Otsus
Papua Abaikan Kesejahteraan
Pangi Syarwi,
PENELITI DI
INDONESIAN PROGRESSIVE INSTITUTE
Sumber
: SUARA KARYA, 18 Januari 2012
Tanah papua tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi. Seluas
tanah, sebanyak batu adalah harta harapan. Hitam kulit keriting rambut, aku
Papua. Biar nanti langit terbelah, aku Papua.
Penggalan lirik lagu tentang Papua ini ditulis oleh musisi Franky
Sahilatua dan akhir-akhir ini sering diputar di beberapa media TV swasta
nasional.
Aceh ingin merdeka lewat organisasi Gerakan Aceh Merdeka, Papua
ingin mardeka lewat perjuangan Gerakan Organisasi Papua Mardeka, keduanya
sama-sama punya keinginan mardeka, namun mengapa Aceh bisa diselesaikan dan
tercipta kedamaian sekarang disana, sementara Papua tidak?
Mengapa sulit mencapai perdamaian dan kesejahteraan di tanah
Papua? Secara teoritis, konsep otonomi khusus sesungguhnya bagus. Dana otonomi
khusus begitu banyak dikucurkan selama periode 2002-2010 hingga mencapai Rp
28,8 triliun. Jabatan pemimpin (gubernur dan bupati) sudah diberikan kepada
putra asli Papua.
Selain itu, orang asli Papua sudah ditempatkan sebagai pelaku
utama pembangunan di tanah leluhurnya sendiri. Namun, apa yang salah dari semua
pendekatan pembangunan ekonomi politik di tanah Papua selama ini?
Komplikasi
Jalan panjang damai dan kesejahteraan di tanah Papua mengalami
komplikasi yang sangat serius. Setidaknya ada lima akar persoalan.
Pertama, kegagalan implementasi pembangunan, terutama di bidang
pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Di antaranya adalah
rumah sakit yang minim obat dan dokter, serta sekolah-sekolah pun masih minim
guru.
Kedua, untuk penyelesain kasus Papua belum ada lagi tokoh nasional
yang dipercaya masyarakat Papua, seperti Gus Dur (Almarhum) yang lebih bisa
diterima oleh rakyat Papua. Saking respeknya masyarakat Papua dengan sosok Gus
Dur, hingga pada 25 Januari 2010 Almarhum Gus Dur dikukuhkan sebagai Bapak
Demokrasi Papua oleh Dewan Adat Papua. Gus Dur dinilai sangat berjasa besar
bagi Papua, khususnya dalam menerapkan pendekatan secara dialogis dan
menghargai HAM (hak azasi manusia) untuk menyelesaikan masalah Papua. Presiden
Abdurrahman Wahid juga memberikan dukungan penuh untuk menggunakan kembali nama
Papua sebagai pengganti nama 'Irian Jaya'. Gus Dur jugalah yang memberikan izin
untuk mempergunakan bendera Bintang Kejora sebagai bendera Propinsi Papua.
Ketiga, data hasil kajian demokrasi (Democratic Center) Tahun 2010
Universitas Cenderawasih, menyimpulkan penyebab Otonomi Khusus Papua tidak
berjalan efektif. Di antaranya, masih terjadi tumpang tindih aturan hukum yang
dikeluarkan pusat dengan aturan perdasus dan perdasi. Permasalahan menyangkut
dimensi institusional (kelembagaan), yakni belum terbentuknya sejumlah
institusi penting yang diamanatkan dalam UU Otsus seperti, pengadilan HAM,
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Hukum Ad Hoc dan peradilan
adat. Permasalahan belum optimalnya sinergisitas tiga pilar utama Pemerintah
Daerah (Pemprov, MRP dan DPRP) di Papua.
Keempat, pemerintah pusat tidak serius, tidak tegas dan tidak
berani untuk menyelidiki dan memeriksa elite atau pejabat pemerintahan daerah
Papua yang terindikasi korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan
indikasi kerugian negara sebesar Rp 319 miliar dalam penggunaan dana otonomi
khusus (Otsus) Papua. BPK hanya mengaudit 66,27% dana sebesar Rp 19,1 triliun,
ada indikasi penyelewengan dana otsus mencapai Rp 319 miliar.
Kelima, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik orang
Papua, permasalahan menyangkut dimensi politik, menyangkut proses bergabungnya
Tanah Papua ke dalam bagian NKRI. Artinya, anggapan pertama masyarakat Papua
tentang ilegalnya hasil Pepera tersebut masih terus menguat. Anggapan tokoh
masyarakat Papua, Pepera yang lama dinilainya tidak fair dan cenderung
memutarbalikkan sejarah Papua sebagai sebuah entitas. Sementara Pemerintah RI
tetap yakin hasil Pepera itu sah sesuai 'New York Agreement' 1962 dan Pepera
ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, pada
tanggal 19 November 1969. Tidak ada yang harus diragukan.
Konflik Papua tidak bisa dipertahankan, dan harus diselesaikan
secara serius. Kasus Papua menjadi lampu kuning bagi pemerintah, kalau
pemerintah tidak punya itikad baik dan kesungguhan maka akan sama dengan proses
terbentuknya Negara Sudan Selatan yang berpisah dari Republik Sudan (negara
induk). Apabila kita komperatifkan dengan Papua, misalnya, maka polanya
memiliki kemiripan.
Pertama, wilayah Sudan selatan mayoritas beragama kristen.
Sementara Republik Sudan mayoritas beragama Islam.
Kedua, Sudan Selatan memiliki SDA yang melimpah terutama dari
minyaknya, dimana Republik Sudan sebagai Negara penghasil minyak di dunia
sebagian besar produksi minyaknya berasal dari wilayah Sudan Selatan.
Ketiga, kurangnya pembangunan di wilayah Sudan Selatan
mengakibatkan kesejahteraan tidak terwujud, sehingga menyebabkan konflik
saudara yang berkepanjangan pasca mendapatkan kemerdekaan dari Inggris 1956.
Padahal, sebelumnya wilayah Sudan Selatan telah diberikan otonomi untuk
mengurus wilayahnya, namun tetap berpisah dari Republik Sudan.
Sekali lagi, Otsus Papua yang diberikan oleh pemerintah pusat
lebih sebagai solusi politik ketimbang solusi kesejahteraan. Itu sebabnya yang
lebih kentara dari Otsus ini adalah proses politik untuk menekan aspirasi
merdeka. Pada awalnya Otsus dianggap sebagai berkah besar untuk rakyat Papua,
masyarakat memiliki ekspektasi yang sangat besar bahwa Otsus meningkatkan
kesejahteraan, namun berubah menjadi bencana bagi rakyat karena salah kelola.
Save Papua! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar