Kekerasan
dan Janji untuk Aceh
Darmansjah
Djumala, DIPLOMAT DAN DOKTOR ILMU PEMERINTAHAN, UNIVERSITAS PADJADJARAN, DENGAN
DISERTASI TENTANG KONFLIK ACEH
Sumber
: KOMPAS, 18 Januari 2012
Dalam sebulan terakhir Aceh kembali diganggu
serangkaian tindakan kekerasan. Tak kurang dari enam warga sipil tewas dan 10
lainnya luka-luka akibat penembakan oleh orang tak dikenal. Bahkan, terakhir
dikabarkan terjadi tindakan kekerasan terhadap rumah salah satu calon bupati di
Aceh Utara.
Kekerasan yang kembali muncul ini tak urung
memantik aneka praduga terkait motif di balik serangan bersenjata itu. Ada yang
mengatakan itu adalah tindakan mantan kombatan GAM berlatar kriminal murni. Ada
juga yang menduga ada keterkaitan dengan memanasnya hawa politik lokal
menjelang pilkada.
Yang lain malah mengaitkannya dengan sentimen
etnik, khususnya terhadap pendatang dari Jawa. Namun, dari sekian banyak
komentar, yang paling mengentak adalah pernyataan salah satu tokoh agama di
Aceh yang me- ngatakan, ”Orang Jawa itu bukan musuh. Musuh orang Aceh itu
adalah perjanjian yang belum terlaksana” (Kompas, 14/1).
Meski tak eksplisit dirujuk, mudah diduga
perjanjian yang dimaksud sang tokoh ialah MOU Helsinki, kesepakatan pemerintah
Indonesia dengan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 dan mengakhiri
konflik Aceh. Sejak pemberlakuan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA), memang sudah terdengar nada sumbang di kalangan elite Aceh bahwa isi
undang-undang itu tak sesuai dengan semangat MOU Helsinki.
Ada kesenjangan antara isi MOU dan penjabarannya
ke dalam UUPA. Kesenjangan ini akhirnya banyak diwacanakan sebagai tak
ditepatinya janji pusat kepada Aceh seperti dimaktubkan dalam MOU Helsinki.
Pertahanan Luar
Setidaknya kesenjangan itu terdapat dalam dua
hal. Pertama, terkait dengan masalah keamanan di Aceh pasca-MOU Helsinki. MOU
Helsinki menyepakati bahwa peran militer di Aceh pasca-konflik hanya untuk
pertahanan luar. Artinya, terkait dengan urusan pertahanan terhadap ancaman
dari luar. Namun, dalam UUPA, ungkapan pertahanan luar ini menjadi pertahanan
saja.
Hilangnya kata luar dari klausul ini dapat
diinterpretasikan bahwa militer juga bertanggung jawab atas keamanan di dalam
Aceh, hal yang pernah menimbulkan trauma yang sulit hilang dalam memori
kolektif rakyat Aceh akibat konflik berkepanjangan dahulu.
Kedua, terkait dengan relasi DPR RI dan
pemerintah pusat di satu pihak dengan DPR Aceh dan Gubernur Aceh di pihak lain.
MOU Helsinki menyepakati bahwa baik keputusan politik maupun kebijakan
administratif yang dibuat parlemen dan pemerintah di pusat harus atas
”konsultasi dan persetujuan” DPR Aceh dan Gubernur Aceh. Ketika ditetapkan
dalam UUPA, klausul ini berubah menjadi atas ”konsultasi dan pertimbangan”.
Bagi elite Aceh, pengaturan tentang
pertahanan luar dan pola relasi yang diatur berdasarkan konsultasi dan
persetujuan Aceh adalah manifestasi paling utama keistimewaan Aceh dibandingkan
dengan daerah lain, di samping partai lokal dan hak atas bagian 70 persen dari
pendapatan migas. Dengan perubahan kedua klausul itu, seperti tertuang dalam
UUPA, keistimewaan Aceh tereduksi secara berarti.
Dengan tergerusnya keistimewaan Aceh secara
formal karena diatur dalam undang-undang, elite Aceh merasa bahwa pusat tak
menepati janji seperti yang disepakati dalam MOU Helsinki. Inilah yang
menimbulkan suara-suara di kalangan elite Aceh, UUPA perlu direvisi. Tak
terpenuhinya janji pusat dalam implementasi MOU Helsinki ini juga yang dirujuk
tokoh agama sebagai biang kekerasan seperti dikutip di atas.
Apa pun motivasi yang mendorong pelaku
melakukan kekerasan, terasa ada paradoks di sana, antara yang terjadi sekarang
(kekerasan) dan bagaimana perdamaian di Aceh tercipta (melalui dialog dan
perundingan).
Jika benar penyebab kekerasan itu karena tak
ditepatinya janji pusat kepada Aceh, semestinya masalah itu dapat diselesaikan
dengan dialog dan perundingan sebab bukankah konflik menahun dulu, yang justru
lebih sulit, dapat diselesaikan dengan dialog dan perundingan?
MOU Helsinki ”baru” berumur lebih kurang enam
tahun, suatu periode yang singkat jika dibandingkan dengan luka yang diderita
akibat konflik 30 tahun. Terlalu berlebihan jika mengharapkan konflik dapat
sirna begitu saja ketika MOU Helsinki dicapai. Penyelesaian konflik tak berarti
hilangnya konflik karena sejatinya penyelesaian konflik hanyalah upaya jangka
panjang mentransformasikan konflik dari kekerasan ke proses politik secara
damai.
Yang justru dihadapi Aceh sekarang adalah
proses politik itu: tarik-menarik kepentingan antara pusat dan Aceh dalam
menerjemahkan UUPA ke dalam aturan perundangan turunannya. Selama proses
politik itu semestinya pusat dan elite Aceh ingat satu pelajaran berharga dari
penyelesaian konflik Aceh: konflik dapat diselesaikan dengan soft power,
melalui dialog dan perundingan. Perundingan dan dialog ini seharusnya
dikedepankan dalam menyelesaikan masalah yang tersisa pascakonflik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar