Maju-Mundur
Kebijakan Pembatasan BBM
Misriadi,
PENELITI DI LEMBAGA STUDI
HARMONI INDONESIA
Sumber
: SINAR HARAPAN, 16 Januari 2012
Pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi yang dijadwalkan berlaku per 1 April mendatang bisa-bisa kandas.
Sikap pemerintah yang semula menggebu-gebu bakal mengetok palu pertanda
kebijakan pembatasan konsumsi itu diberlakukan pada kuartal kedua kini menciut.
Selain proses sosialisasi yang dinilai
terlalu singkat, respons masyarakat yang menimbulkan pro dan kontra yang tajam
membuat pemerintah menarik napas panjang lagi untuk mengatasi subsidi BBM yang
terus menggerus anggaran negara.
Sikap pemerintah yang tidak tegas itu wajar
kalau menimbulkan komentar bahwa pemerintah terkenal dengan strategi
“maju-mundur” dalam menangani sebuah kebijakan.
Komentar ini menemukan bukti dengan seringnya
pemerintah mengumbar rencana kebijakan untuk membatasi penyaluran BBM
bersubsidi. Namun toh hingga kini eksekusinya masih maju-mundur, bahkan tak
jelas.
Kebijakan kartu pintar alias smart card,
misalnya, kian surut gaungnya. Memang uji coba sempat dilakukan, namun setelah
dihitung-hitung ternyata ongkosnya kemahalan. Dengan begitu tak jarang sebuah
gagasan yang dulu cukup lama ditimbang-timbang pada akhirnya ”masuk laci”.
Pemerintah kemudian ribut mempersiapkan opsi
lain. Ada pilihan-pilihan kebijakan yang digadang-gadang, yakni BBM bersubsidi
hanya boleh dikonsumsi angkutan umum, melarang kendaraan roda empat di atas
tahun 2000 untuk menikmati Premium dan solar bersubsidi, serta melarang mobil
dengan cc tertentu mengonsumsi BBM bersubsidi.
Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sempat
mengeluarkan fatwa haram bagi orang mampu yang mengonsumsi BBM bersubsidi.
Pikir Jernih
Sebenarnya pemerintah tak perlu panik dan
buru-buru melontarkan rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Sebaiknya
pemerintah memikirkan hal ini dengan jernih. Apakah rencana tersebut cukup
realistis dan bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi dampak terus
membengkaknya subsidi?
Ada baiknya pemerintah menggali berbagai cara
yang tidak menimbulkan beban baru bagi masyarakat. Dari rencana tersebut tampak
pemerintah tidak ingin menanggung beban itu sendirian.
Pemerintah ingin membaginya dengan
masyarakat. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan? Pemerintah kembali
menekan masyarakat untuk hal yang sebenarnya secara fundamental itu menjadi
kewajiban negara.
Berbagai langkah cerdas sebenarnya masih bisa
ditempuh pemerintah. Ini karena dari segi teknis, pembatasan itu jelas akan
sangat sulit diimplementasikan.
Logikanya, kalau harus membatasi pemakaian
BBM bersubsidi per kendaraan, petugas SPBU akan kesulitan mengawasi kendaraan
yang sudah mengisi atau belum. Mengatur konsumsi individual tidak akan efektif.
Keruwetan mekanisme akan ditemui jika rencana itu direalisasikan.
Pemerintah seharusnya menempuh upaya yang
lebih signifikan, misalnya menggunakan lebih banyak produksi minyak mentah
dalam negeri untuk diolah menjadi BBM.
Kajian LP3ES menunjukkan ada kesalahan
argumen pemerintah terkait kebijakan ekspor dan impor minyak mentah, yaitu
kualitas minyak mentah Indonesia yang bagus lebih menguntungkan jika diekspor
dan kilang di dalam negeri hanya mampu mengolah jenis minyak mentah tertentu
dari Timur Tengah.
Dengan argumen itu, minyak yang kita ekspor
kemudian diganti dengan minyak impor yang lebih murah. Karena lebih murah,
jumlah yang diimpor juga lebih banyak.
Impor minyak mentah rata-rata lebih 40 persen
dari jumlah produksi minyak mentah Indonesia per tahun. Berdasarkan data LP3ES,
biaya impor minyak mentah lebih mahal US$ 0,68-3,23 per barel daripada harga
ekspornya.
Akibatnya, kerugian negara akibat perbedaan
harga itu bisa mencapai belasan triliun. Makin lama karena konsumsi BBM yang
semakin tinggi, sedangkan produksi terus turun, perbandingan antara ekspor
minyak mentah dan impor semakin dekat.
Untuk itu, berbagai kebijakan ekspor-impor
minyak mentah kita perlu segera dikoreksi. Kebutuhan dalam negeri harus lebih
diutamakan. Ekspor hanya dilakukan ketika terdapat surplus dari selisih
produksi dan kebutuhan.
Selain itu, pemerintah bisa memperbanyak
pembelian minyak mentah dari kontraktor bagi hasil yang beroperasi di
Indonesia. Dari sisi harga, meskipun dibeli dengan harga pasar internasional,
minimal masih bisa menghemat karena ketiadaan biaya transportasi.
Pemerintah juga jangan terus-menerus terjebak
pada politik minyak negara maju, khususnya Amerika Serikat. Sekadar contoh,
China dengan tegas mengatakan politiknya adalah mengamankan pasokan energi. Itu
sebabnya mereka menahan diri tidak mengekspor batu baranya.
Sekarang minyak mentah kita yang kualitasnya
sangat baik diekspor, sedangkan kita justru mengimpor dengan harga lebih tinggi
dari Saudi Aramco, yang notabene adalah perusahaan patungan Arab Saudi dan
Amerika Serikat. Pemerintah seharusnya membuat rencana strategis untuk
peningkatan produksi minyak mentah nasional.
Kilang Pertamina sebenarnya bisa mengolah
minyak mentah produksi dalam negeri. Namun sayangnya, dari sekitar satu juta
barel produksi minyak mentah kita, bagian pemerintah itu hanya sekitar 600.000
barel, sisanya milik kontraktor bagi hasil.
Sebenarnya Pertamina telah menggenggam
rencana memodifikasi kilang mereka, antara lain agar bisa mengolah minyak
mentah dari dalam negeri. Namun ironisnya, di saat yang sama pemerintah malah
melontarkan rencana pembatasan penggunaan BBM ini.
Selain peningkatan produksi, pemerintah juga
harus semakin giat mendorong diproduksinya bahan bakar alternatif. Penggalian
berbagai sumber energi alternatif bisa dipikirkan lebih serius lagi.
Energi alternatif pengganti BBM persentasenya
bisa mencapai 5 persen dari seluruh penggunaan BBM. Bahkan BBM untuk keperluan
sarana transportasi bisa mencapai 10 persen. Jika energi alternatif pengganti
BBM itu dapat direalisasi maka akan dapat menghemat dana yang cukup besar.
Selama ini pemerintah tampak kurang konsisten
terhadap berbagai upaya pengembangan beberapa jenis bahan bakar alternatif. Hal
ini terbukti berbagai upaya pengembangan beberapa jenis bahan bakar alternatif
yang semula dicanangkan sebagai pengganti BBM, kenyataannya tidak didukung
perangkat kebijakan yang jelas.
Bahan bakar alternatif, seperti biodiesel,
tidak didorong produksinya. Padahal, dengan memproduksi bahan bakar alternatif
itu secara massal akan mengganti penggunaan BBM meskipun pada tahap awal masih
dalam jumlah sedikit.
Terakhir, pemerintah semestinya tetap
konsisten menjalankan program penghematan energi. Aturan hemat energi harus
benar-benar diterapkan. Dalam urusan ini pun pemerintah tampak kurang
konsisten. Program penghematan energi yang digembar-gemborkan kini seolah-olah
tak terdengar lagi.
Sejumlah negara sudah menerapkan pola
penghematan BBM. Sayangnya lagi, di Indonesia, kendati telah lama didengungkan
penghematan BBM, realisasinya tak pernah tuntas. Ketika harga minyak turun,
upaya menghemat BBM pun berlalu.
Jika penghematan sudah sejak lama dilakukan
secara efektif di seluruh bidang, barangkali Pertamina tak bakal babak belur
setiap kali harga minyak naik. Begitu pula pemerintah, tak pusing tujuh
keliling memikirkan besarnya subsidi BBM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar