Membuat
Mobnas Keroyokan
Bambang Setiaji, GURU BESAR DAN REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Sumber : JAWA POS, 23 Januari 2012
MENCERMATI serunya perbincangan mobil
nasional (mobnas), universitas kami punya pengalaman. Teman-teman dari fakultas
teknik mesin dan teknik industri mendapat tugas dari direktur Pengembangan SMK
Mendiknas untuk ikut mendesain mobil Esemka.
Mereka terobsesi bisa memiliki atau minimal menyewa mesin pres atau stamping. Tujuannya, chassis dan bodi mobil bisa dipres dengan cepat dan produksi massa bisa dilakukan. Satu menit enam pintu bisa dicetak -hitung sendiri sehari berapa ribu pintu bisa diproduksi.
Bandingkan dengan sistem kerajinan tangan yang mengandalkan ketok. Itu diistilahkan Empu Gandring, mengacu pembuat keris yang menggunakan metode ketok satu demi satu. Satu pintu tak dapat diselesaikan dalam sehari karena ada saja di sana sini yang perlu sentuhan.
Wajar mereka sering berpikir seperti itu. Yaitu, mencari yang terbaik dan tercepat. Tapi, saya mengingatkan perlunya menciptakan teknologi yang memiliki standar dan presisi tinggi, namun tetap berbasis manual. Satu pintu itu jangan dicetak dalam sepuluh detik, tetapi mungkin setengah hari.
Alat cetaknya cukup kecil, bisa dijinjing dan bisa diubah-ubah untuk beberapa fungsi. Tidak menggunakan listrik atau dinamo, tetapi justru mengandalkan kekuatan fisik anak-anak SMK. Fisik mereka yang kerempeng agar bisa menjadi berotot dan berubah menjadi cekatan dan sehat. Saya melihat alat seperti itu digunakan untuk membuat daun pintu kayu dalam pembuatan furnitur.
Mengapa perlu alat manual? Tenaga kerja kita sangat besar, yang menganggur saja sepuluh juta orang, belum lagi yang setengah menganggur. Mereka tentu siap dan senang jika benar benar dibuka lowongan untuk bekerja di pabrik mobil nasional. Atau minimal membuka warung di sekitarnya. Sebab, anak-anak SMK tentu ''lapar'' bekerja seharian.
Jelas, membuat pabrik mobil nasional diperlukan investasi triliunan rupiah. Belum lagi membuat kantor-kantor distributor dan jaringan marketing. Jika pabrik mobil yang dibayangkan itu menggunakan mesin pres dengan daya tekan dua ribu ton, sehari bisa dicetak sekian ribu bagian.
Kalau demikian halnya, kecuali mahal, mobil nasional mungkin segera jenuh memenuhi pesanan dalam negeri. Mobil nasional harus berhadapan dengan made in Jepang, Korea, dan Tiongkok. Selain tidak menyelesaikan pengangguran, ekspor mobil akan menjadi PR yang kedua.
Mobil nasional Esemka seyogianya tetap menjadi alat pembelajaran dan harus lebih maju. Sebab, itu dilengkapi dengan mesin cetak berbasis manual yang memiliki presisi tinggi, portabel, adjustable, dan sesedikit mungkin menggunakan listrik. Mobil nasional itu dibuat oleh jutaan anak sekolah, di berbagai daerah, dan benar-benar bersifat nasional.
Industri keroyokan, gotong royong, itu sesuai dengan kondisi penawaran tenaga kerja yang over suplai Kapasitasnya yang terbatas justru tidak diperlukan investasi besar, investasi distributor, dan investasi marketing. Kapasitasnya sesuai dengan perkembangan reguler marketing-nya. Orientasinya melayani permintaan dalam negeri di pasar input melibatkan industri pengecoran logam dalam negeri, industri karet, kaca, dan lain-lain dalam negeri.
Marketing Stan Tujuh Belasan
Anak-anak kita terbukti mampu. Selain mobil SUV rakitan Esemka yang keren, sebenarnya ada yang tak kalah menarik. Yaitu, mobil mini truk atau pikap buatan SMK Muhammadiyah 2 Borobudur. Mobil SUV yang keren sebenarnya masih berbasis impor, anak-anak hanya merakit. Sementara mobil pikap itu 90 persen buatan lokal.
Mobil tersebut dapat dikembangkan di masa depan dan harus dapat dijual lebih murah kepada masyarakat. Penggunanya adalah petani, pedagang, angkot. Kalau toh memasuki balai kota, maqom-nya adalah armada pengangkut sampah yang bisa masuk di kampung-kampung.
Pemasarannya? Saya teringat 17 Agustusan di Pacitan. Di sana tentu dibuka stan tujuh hari tujuh malam. Stan itu disediakan pemerintah kecamatan untuk menjual berbagai produk pekerjaan tangan atau prakarya anak-anak sekolah.
Dulu, setiap anak dalam satu semester diwajibkan untuk membuat prakarya satu buah dan berbahan baku 100 persen lokal. Misalnya, gayung dari batok kelapa, sendok sayur dari batok kelapa, kipas tangan, sapu, asbak, hiasan dinding, dan lukisan. Bapak camat akan berkeliling melihat stan-stan itu untuk menyemangati dan sesekali membeli barang-barang itu.
Pada era modern ini, sudah sewajarnya ada BUMN yang bertugas seperti stan tujuh belasan itu. Tugasnya, mendisplai hasil karya anak anak sekolah, mengusahakan perizinan agar mobil hand made atau prakarya anak-anak sekolah itu dapat digunakan di jalan. Pembelinya tentu masyarakat karena menjadi mobil murah. Demikian juga, para pejabat, tidak hanya memberikan semangat, wajib membeli karya anak bangsa itu. Disebut mobil nasional apabila ada politik ekonomi seperti itu. ●
Mereka terobsesi bisa memiliki atau minimal menyewa mesin pres atau stamping. Tujuannya, chassis dan bodi mobil bisa dipres dengan cepat dan produksi massa bisa dilakukan. Satu menit enam pintu bisa dicetak -hitung sendiri sehari berapa ribu pintu bisa diproduksi.
Bandingkan dengan sistem kerajinan tangan yang mengandalkan ketok. Itu diistilahkan Empu Gandring, mengacu pembuat keris yang menggunakan metode ketok satu demi satu. Satu pintu tak dapat diselesaikan dalam sehari karena ada saja di sana sini yang perlu sentuhan.
Wajar mereka sering berpikir seperti itu. Yaitu, mencari yang terbaik dan tercepat. Tapi, saya mengingatkan perlunya menciptakan teknologi yang memiliki standar dan presisi tinggi, namun tetap berbasis manual. Satu pintu itu jangan dicetak dalam sepuluh detik, tetapi mungkin setengah hari.
Alat cetaknya cukup kecil, bisa dijinjing dan bisa diubah-ubah untuk beberapa fungsi. Tidak menggunakan listrik atau dinamo, tetapi justru mengandalkan kekuatan fisik anak-anak SMK. Fisik mereka yang kerempeng agar bisa menjadi berotot dan berubah menjadi cekatan dan sehat. Saya melihat alat seperti itu digunakan untuk membuat daun pintu kayu dalam pembuatan furnitur.
Mengapa perlu alat manual? Tenaga kerja kita sangat besar, yang menganggur saja sepuluh juta orang, belum lagi yang setengah menganggur. Mereka tentu siap dan senang jika benar benar dibuka lowongan untuk bekerja di pabrik mobil nasional. Atau minimal membuka warung di sekitarnya. Sebab, anak-anak SMK tentu ''lapar'' bekerja seharian.
Jelas, membuat pabrik mobil nasional diperlukan investasi triliunan rupiah. Belum lagi membuat kantor-kantor distributor dan jaringan marketing. Jika pabrik mobil yang dibayangkan itu menggunakan mesin pres dengan daya tekan dua ribu ton, sehari bisa dicetak sekian ribu bagian.
Kalau demikian halnya, kecuali mahal, mobil nasional mungkin segera jenuh memenuhi pesanan dalam negeri. Mobil nasional harus berhadapan dengan made in Jepang, Korea, dan Tiongkok. Selain tidak menyelesaikan pengangguran, ekspor mobil akan menjadi PR yang kedua.
Mobil nasional Esemka seyogianya tetap menjadi alat pembelajaran dan harus lebih maju. Sebab, itu dilengkapi dengan mesin cetak berbasis manual yang memiliki presisi tinggi, portabel, adjustable, dan sesedikit mungkin menggunakan listrik. Mobil nasional itu dibuat oleh jutaan anak sekolah, di berbagai daerah, dan benar-benar bersifat nasional.
Industri keroyokan, gotong royong, itu sesuai dengan kondisi penawaran tenaga kerja yang over suplai Kapasitasnya yang terbatas justru tidak diperlukan investasi besar, investasi distributor, dan investasi marketing. Kapasitasnya sesuai dengan perkembangan reguler marketing-nya. Orientasinya melayani permintaan dalam negeri di pasar input melibatkan industri pengecoran logam dalam negeri, industri karet, kaca, dan lain-lain dalam negeri.
Marketing Stan Tujuh Belasan
Anak-anak kita terbukti mampu. Selain mobil SUV rakitan Esemka yang keren, sebenarnya ada yang tak kalah menarik. Yaitu, mobil mini truk atau pikap buatan SMK Muhammadiyah 2 Borobudur. Mobil SUV yang keren sebenarnya masih berbasis impor, anak-anak hanya merakit. Sementara mobil pikap itu 90 persen buatan lokal.
Mobil tersebut dapat dikembangkan di masa depan dan harus dapat dijual lebih murah kepada masyarakat. Penggunanya adalah petani, pedagang, angkot. Kalau toh memasuki balai kota, maqom-nya adalah armada pengangkut sampah yang bisa masuk di kampung-kampung.
Pemasarannya? Saya teringat 17 Agustusan di Pacitan. Di sana tentu dibuka stan tujuh hari tujuh malam. Stan itu disediakan pemerintah kecamatan untuk menjual berbagai produk pekerjaan tangan atau prakarya anak-anak sekolah.
Dulu, setiap anak dalam satu semester diwajibkan untuk membuat prakarya satu buah dan berbahan baku 100 persen lokal. Misalnya, gayung dari batok kelapa, sendok sayur dari batok kelapa, kipas tangan, sapu, asbak, hiasan dinding, dan lukisan. Bapak camat akan berkeliling melihat stan-stan itu untuk menyemangati dan sesekali membeli barang-barang itu.
Pada era modern ini, sudah sewajarnya ada BUMN yang bertugas seperti stan tujuh belasan itu. Tugasnya, mendisplai hasil karya anak anak sekolah, mengusahakan perizinan agar mobil hand made atau prakarya anak-anak sekolah itu dapat digunakan di jalan. Pembelinya tentu masyarakat karena menjadi mobil murah. Demikian juga, para pejabat, tidak hanya memberikan semangat, wajib membeli karya anak bangsa itu. Disebut mobil nasional apabila ada politik ekonomi seperti itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar