaman terhadap lalu lintas kapal tanker
saat ini di Selat Hormuz sebagai balasan atas blokade negara Barat atas minyak
Iran.
Tergantung
Timur Tengah
Sebagian besar komponen ”crude cocktail”
(campuran minyak mentah) yang diolah Kilang Cilacap—sebagai kilang terbesar di
Indonesia—berasal dari minyak Timur Tengah. Maka, jika terjadi hambatan atas
ketersediaan minyak Timur Tengah untuk diolah, Indonesia akan kekurangan BBM
dalam jumlah signifikan. Situasi seperti ini tidak bisa dihindari jika Selat
Hormuz betul-betul diblokade.
Pasar minyak dunia akan kekurangan suplai
sekitar 16 juta bbls per hari, jumlah yang sangat signifikan yang akan mendorong
harga minyak naik ke kisaran 150 dollar AS per bbls dalam beberapa bulan.
Negara-negara lain, terutama China dan India, akan berusaha mencari minyak
mentah dari mana pun asalnya dan berapa pun biayanya.
Upaya Presiden SBY berkirim surat ke PBB agar
PBB melakukan sesuatu untuk menghindari terjadinya blokade Selat Hormuz patut
dihargai. Namun, lebih penting lagi Presiden SBY menerapkan kebijakan energi
dalam negeri yang tepat: kebijakan yang lebih menjamin untuk memenuhi kebutuhan
energi nasional dengan mengoptimalkan sumber-sumber energi dalam negeri dan
mengurangi ketergantungan pada energi impor.
Dari sisi suplai (hulu), perlu ada perbaikan
atas manajemen perminyakan nasional. Salah satunya dengan mengarahkan investasi
untuk pencarian cadangan baru yang dapat menjamin kenaikan produksi minyak
nasional. Ini baru bisa terjadi kalau UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas
segera direvisi.
Sementara dari sisi permintaan (hilir),
sekarang saatnya mendorong pemakaian sumber energi nonminyak. Idealnya energi ”pengganti”
minyak ini sebagian besar berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT),
seperti bahan bakar nabati (BBN). Namun, karena ketersediaan EBT masih minim,
alternatif yang paling mungkin adalah gas. Selain harga gas tanpa subsidi jauh
lebih murah daripada BBM, gas juga jauh lebih ramah lingkungan dan cadangannya
di bumi Nusantara lima kali cadangan minyak.
Dengan demikian, program pembatasan BBM yang
akan diterapkan 1 April 2012 sebaiknya diganti dengan program pengalihan BBM ke
non-BBM. Ini jauh lebih visioner dan antisipatif daripada program pengalihan
dari ”minyak” ke ”minyak” saat ini. Lebih baik pemerintah berkonsentrasi
membangun infrastruktur pemakaian gas di dalam negeri.
Bangun segera terminal penerima, unit
regasifikasi, dan sistem distribusi pipa sebanyak mungkin. Tidak hanya di lepas
pantai Jakarta, Semarang, dan Medan, tetapi juga diperluas ke Ampenan, Manado,
Ambon, Ternate, Kupang, Makassar, dan sebagainya. Segera bangun pabrik
perlengkapan (converter kits) berikut penentuan spesifikasi teknis SNI yang
ketat untuk menjamin keselamatan masyarakat pemakai BBG/LGV. Termasuk
pengaturan suplai LNG/LGV yang menjamin terpenuhinya kebutuhan jangka panjang.
Kebijakan
Harga
Dalam jangka pendek, jika subsidi BBM
dirasakan terlampau besar, instrumen untuk mengatasi sebaiknya adalah kebijakan
harga (pricing policy). Cara ini sangat efisien karena tak butuh pengawasan.
Yang dibutuhkan hanya kemampuan komunikasi pemerintah untuk meyakinkan
masyarakat, menaikkan harga premium adalah jalan terbaik buat bangsa ini.
Menaikkan harga premium, katakan hingga Rp
1.500 per liter (menjadi Rp 6.000 per liter) akan jauh lebih bisa diterima
masyarakat dibandingkan harus membeli pertamax yang harganya dua kali lipat.
Bukankah pada 2008/2009—saat harga minyak dunia melampaui 100 dollar AS per
bbls, bahkan sempat menembus 147 dollar AS per bbls—harga premium sempat naik
hingga Rp 6.000 per liter?
Sebagai negara dengan potensi sumber daya
energi primer yang sangat besar: minyak 50 miliar-80 miliar bbls, gas sekitar
380 tcf, batubara sekitar 58 miliar ton, dan geotermal sekitar 24.000 MWe,
ketahanan energi Indonesia semestinya jauh lebih bagus daripada semua negara
tetangga. Bahkan, bukan mustahil Indonesia muncul sebagai negara adidaya bidang
energi. Namun, ini hanya bisa terjadi jika manajemen dan kebijakan energi
nasional segera disempurnakan, termasuk di dalamnya strategi mengurangi subsidi
BBM dan mendorong ”pindah” ke gas/EBT; bukan dari ”minyak” ke ”minyak”! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar