Era
Sandal Jepit
Bakdi Soemanto,
PEMERHATI
KEBUDAYAAN
Sumber
: KOMPAS, 14 Januari 2012
Peristiwa bocah yang dituduh mencuri sandal
jepit seorang polisi disidang—akhirnya bocah itu dinyatakan
bersalah karena terbukti melanggar beberapa pasal KUHP—berkembang
menjadi wacana yang hiruk-pikuk.
Hampir setiap orang tahu, keputusan hakim
dinilai tidak adil. Ini yang menarik. Pernyataan opini publik itu sebenarnya
bukan sekadar suatu produk mulut yang asal terbuka: dalam bahasa Jawa kasar
disebut asal jeplak.
Pandangan kurang menghargai opini di media
massa semacam itu sering terdengar di forum bergengsi, seperti yang
dimoderatori oleh Bang Oné dalam acara TV One. Kata-kata
yang mengungkap bahwa opini publik yang dilansir media massa tak
bisa dipercaya dan diucapkan oleh pengacara bisa dipahami sebab mereka membela
para koruptor dan dibayar sangat tinggi.
Pandangan opini publik di koran, televisi,
dan radio mereka pandang tak pantas dipertimbangkan. Hanya hasil persidangan formal
yang tepercaya. Dalam jagat akademik, data dan opini di koran tak bisa
digolongkan sebagai yang berotoritas tinggi.
Istilah ini terdengar sayup-sayup—kalau tak
salah—pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Istilah itu diucapkan oleh Andries
Teeuw, ahli filologi dari Belanda, yang mengecam media massa digunakan sebagai
sumber penulisan akademik. Andries Teeuw hanya paham tulisan, rentetan sejumlah
huruf, sebagai yang formal. Ia tak paham ada jutaan manusia di balik huruf itu,
juga kehidupan yang menggetarkan, bahkan kecemasan dan ketakutan yang membuat
seluruh tubuh menggigil dan justru itulah dorongan utama lahirnya karya-karya
sastra kuno ataupun kini.
Kalau saja Andries Teeuw pernah masuk ke
jagat akademik seni di Surakarta, dia akan mendengar istilah ”harga sandal
jepit” yang artinya harga murah makanan-makanan tertentu bagi mahasiswa.
Makanan seperti itu pasti tidak memiliki ”otoritas tertinggi” sehingga
kredibilitasnya tak bisa digunakan untuk menopang penelitian akademik jagat
kuliner.
Menurut hemat saya, diadilinya si bocah yang
mencuri sandal jepit dan dinyatakan bersalah karena terbukti melanggar
pasal-pasal tertentu dalam KUHP kiranya pantas menjadi penanda tahun. Sebutlah
tahun saat pencurian sandal itu sebagai ”Tahun Sandal Jepit”. Istilah ini memiliki
konotasi yang luas dan dalam. Ia mengingatkan peristiwa pencurian pisang oleh
seorang yang tak waras yang terjadi tak jauh dari peristiwa ”sandal jepit”. Tak
hanya itu. Juga peristiwa sepele lain yang banyak sekali.
Tiba-tiba peristiwa itu terasa mencuat,
sementara orang banyak mulai cuek dengan berbagai ketidakberesan yang kian hari
kian banyak. Pemunculan ”peristiwa teater sandal jepit” itu menandai hampir
seluruh peristiwa peradilan, mulai dari tingkat bawah sampai Mahkamah Agung.
Jelasnya, jika seorang koruptor kelas kakap
bisa dengan sangat mudah pada akhir peradilan dinyatakan bebas tak bersyarat,
nama baiknya direhabilisasi, sebenarnya orang awam di luar peradilan melihat
dengan jelas bahwa proses pengadilannya dilaksanakan tidak serius, tidak
profesional. Mengapa? Sebab, jauh sebelum tuntutan dibacakan, keputusan hakim
sudah dibuat: bebas tanpa syarat.
Membuat keputusan semacam itu sebenarnya
mudah sekali. Terbayang bahwa berkas-berkas tuntutan yang sudah di tangan hakim
tak sepenuhnya dibaca. Kalau toh dibaca, itu dilakukan sambil membayangkan cek
lawatan atau kunci mobil Jaguar yang akan segera ia terima. Barangkali kurang
beberapa jam sebelum sidang dimulai hakim baru melihat-lihat sedikit catatan
prosesnya, kemudian diendusnya lalu dengan lantang hakim ketua berteriak,
”Bebas!”
Tentu saja cara kerja seperti ini bisa
digolongkan kerja model ”sandal jepit”. Semangat ”sandal jepit” seperti ini
juga terbayang oleh rakyat banyak ketika para petugas yang ditunjuk
diinstruksikan menyelesaikan kasus Bank Century. Karena SBY sudah memerintahkan
agar kasus Bank Century dibuka hingga terang benderang, petugas yang ditunjuk
pun melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Hasilnya beres-beres saja!
Jika ketakpuasan rakyat terungkap di koran,
para petugas pun mengatakan ”komentar-komentar di koran tidak bisa digunakan
sebagai patokan” karena tidak punya ”otoritas tinggi”. Satu-satunya patokan
yang tepercaya adalah hasil formal yang dilakukan petugas. Jadi, dengan sangat
jelas proses penyelidikan Bank Century itu masuk dalam kategori penyelidikan
”sandal jepit”.
Proses hukum yang sebenarnya dilakukan
terhadap Nunun, Gayus, atau Nazaruddin senantiasa menjadi pertanyaan besar.
Terbayang, tindakan mereka menyangkut para petinggi negara. Apa yang dinyatakan
oleh SBY bahwa penyelidikan kasus-kasus korupsi tak boleh dipolitisasi memang
benar. Cocok. Secara formal pas! Seperti ketika SBY mantu, di undangan tertera
”tidak menerima sumbangan”. Itu formalnya. Yang tak formal?
Dari sini tampak bahwa yang formal ternyata
berkualitas ”sandal jepit” saja. Justru yang tak formal sangat bernilai tinggi
karena menyangkut harkat dan martabat manusia yang tak pernah terbaca oleh
mereka yang tenggelam ke dalam pandangan formal.
Sangat tepat apa yang dikatakan Hedi Sahrasad
dan Taufik Rahzen: penegakan hukum telah kehilangan moralitas (Kompas, 7/1).
Jika ada orang bertanya mengapa hal itu terjadi, jawabnya adalah bahwa kita
hidup dalam era ”sandal jepit”. Tidak ada yang ditangani dengan serius atau
sungguh-sungguh kecuali menyangkut masalah uang yang miliaran dan triliunan.
Dalam pidato ilmiah menyambut Dies Natalis
UGM pada 19 Desember 2011, Prof Dr Mochtar Mas’ud menegaskan bahwa negara masa
kini tertelikung pasar. Karena itu, negara tidak berdaya. Demikian pula
sekarang kita lihat, peradilan tidak berdaya karena juga tertelikung miliaran
dan triliunan rupiah. Anggota-anggota DPR pun demikian pula.
Sandal jepit yang dicuri oleh AAL itu
berteriak, ”Sandal Jepit!” Ia berjasa besar merumuskan Zeitgeist atau jiwa
zaman masa kini: Zaman Sandal Jepit. Tidak mungkinkah kita mengusulkan supaya
ia, sekurang-kurangnya, mendapat hadiah Ahmad Bakrie? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar