Inpres
dan Jalan Buntu Pemberantasan Korupsi
Bambang Soesatyo, ANGGOTA
KOMISI III DPR RI DARI FRAKSI PARTAI GOLKAR
Sumber : SINDO, 24 Januari 2012
Kalau terus-menerus hanya
mengandalkan instruksi presiden (inpres) dan imbauan, pemberantasan korupsi
akan menemui jalan buntu. Inpres dan imbauan Presiden sudah kehilangan
efektivitasnya.
Keberanian dan kemauan politik
Presiden menjadi satu-satunya faktor penentu. Inpres hanya akan menjadi dokumen
tak bernilai jika tidak dilaksanakan. Pun akan menjadi bahan olok-olok manakala
implementasinya tidak diawasi. Apalagi jika tidak ada monitoring progres.
Masalahnya bisa menjadi semakin runyam kalau pemberi instruksi lepas tangan
sebab merasa sudah cukup melaksanakan kewajibannya hanya dengan menerbitkan
inpres dimaksud. Apakahinpresitudilaksanakan atau tidak, si pemberi instruksi
merasa bukan lagi urusannya. Kalau hal ini yang terjadi, bangsa ini layak
prihatin.
Begitu juga dengan imbauan. Bagaimana pun terlalu menyederhanakan persoalan jika seorang pemimpin hanya membuat imbauan untuk mengatasi sebuah persoalan akut lagi sistemik. Namanya juga imbauan.Buat pendengar, imbauan itu boleh dituruti, boleh juga tidak dipatuhi.Apakah para koruptor mau mendengar imbauan yang meminta mereka berhenti mencuri uang negara? Bagi oknum birokrat negara yang berperilaku korup, imbauan seperti tak perlu didengar. Bahkan hanya menjadi bahan tertawaan.
Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pemerintah 2012 baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak seluruh jajaran pemerintahan mencegah dan memberantas korupsi anggaran negara. Presiden juga minta BPK, KPK, serta BPKP bekerja sama menyelamatkan uang negara. Imbauan atau ajakan tadi tampaknya menjadi tindak lanjut dari Inpres No 17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012. Harap dicamkan bahwa inpres terbaru ini merupakan lanjutan Inpres No 9/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2011.
Wapres Boediono mendeskripsikan Inpres 17/2011 dengan kalimat berikut ini; “Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012 isinya substantif, bukan basa-basi.” Dalam dua inpres ini, pemerintah mengimplementasikan enam strategi sesuai rekomendasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Masalahnya kemudian, apakah dua inpres tadi bisa dan akan dilaksanakan dengan konsisten? Kalau semua institusi terkait diminta berkoordinasi, bagaimana mekanismenya? Siapa komandannya? Pertanyaan- pertanyaan ini relevan diajukan mengingat inpres itu tidak memberi peran kepada Kejaksaan Agung dan Polri.
Pelaksanaan Inpres No 17/2011 harus belajar dari pencapaian Inpres No 9/2011. Jangan-jangan, pelaksanaan Inpres No 9/2011 belum pernah dievaluasi. Boleh jadi, pencapaian Inpres No 9/2011 begitu memprihatinkan sehingga diperlukan Inpres No 17/2011. Di penghujung 2011, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengungkapkan, jumlah kasus korupsi yang ditangani Polri sepanjang 2011 meningkat cukup tinggi.Kalau per 2010 Polri hanya menangani 585 kasus, per 2011 jumlahnya melonjak mencapai 1.323 kasus.Kenaikannya terbilang sangat tinggi, 55,78%.
Kesimpulannya, kinerja pemberantasan korupsi sangat mengecewakan. Tidak mengherankan jika survei Lembaga Survei Indonesia (LSI ) menunjukkan anjloknya kepercayaan publik kepada pemerintah. Hingga Desember 2011, kepercayaan publik menurun menjadi 44% dari bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 52%.
Kebuntuan
Semua kalangan mencatat, selain menerbitkan Inpres Pemberantasan Korupsi, Presiden juga sering mengumandangkan imbauan. Indikator dari Kapolri tadi, plus hasil survei LSI, membuktikan bahwa Inpres Pemberantasan Korupsi dan imbauan presiden sudah tidak efektif lagi. Kalau rencana aksi pemberantasan korupsi masih ingin dilanjutkan, harus dicari pendekatan baru yang lebih efektif.
Inpres No 17/2011 boleh diterjemahkan sebagai keinginan Presiden meningkatkan aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi.Namun,aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi itu butuh kepemimpinan yang kuat, berani, dan independen. Tidak sebatas pidato atau wacana, tapi juga harus dengan aksi nyata, tanpa pandang bulu. Mengingat korupsi di negara ini sudah mengakar, kalau perlu pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukanmelaluioperasirahasia atau tertutup. Dengan pendekatan rahasia dan tertutup, tidak diperlukan lagi pidato atau wacana.
Rakyat tahu bahwa memberantas korupsi itu bukan pekerjaanyangsulit- sulitamat.Kalau ada keberanian dan kemauan politik, korupsi bisa diperangi sampai ke akar-akarnya. Maka, yang belum dipahami rakyat adalah mengapa pemerintah belum juga menunjukkan serta mengimplementasikan keberanian dan kemauan politik untuk memerangi korupsi. Selamainirakyathanya mendengar pidato yang mewacanakan pemberantasan korupsi.Wacana ini digemakan berulang-ulang.Tetapi, tak pernah ada aksi yang menunjukkan kesungguhan memerangi korupsi.
Beberapa elemen masyarakat sudah merasa bosan dengan wacana pemberantasan korupsi. Mereka sudah tidak peduli lagi karena berasumsi tak ada lagi yang bisa dipercaya di negara ini.Mereka mengacu pada keterlibatan sejumlah oknum penegak hukum dalam sejumlah kasus korupsi.Apalagi dalam periode terdahulu oknum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diduga tidak bersih. Jadi wacana pemberantasan korupsi yang sering dikumandangkan para elite itu hanya dilihat sebagai sandiwara. Apa yang terjadi sekarang ini tak lain kebuntuan pemberantasan korupsi.
Publik sering bertanya di mana ‘kubur’ skandal Bank Century? Mengapa pemerintah tidak tertarik menuntaskan kasus mafia pajak? Pertanyaan seperti ini lebih bermakna sebagai gugatan publik atas kebuntuan proses hukum kasuskasus korupsi berskala besar. Jadi, inpres saja tidak cukup. Inpres Pemberantasan Korupsi belum mampu memecah kebuntuan.Dia pun bukan jaminan setiap kasus korupsi akan ditangani sebagaimana seharusnya. Bagaimana mungkin birokrasi yang korup mau melaksanakan inpres itu.
Kalau hanya mengandalkan inpres dan imbauan, publik bisa berasumsi Presiden berpura- pura tidak tahu kekuatan industri korupsi yang sudah sekian lama dibangun para oknum birokrat. Niat mencegah dan memberantas korupsi di negara ini harus ditunjukkan dengan kemauan politik yang konsisten, dan didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan berani. Tentu saja jangan berselingkuh dengan para koruptor. Kalau terjadi perselingkuhan, yang tampak di permukaan adalah saling sandera antara oknum penguasa dan koruptor.
Selain kepentingan, saling sandera juga menjadi penyebab lain terjadi kebuntuan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika ingin Inpres Pemberantasan Korupsi dilaksanakan, Presiden harus proaktif mengamati progres. Dengan menerbitkan inpres, tugas Presiden belum selesai. Dia harus memastikan inpresnya dilaksanakan. Manakala pelaksanaan inpres mengalami kebuntuan, Presidenlah yang berinisiatif memecah kebuntuan itu agar publik tidak melihat Inpres Pemberantasan Korupsi itu sebagai sebuah kepura-puraan. ●
Begitu juga dengan imbauan. Bagaimana pun terlalu menyederhanakan persoalan jika seorang pemimpin hanya membuat imbauan untuk mengatasi sebuah persoalan akut lagi sistemik. Namanya juga imbauan.Buat pendengar, imbauan itu boleh dituruti, boleh juga tidak dipatuhi.Apakah para koruptor mau mendengar imbauan yang meminta mereka berhenti mencuri uang negara? Bagi oknum birokrat negara yang berperilaku korup, imbauan seperti tak perlu didengar. Bahkan hanya menjadi bahan tertawaan.
Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pemerintah 2012 baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak seluruh jajaran pemerintahan mencegah dan memberantas korupsi anggaran negara. Presiden juga minta BPK, KPK, serta BPKP bekerja sama menyelamatkan uang negara. Imbauan atau ajakan tadi tampaknya menjadi tindak lanjut dari Inpres No 17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012. Harap dicamkan bahwa inpres terbaru ini merupakan lanjutan Inpres No 9/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2011.
Wapres Boediono mendeskripsikan Inpres 17/2011 dengan kalimat berikut ini; “Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012 isinya substantif, bukan basa-basi.” Dalam dua inpres ini, pemerintah mengimplementasikan enam strategi sesuai rekomendasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Masalahnya kemudian, apakah dua inpres tadi bisa dan akan dilaksanakan dengan konsisten? Kalau semua institusi terkait diminta berkoordinasi, bagaimana mekanismenya? Siapa komandannya? Pertanyaan- pertanyaan ini relevan diajukan mengingat inpres itu tidak memberi peran kepada Kejaksaan Agung dan Polri.
Pelaksanaan Inpres No 17/2011 harus belajar dari pencapaian Inpres No 9/2011. Jangan-jangan, pelaksanaan Inpres No 9/2011 belum pernah dievaluasi. Boleh jadi, pencapaian Inpres No 9/2011 begitu memprihatinkan sehingga diperlukan Inpres No 17/2011. Di penghujung 2011, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengungkapkan, jumlah kasus korupsi yang ditangani Polri sepanjang 2011 meningkat cukup tinggi.Kalau per 2010 Polri hanya menangani 585 kasus, per 2011 jumlahnya melonjak mencapai 1.323 kasus.Kenaikannya terbilang sangat tinggi, 55,78%.
Kesimpulannya, kinerja pemberantasan korupsi sangat mengecewakan. Tidak mengherankan jika survei Lembaga Survei Indonesia (LSI ) menunjukkan anjloknya kepercayaan publik kepada pemerintah. Hingga Desember 2011, kepercayaan publik menurun menjadi 44% dari bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 52%.
Kebuntuan
Semua kalangan mencatat, selain menerbitkan Inpres Pemberantasan Korupsi, Presiden juga sering mengumandangkan imbauan. Indikator dari Kapolri tadi, plus hasil survei LSI, membuktikan bahwa Inpres Pemberantasan Korupsi dan imbauan presiden sudah tidak efektif lagi. Kalau rencana aksi pemberantasan korupsi masih ingin dilanjutkan, harus dicari pendekatan baru yang lebih efektif.
Inpres No 17/2011 boleh diterjemahkan sebagai keinginan Presiden meningkatkan aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi.Namun,aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi itu butuh kepemimpinan yang kuat, berani, dan independen. Tidak sebatas pidato atau wacana, tapi juga harus dengan aksi nyata, tanpa pandang bulu. Mengingat korupsi di negara ini sudah mengakar, kalau perlu pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukanmelaluioperasirahasia atau tertutup. Dengan pendekatan rahasia dan tertutup, tidak diperlukan lagi pidato atau wacana.
Rakyat tahu bahwa memberantas korupsi itu bukan pekerjaanyangsulit- sulitamat.Kalau ada keberanian dan kemauan politik, korupsi bisa diperangi sampai ke akar-akarnya. Maka, yang belum dipahami rakyat adalah mengapa pemerintah belum juga menunjukkan serta mengimplementasikan keberanian dan kemauan politik untuk memerangi korupsi. Selamainirakyathanya mendengar pidato yang mewacanakan pemberantasan korupsi.Wacana ini digemakan berulang-ulang.Tetapi, tak pernah ada aksi yang menunjukkan kesungguhan memerangi korupsi.
Beberapa elemen masyarakat sudah merasa bosan dengan wacana pemberantasan korupsi. Mereka sudah tidak peduli lagi karena berasumsi tak ada lagi yang bisa dipercaya di negara ini.Mereka mengacu pada keterlibatan sejumlah oknum penegak hukum dalam sejumlah kasus korupsi.Apalagi dalam periode terdahulu oknum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diduga tidak bersih. Jadi wacana pemberantasan korupsi yang sering dikumandangkan para elite itu hanya dilihat sebagai sandiwara. Apa yang terjadi sekarang ini tak lain kebuntuan pemberantasan korupsi.
Publik sering bertanya di mana ‘kubur’ skandal Bank Century? Mengapa pemerintah tidak tertarik menuntaskan kasus mafia pajak? Pertanyaan seperti ini lebih bermakna sebagai gugatan publik atas kebuntuan proses hukum kasuskasus korupsi berskala besar. Jadi, inpres saja tidak cukup. Inpres Pemberantasan Korupsi belum mampu memecah kebuntuan.Dia pun bukan jaminan setiap kasus korupsi akan ditangani sebagaimana seharusnya. Bagaimana mungkin birokrasi yang korup mau melaksanakan inpres itu.
Kalau hanya mengandalkan inpres dan imbauan, publik bisa berasumsi Presiden berpura- pura tidak tahu kekuatan industri korupsi yang sudah sekian lama dibangun para oknum birokrat. Niat mencegah dan memberantas korupsi di negara ini harus ditunjukkan dengan kemauan politik yang konsisten, dan didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan berani. Tentu saja jangan berselingkuh dengan para koruptor. Kalau terjadi perselingkuhan, yang tampak di permukaan adalah saling sandera antara oknum penguasa dan koruptor.
Selain kepentingan, saling sandera juga menjadi penyebab lain terjadi kebuntuan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika ingin Inpres Pemberantasan Korupsi dilaksanakan, Presiden harus proaktif mengamati progres. Dengan menerbitkan inpres, tugas Presiden belum selesai. Dia harus memastikan inpresnya dilaksanakan. Manakala pelaksanaan inpres mengalami kebuntuan, Presidenlah yang berinisiatif memecah kebuntuan itu agar publik tidak melihat Inpres Pemberantasan Korupsi itu sebagai sebuah kepura-puraan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar