Hangat
Imlek dalam Keluarga Campuran
Suwandono, PENULIS NOVEL LIAN NIO,
TRUE STORY DRAMA CINTA ANTARA AYAHNYA YANG
JAWA DAN SANG IBU YANG TIONGHOA
Sumber : JAWA POS, 23 Januari 2012
SAYA
sungguh beruntung bisa tiga kali merayakan tahun baru dalam setahun. Tahun baru
Masehi, Hijriah, dan Imlek. Terlahir sebagai produk campuran suku Jawa dan
Tionghoa, ternyata menempatkan saya di wilayah yang hangat dan menyenangkan.
Lima puluh tujuh hari lalu saya merayakan tahun baru Hijriyah. Tak lama
berselang, dua puluh dua hari lalu saya merayakan tahun baru Masehi, yang jejak
suka citanya pun masih membekas kuat. Hari ini, kebahagiaan serupa datang lagi.
Saya kembali mereguk suka cita dalam perayaan tahun baru Imlek.
Tiap kali merayakan Imlek, keluarga besar kami berkumpul dengan wajah berbinar.
Perbedaan warna kulit dan agama seolah luntur tersapu terang lampion. Kami bertukar ucapan selamat, berbagi doa, energi, dan semangat. Perayaan tahun baru tak hanya kami maknai sebagai warisan kearifan masa lalu yang harus dilestarikan tradisinya. Namun, sebagai momentum untuk membangun kebersamaan.
Salah seorang tokoh yang sering kami rasani ketika merayakan Imlek adalah Gus Dur. Kegigihan beliau menata fondasi bangunan kebersamaan sungguh luar biasa. Tidak hanya mengukuhkan Imlek sebagai hari libur nasional, identitas etnik dan ruang gerak suku Tionghoa juga kian terbuka. Meski lahir dari sistem penanggalan masyarakat Tionghoa, tak dapat disangkal bahwa Imlek berkembang menjadi sesuatu yang bersifat lebih universal. Alhasil, suka cita Imlek tak hanya monopoli komunitas Tionghoa. Elemen masyarakat lain juga turut larut dalam warna-warni perayaan yang digelar bersama.
Spirit yang diusung Gus Dur itu amat melekat dalam keluarga kami. Penegasan bahwa Imlek dipandang bukan sebagai ritual keagamaan tertentu menjadi pemahaman pokok. Imlek kami maknai sebagai tradisi pergantian tahun yang mewariskan nilai-nilai filosofis kehidupan untuk terciptanya kesejahteraan, kedamaian, dan harmoni antarmanusia. Karena itu, saya sebagai penganut Islam bisa enjoy merayakannya. Demikian pula anggota keluarga yang menganut Kristen, Katolik, serta Konghucu. Menangkap spirit kebahagiaan dan nilai universal spiritual Imlek dengan perenungan serta melepas syukur menjadi ritual bersama di tengah keceriaan anak-anak berebut ang pau.
Selain makna filosofis dan ekspresi budaya, kehadiran Imlek sering diikuti beragam pengharapan. Tiap orang bisa warna-warni pengharapannya. Namun, apa pun warnanya, semua bermuara pada harapan yang lebih baik. Lebih sehat, bahagia, kaya, makmur, dan sejenisnya. Saya belum pernah bertemu orang yang punya harapan buruk untuk dirinya. Jenis harapan yang paling lantang terdengar tatkala Imlek adalah keberuntungan.
Banyak yang menganggap keberuntungan semacam sesuatu yang jatuh dari langit, hingga bisa datang dan pergi tanpa bisa dikendalikan. Ada pula yang mengartikan keberuntungan sebagai nasib baik. Perjalanan panjang Imlek pun banyak dibumbui hal yang berbau keberuntungan.
Tahun naga air yang akan kita arungi ini, misalnya. Ada yang menganggap sebagai tahun keberuntungan bagi orang dengan shio (lambang tahun lahir) tertentu. Yang memercayai hitung-hitungan macam itu, bisa amat sibuk dalam menyikapinya. Yang merasa shio-nya beruntung akan bersenang hati. Sugesti diri positif pun tercipta. Sebaliknya, yang shio-nya dianggap kurang beruntung, akan melakukan berbagai upaya agar bisa kecipratan keberuntungan.
Saya tidak mau pusing dengan perhitungan yang sulit dicerna rasio itu. Saya pun tak bernafsu mendebat orang yang memercayainya. Saya lebih tertarik pada pemahaman bahwa keberuntungan bukanlah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Dengan kata lain, nasib baik itu bisa diciptakan. Lho, dengan mantra apa? Tidak ada hubungannya dengan mantra, jimat, shio atau hal lain yang berbau fengsui. Keberuntungan bisa diurai dengan logika sehat. Saya mengamini rumus: Nasib baik = Persiapan + kesempatan.
Dari pemahaman itu, berarti kita bisa mengundang keberuntungan. Kita bisa memahat nasib baik untuk diri kita. Caranya dengan melakukan persiapan sebaik mungkin sesuai dengan profesi dan keadaan masing-masing. Setelah persiapan cukup, tindak lanjuti dengan fokus menggali kesempatan. Bila persiapan matang itu bertemu momentum yang tepat, keberuntungan bisa kita genggam.
Apa pengaruhnya iman dan doa dalam konteks memperoleh keberuntungan? Semua agama pasti mengajarkan pentingnya iman dan doa. Kekuatan yang paling hebat dari doa adalah menanamkan keyakinan dalam diri. Keyakinan itulah yang secara logika bisa disebut meningkatkan keberuntungan. Ketika orang memiliki keyakinan pasti berhasil, cenderung bisa berhasil karena akan berjuang keras untuk itu. Kalaupun tersengat kegagalan, dia akan terus berusaha sampai akhirnya benar-benar berhasil. Sebaliknya, orang yang tidak punya keyakinan berhasil, daya juangnya amat mudah redup.
Selain sebagai ajang kontemplasi dan bersyukur kepada Sang Pemilik Hidup, momentum tahun baru Imlek ini bisa dijadikan sebagai starting point untuk melakukan persiapan sebaik mungkin sesuai bidang kita masing-masing. Dengan persiapan yang mumpuni, dikawinkan dengan kesempatan yang ada serta keyakinan yang disuburkan doa, harapan menggapai keberuntungan di tahun naga air ini bisa kita wujudkan.
Selamat merayakan Imlek dan selamat memahat nasib baik masing-masing. Gong Xi Fa Cai. ●
Tiap kali merayakan Imlek, keluarga besar kami berkumpul dengan wajah berbinar.
Perbedaan warna kulit dan agama seolah luntur tersapu terang lampion. Kami bertukar ucapan selamat, berbagi doa, energi, dan semangat. Perayaan tahun baru tak hanya kami maknai sebagai warisan kearifan masa lalu yang harus dilestarikan tradisinya. Namun, sebagai momentum untuk membangun kebersamaan.
Salah seorang tokoh yang sering kami rasani ketika merayakan Imlek adalah Gus Dur. Kegigihan beliau menata fondasi bangunan kebersamaan sungguh luar biasa. Tidak hanya mengukuhkan Imlek sebagai hari libur nasional, identitas etnik dan ruang gerak suku Tionghoa juga kian terbuka. Meski lahir dari sistem penanggalan masyarakat Tionghoa, tak dapat disangkal bahwa Imlek berkembang menjadi sesuatu yang bersifat lebih universal. Alhasil, suka cita Imlek tak hanya monopoli komunitas Tionghoa. Elemen masyarakat lain juga turut larut dalam warna-warni perayaan yang digelar bersama.
Spirit yang diusung Gus Dur itu amat melekat dalam keluarga kami. Penegasan bahwa Imlek dipandang bukan sebagai ritual keagamaan tertentu menjadi pemahaman pokok. Imlek kami maknai sebagai tradisi pergantian tahun yang mewariskan nilai-nilai filosofis kehidupan untuk terciptanya kesejahteraan, kedamaian, dan harmoni antarmanusia. Karena itu, saya sebagai penganut Islam bisa enjoy merayakannya. Demikian pula anggota keluarga yang menganut Kristen, Katolik, serta Konghucu. Menangkap spirit kebahagiaan dan nilai universal spiritual Imlek dengan perenungan serta melepas syukur menjadi ritual bersama di tengah keceriaan anak-anak berebut ang pau.
Selain makna filosofis dan ekspresi budaya, kehadiran Imlek sering diikuti beragam pengharapan. Tiap orang bisa warna-warni pengharapannya. Namun, apa pun warnanya, semua bermuara pada harapan yang lebih baik. Lebih sehat, bahagia, kaya, makmur, dan sejenisnya. Saya belum pernah bertemu orang yang punya harapan buruk untuk dirinya. Jenis harapan yang paling lantang terdengar tatkala Imlek adalah keberuntungan.
Banyak yang menganggap keberuntungan semacam sesuatu yang jatuh dari langit, hingga bisa datang dan pergi tanpa bisa dikendalikan. Ada pula yang mengartikan keberuntungan sebagai nasib baik. Perjalanan panjang Imlek pun banyak dibumbui hal yang berbau keberuntungan.
Tahun naga air yang akan kita arungi ini, misalnya. Ada yang menganggap sebagai tahun keberuntungan bagi orang dengan shio (lambang tahun lahir) tertentu. Yang memercayai hitung-hitungan macam itu, bisa amat sibuk dalam menyikapinya. Yang merasa shio-nya beruntung akan bersenang hati. Sugesti diri positif pun tercipta. Sebaliknya, yang shio-nya dianggap kurang beruntung, akan melakukan berbagai upaya agar bisa kecipratan keberuntungan.
Saya tidak mau pusing dengan perhitungan yang sulit dicerna rasio itu. Saya pun tak bernafsu mendebat orang yang memercayainya. Saya lebih tertarik pada pemahaman bahwa keberuntungan bukanlah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Dengan kata lain, nasib baik itu bisa diciptakan. Lho, dengan mantra apa? Tidak ada hubungannya dengan mantra, jimat, shio atau hal lain yang berbau fengsui. Keberuntungan bisa diurai dengan logika sehat. Saya mengamini rumus: Nasib baik = Persiapan + kesempatan.
Dari pemahaman itu, berarti kita bisa mengundang keberuntungan. Kita bisa memahat nasib baik untuk diri kita. Caranya dengan melakukan persiapan sebaik mungkin sesuai dengan profesi dan keadaan masing-masing. Setelah persiapan cukup, tindak lanjuti dengan fokus menggali kesempatan. Bila persiapan matang itu bertemu momentum yang tepat, keberuntungan bisa kita genggam.
Apa pengaruhnya iman dan doa dalam konteks memperoleh keberuntungan? Semua agama pasti mengajarkan pentingnya iman dan doa. Kekuatan yang paling hebat dari doa adalah menanamkan keyakinan dalam diri. Keyakinan itulah yang secara logika bisa disebut meningkatkan keberuntungan. Ketika orang memiliki keyakinan pasti berhasil, cenderung bisa berhasil karena akan berjuang keras untuk itu. Kalaupun tersengat kegagalan, dia akan terus berusaha sampai akhirnya benar-benar berhasil. Sebaliknya, orang yang tidak punya keyakinan berhasil, daya juangnya amat mudah redup.
Selain sebagai ajang kontemplasi dan bersyukur kepada Sang Pemilik Hidup, momentum tahun baru Imlek ini bisa dijadikan sebagai starting point untuk melakukan persiapan sebaik mungkin sesuai bidang kita masing-masing. Dengan persiapan yang mumpuni, dikawinkan dengan kesempatan yang ada serta keyakinan yang disuburkan doa, harapan menggapai keberuntungan di tahun naga air ini bisa kita wujudkan.
Selamat merayakan Imlek dan selamat memahat nasib baik masing-masing. Gong Xi Fa Cai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar