Jumat, 20 Januari 2012

Jangan sampai Hangus Terbakar

Jangan sampai Hangus Terbakar
Sulastomo, KETUA UMUM PB HMI 1963-1966
Sumber : KOMPAS, 20 Januari 2012


Buya Syafii Maarif awal tahun ini di Kompas menulis dengan judul ”Biar Negara Hangus Terbakar”. Buya prihatin, semboyan mengusir penjajah di awal kemerdekaan yang membangkitkan semangat merdeka atau mati yang berbunyi ”Biar negara hangus terbakar” telah berganti menjadi ”Biar negara jadi sapi perahan dan korupsi merajalela, asal aku tetap berkuasa”.

Lagi-lagi kekuasaan menjadi tujuan tertinggi. Inilah penguasa ”londo-ireng” (Belanda berkulit hitam), tulis Buya.

Buya sedih, tidak banyak yang berpikir untuk masa depan. Sebaliknya, orang hanya berpikir kekinian, hanya pragmatis, yang dikatakan sudah jadi agama. Buya sedih, masyarakat kita telah menjadi masyarakat konsumtif. Masyarakat telah menghasilkan barang-barang tunaguna dan pada tingkat yang sama melahirkan pula manusia tak berguna. Kita telah mengalami kelumpuhan nurani yang menjadi sumber utama segala ketidakberesan di Indonesia sekarang.

Alhamdulillah, di bagian lain, Buya menulis, sudah begitu burukkah masyarakat kita sekarang? Saya rasa belum. Namun, gejala ke arah itu memang semakin terang benderang. Jika tidak dibendung secara saksama oleh seluruh kekuatan akal sehat yang sesungguhnya masih hidup dalam jiwa bangsa ini, jalan ke arah itu akan semakin terbuka, demikian tulis Buya.

Apa yang ditulis Buya sangat menyentuh. Mengesankan, kita tidak hanya tidak amanah terhadap cita-cita kemerdekaan, tetapi juga sebagai ”khalifah” di Bumi sebagaimana ajaran agama. Sebab, cita-cita kemerdekaan yang dicanangkan para pendiri bangsa penuh dengan nilai-nilai moral yang tinggi. Mengapa kondisi bangsa sekarang seperti digambarkan Buya?

Perjalanan bangsa ini dapat dikatakan sangat berliku dan melalui jalan terjal yang dapat menggagalkan Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan.

Salah Jalan

Seusai perjuangan kemerdekaan, sejak tahun 1950-an Indonesia memiliki momentum yang baik untuk mengisi kemerdekaan. Namun, kita memilih jalan yang keliru. Kita memilih sistem parlementer, dengan demokrasi (liberal) yang membuka persaingan ideologi begitu tajam.

Pemilihan umum yang berlangsung tahun 1954/1955—yang kita nilai sebagai yang paling demokratis—gagal melahirkan stabilitas politik. Kabinet Ali/Roem/Idham (koalisi PNI/Masyumi/NU), meskipun didukung suara yang sangat besar di parlemen, hanya berusia 17 bulan.

Selain itu, timbul pergolakan daerah, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat dan Perjoangan Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara.

Dwitunggal Soekarno/Hatta tanggal ketika Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Konstituante pun gagal merumuskan Undang-Undang Dasar karena pertentangan ideologi Islam dengan Pancasila.

Akhirnya, Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959. Semua partai politik, termasuk partai politik Islam, menyetujui kebijakan Presiden.

Tahun 1960-1965, kita memasuki era baru. Bung Karno , sesuai UUD 1945, merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sistem politik disesuaikan dengan UUD 1945, di mana diakui keberadaan perwakilan golongan di DPR dan utusan daerah di MPR. ABRI dengan dwifungsinya dan pegawai negeri sipil/Korpri masuk ke politik melahirkan Fraksi Karya Pembangunan di DPR/MPR.

Di luar DPR/MPR, mereka bergabung dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Pertentangan ideologi ternyata tidak menyurut meskipun dalam bungkus Pancasila. Partai Komunis Indonesia (PKI) menempatkan Pancasila sebagai alat pemersatu yang kemudian diakomodasi dalam konsep Nasionalis/Agama/Komunis (Nasakom) yang diperkenalkan Bung Karno.

PKI ternyata semakin dominan dan hanya dapat diimbangi oleh TNI Angkatan Darat sebagai bagian dari Sekber Golongan Karya. Puncaknya adalah tragedi 30 September 1965, di mana pimpinan teras Angkatan Darat diculik, dibunuh, kemudian diiringi dengan bunuh-membunuh antarwarga yang melahirkan era ”Orde Baru”.

Orde Baru lahir dengan tekad untuk mengamalkan Pancasila/UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Melalui kursus Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pancasila disosialisasikan kepada seluruh warga negara. Kebijakan yang berorientasi program diperkenalkan sebagai pengganti kebijakan berorientasi politik.

Strategi pembangunan diperkenalkan sebagai Trilogi Pembangunan mencakup stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Selama 30 tahun Orde Baru, Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang tinggi. Namun, strategi Orde Baru itu dinilai tidak demokratis, bahkan otoriter. Jumlah partai dibatasi dan diharuskan berasas Pancasila. Orde Baru akhirnya jatuh.

Era Reformasi

Memasuki era refomasi pada tahun 1998, tatanan berbangsa dan bernegara diperbarui untuk mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis. UUD 1945 diamandemen, otonomi daerah didorong, pendirian partai baru dibuka lebar, dan pemilihan langsung diperkenalkan.

Sampailah kita pada kondisi yang digambarkan Buya Syafii Maarif. Hampir setiap hari kita menyaksikan kekerasan dengan berbagai alasan, korupsi menjadi berita sehari-hari, sengketa pilkada terus berjalan, dan bahkan ada istilah :mafia hukum” ataupun ”korupsi berjemaah”.

Semua itu mengesankan bangsa ini telah kehilangan nurani sebagaimana digambarkan Buya Syafii Maarif. Suara-suara keprihatinan dan koreksi mulai bergaung, bahkan dalam bentuk yang sangat pesimistis, biar negara hangus terbakar.

Tugas setiap generasi adalah meninggalkan kondisi yang lebih baik bagi generasi berikutnya. Kalau hal ini berlangsung, kehidupan bangsa ini ibarat rantai yang panjang. Idealnya, setiap generasi harus belajar dari generasi sebelumnya. Meneruskan yang baik dan memperbaiki yang belum baik atau yang buruk. Inilah makna seruan Bung Karno, ”Jas merah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah!”

Namun, sebagaimana digambarkan di atas, di setiap pergantian, kita selalu memulai dari ”nol”. Seolah-olah generasi pendahulu tidak pernah mewariskan kondisi yang baik dan generasi penerus selalu menganggap generasi sebelumnya buruk. Jalan kita menjadi berkelok dan terombang-ambing situasi.

Tugas setiap generasi adalah meluruskan kembali jalan yang berkelok itu. Jangan sampai negara hangus terbakar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar