Memberantas
Impunitas Korporasi
M Ridha Saleh, ANGGOTA KOMNAS HAM
Sumber
: KOMPAS, 6 Januari 2012
Topik kejahatan korporasi dan HAM memang
penting dibicarakan lebih mendalam. Mengacu pada fakta-fakta pelanggaran HAM
pada 10 tahun terakhir, posisi korporasi sebagai part of contributor
pelanggaran HAM perlu dapat perhatian serius.
Aktor non-negara yang disebut dalam UU No
39/1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah individu, organisasi atau institusi,
kelompok. Sementara hukum HAM internasional juga menegaskan hal sama, bahkan
sejak 2000, PBB mengeluarkan satu norma HAM yang khusus ditujukan kepada
perusahaan-perusahaan korporasi transnasional sebagai pihak yang ikut
bertanggung jawab terhadap HAM.
Maka, penting sekali untuk meletakkan HAM
lebih jauh dari sekadar paradigma negara-sentrisme di mana aspek yuridiksi
dalam perlindungan, pemenuhan dan penegakan HAM tidak hanya bersubyek pada
negara sebagai subyek hukum, tetapi juga mencakup semua subyek hukum aktor
non-negara, khususnya pada korporasi.
Dominasi
Revolusi struktur ekonomi dan politik
ternyata telah menumbuhkan kekuatan korporasi yang besar sehingga negara sangat
bergantung pada korporasi, bahkan dapat didikte sesuai kepentingan korporasi.
Semangat liberalisasi dan privatisasi dalam berbagai kebijakan ekonomi politik
atas sumber daya alam (SDA) Indonesia adalah bukti kuatnya intervensi
korporasi.
Pelanggaran HAM yang dipicu dominasi
korporasi di satu sisi menunjukkan lemahnya negara dalam melindungi rakyat. Di
sisi lain, karena tidak berdayanya negara dalam mengontrol aktivitas korporasi.
Padahal, peran strategis negara dalam perlindungan, pemajuan, dan penegakan HAM
justru berada di dua sisi lemah tersebut.
Akibat lemahnya peran negara dalam melindungi
rakyat, masyarakat di sekitar wilayah konflik tanah dan SDA terdesak dan
memilih jalannya sendiri untuk mempertahankan sumber-sumber kehidupannya, yang
berujung konflik kekerasan.
Sisi lemah peran negara terbukti bahwa pada
2007-20011, korporasi berada di urutan kedua terbanyak yang diadukan sebagai
pihak yang ikut serta atau berkontribusi dalam pelanggaran HAM. Angkanya cukup
spektakuler: mencapai 748 kasus! Bahkan, hingga Juni 2011 saja sudah 24 petani
yang meninggal, 42 orang dikriminalisasi, 68 orang tertembak, serta masih
banyak lagi yang mengalami kekerasan dan intimidasi akibat konflik tanah dan
SDA yang diduga kuat melibatkan peran korporasi.
Konflik-konflik yang terjadi di sejumlah
sektor strategis dan industri-industri ekstraktif di bidang SDA selalu
memperlihatkan pelanggaran hak sipil politik seperti kekerasan, intimidasi,
kriminalisasi, penembakan, perampasan hak hidup. Selain itu, juga pelanggaran
hak ekonomi sosial budaya, seperti perampasan atas tanah dan hak ulayat,
pencemaran lingkungan, perusakan terhadap hak milik. Langsung maupun tidak
langsung, banyak sekali data dan fakta yang menunjukkan keterlibatan korporasi
dalam negeri dan luar negeri.
Impunitas
Beberapa tahun lalu, The Centre for Economic
and Social Rights (CESR) menginvestigasi dampak pencemaran
pengembangan minyak oleh Texaco atas manusia di Ecuadorian Amazon. Selama
berpuluh tahun, sebagian besar komunitas Amazon yang terkena dampak, dan yang
sudah menderita karena pelanggaran Texaco, dibuat tak berkutik.
Berulang kali diberitahukan bahwa mereka tak
punya hak melawan perusahaan minyak tersebut. Bahwa kerusakan adalah peristiwa
alami dan harga pasti yang harus dibayarkan bagi kemajuan sebuah negara.
Konsep HAM telah memberi jaminan sebuah
alternatif di luar wacana dominan kepada komunitas tersebut, yakni melindungi
hak mereka atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Hak ini dilanggar oleh
Texaco yang membuang limbah beracun ke dalam persediaan air mereka.
Sementara perusahaan swasta tersebut secara
teknis kebal terhadap tuntutan HAM. Mereka juga tidak menandatangani
kovenan-kovenan yang menjamin HAM, dan hanya negaralah yang bertanggung jawab
untuk melindungi hak-hak tersebut.
Di bawah situasi ini, pendekatan yang
dimaksud CESR mengandung risiko. Menekankan hanya pada kewajiban pemerintah
akan menutupi asal muasal pelanggaran yang sesungguhnya, menguatkan impunitas
korporasi, dan—yang terpenting—semakin menjauhkan perasaan ketidakadilan komunitas
yang sudah lama dipendam.
Sempitnya perhatian hukum HAM hanya pada
tanggung jawab negara bukan saja tak bersesuaian dengan hubungan kekuasaan saat
ini, melainkan juga cenderung mengaburkan tanggung jawab atas pemenuhan hak-hak
korban. Demikian pula perhatian yang hanya tertuju kepada pemerintah tak hanya
mendistorsi realitas makin melemahnya otoritas di tingkat nasional, tetapi juga
melindungi aktor-aktor lain dari tanggung jawabnya yang lebih besar.
Perspektif state-centric dalam dinamika
penegakan HAM di Indonesia masih cukup dominan. Padahal, praktik-praktik serupa
sejak lama juga telah terjadi di sejumlah daerah, tetapi sejauh ini belum ada
langkah-langkah yang memperlakukan aktor-aktor non-negara sebagai pihak yang
bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM.
Semua pihak harus berpegang pada tingkat
kewajiban paling mendasar, yakni ”penghormatan terhadap HAM” dan melindungi
semua pihak dari semua praktik yang mengancam harkat dan martabat serta
kelangsungan hidup manusia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar