Dua
Model Kebebasan
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 30
Januari 2012
Dalam
pola keberagamaan yang dewasa semacam ini, seseorang didorong untuk
bertanggung-jawab secara moral atas segala tindakan yang ia lakukan. Jika yang
bersangkutan memutuskan untuk menaati ajaran agama yang ia percayai, maka
ketaatannya itu bukanlah disebabkan kerana adanya “polisi moral” yang
memaksanya untuk taat. Sebaliknya, ia taat karena ia tahu bahwa ketaatannya itu
membawa maslahat yang besar, baik bagi dirinya atau masyarakat secara lebih
luas. Ia taat karena dia sadar bahwa dengan itulah dia menjadi manusia yang
bermakna.
Dalam
pola keberagamaan yang dewasa itu, seseorang dajarkan bahwa pada akhirnya,
kesalehan atau ketidaksalehan adalah perkara yang menyangkut hubungan antara
dirinya dengan Tuhan. Tak ada orang lain yang berhak mencampuri urusan yang
sangat personal semacam ini.
Bayangkanlah dua situasi berikut ini.
Yang pertama, seorang anak umur belasan tahun
(teenager), katakan saja, umurnya 12 tahun. Dia hidup dalam rumah yang diatur
oleh berbagai aturan yang keras. Dia diasuh oleh orang tua yang galak yang
dengan ketat menerapkan segala bentuk aturan yang ketat. Dia hidup di bawah
model dragon parenthood.
Suatu hari, si orang tua absen karena sedang
ke luar kota. Si anak tinggal sendirian bersama pembantu di rumah. Sebelum si
orang tua pergi, dia telah berpesan agar si pembantu mengawasi si anak. Tentu
saja, di mata yang tarakhir ini, otoritas pembantu tak semenakutkan si orang
tua. Begitu orang tuanya pergi, anak itu mendadak sontak seperti binatang yang
lepas dari kurungan. Ia langsung memanfaatkan situasi bebas karena absennya
orang tua itu untuk melakukan apa saja.
Ia mulai meninggalkan bukunya dan menikmati
waktu berjam-jam untuk menonton TV dan bermain game di komputer. Si pembantu,
demi melihat anak yang sedang menikmati “euforia” kebebasan itu, hanyalah
geleng-geleng kepala saja. Dia hendak “ngrawehi” atau mencegah, tetapi si anak
tak peduli. Mumpung orang tua saya tak ada, begitu pikir si anak, saya mau
melakukan apa saja. Aku telah bebas!
Situasi kedua adalah seorang dewasa yang
sudah berumur 30 tahun. Dia sedang menempuh studi pasca-sarjana di sebuah
universitas negeri yang terkenal. Dia hidup jauh dari orang tuanya. Bahkan dia
harus membiayai kuliahnya sendiri karena keluarganya tak cukup berkemampuan
secara ekonomi. Dia hidup sebatang kara di perantauan. Tak ada orang yang
mengawasinya. Tak ada orang otoritas apapun yang mengharuskan dia untuk berbuat
begini dan begitu. Kalau mau, dia bisa bebas berbuat apa saja. Dia mau tidur
sehari-semalam, mau menonton TV selama 24 jam penuh, mau melewatkan waktu
setiap hari bersama seorang pacar – kalau dia mau melakukan hal itu semua, dia
mempunyai kebebasan penuh. Tak ada seorang pun yang akan menghardiknya.
Tetapi dia tahu, jika hal itu semua dia
lakukan, dia bisa gagal dalam sekolahnya, dan masa depannya akan gelap gulita.
Dia bisa menikmati kenikmatan maksimal saat ini karena kebebasan yang ia
punyai, tetapi dia akan menanggung resiko kegagalan di kemudian hari. Dia
memahami benar, setiap tindakan ada konsekwensinya. Setiap aksi akan
menimbulkan reaksi di belakang hari.
Karena menyadari situasi semacam itu, dia
memilih mengorbankan kenikmatan sesaat, menunda sejumlah privelese hidup pada
saat ini, bekerja keras untuk menyelesaikan studinya, demi mencapai kebahagiaan
di kemudian hari. Dia tahu, memuaskan diri dengan menikmati segala bentuk
kenikmatan pada usia muda adalah hal yang sungguh menggiurkan. Dia bisa
melakukannya, jika mau. Tapi dia memutuskan untuk tidak menikmati kemewahan
usia muda seperti itu. Dia memilih kerja keras, bersakit-sakit, karena dia
hendak meraih kepuasan yang lebih besar saat usia dewasa nanti.
Dalam dua situasi seperti yang saya gambarkan
di atas itu, kita berjumpa dengan keadaan yang kurang lebih serupa. Baik anak
yang barumur 12 tahun yang sedang ditinggal-pergi oleh orang tuanya itu,
atau si mahasiswa pasca-sarjana yang sedang hidup sendirian di rantau,
dua-duanya hidup dalam situasi kebebasan. Mereka bebas untuk melakukan segala
hal yang mereka mau.
Tetapi, kita tahu, secara kualitatif, ada
perbedaan mendasar antara dua situasi kebebasan itu. Yang pertama adalah
kebebasan seorang kanak-kanak yang bahagia karena terlepas dari segala bentuk
kekangan lalu bersorak karena akhirnya, tanpa pengawasan Si Orang Tua yang
galak, bisa bebas melakukan segala hal, tanpa mengetahui akibat dari
tindakannya itu.Yang kedua, adalah kebebasan yang mengandaikan bahwa si subyek
yang menikmatinya mengetahui apa konsekwensi segala pilihan bebas yang
terhampar di hadapannya.
Kita tentu tahu, kebebasan yang pertama
bukanlah kebebasan yang ideal. Kebebasan model pertama ini pada dasarnya
bukanlah kebebasan yang sesungguhnya. Dia hanyalah kebebasan semu, kebebasan
yang kekanak-kanakan, kebebasan infantilistik. Kebebasan yang sesungguhnya
adalah kebebasan jenis kedua; yakni, kebebasan yang mengandaikan rasa
tanggung-jawab yang besar. Kebebasan kedua hanya bisa dinikmati oleh orang yang
secara mental dan intelektual telah dewasa.
Dua situasi ini saya pakai hanyalah untuk
menyampaikan pokok pikiran yang sederhana – bahwa sudah selayaknya, dalam
masyarakat, dikembangkan pola keberagamaan yang mendekati situasi kedua di
atas. Yaitu, pola keberagamaan yang menekankan pentingnya kebebasan, namun
kebebasan yang juga sekaligus mengandaikan tanggung-jawab, persis seperti
situasi kedua yang dialami oleh si mahasiswa pasca-sarjana di atas.
Pola keberagamaan yang mendekati situasi
pertama, menurut saya, masih kuat mencirikan bagaimana agama diajarkan di dalam
masyarakat. Norma agama tentang apa yang boleh dan tak boleh juga sering
diajarkan kepada publik dengan cara yang mirip dengan “dragon parent” atau si
orang tua galak mengajarkan aturan-aturan yang ketat kepada anaknya yang baru
berumur 12 tahun seperti tergambar dalam situasi pertama di atas.
Dalam situasi seperti ini, kerap muncul salah
paham di masyarakat tentang makna kebebasan. Seringkali, jika ada pihak
tertentu menganjurkan ide kebebasan dalam komunitas agama atau masyarakat
tertentu, maka dia akan langsung dituduh hendak mengajarkan kebebasan tanpa
batas. Setiap kata kebebasan disebut, yang timbul di benak beberapa pihak ialah
kebebasan dalam pengertian sikap permisif atau “apa saja boleh” (anything
goes). Reaksi semacam ini muncul, saya kira, karena selama ini pola
keberagamaan yang dikembangkan ialah pola yang mirip-mirip dengan pengasuhan
anak ala dragon-parenthood. Di mata orang-orang yang diasuh dalam pola
keberagamaan semacam ini, menganjurkan kebebasan sama saja dengan menganjurkan
situasi “bebas-permisif” seperti dialami oleh si anak berumur12 tahun yang
ditinggalkan oleh orang tuanya.
Dengan kata lain, di mata sebagian kalangan
masyarakat, kebebasan hanyalah punya satu arti saja, yakni kebebasan
infantilisitik.
Para pemikir, intelektual, dan aktivis Muslim
yang berwawasan liberal-progresif, biasanya hendak mengembangkan pola
keberagamaan yang lain, yakni keberagamaan yang dilandasi oleh kebebasan jenis
kedua. Keberagamaan seperti ini mengandaikan bahwa masyarakat seharusnya
didorong terus untuk mencapai taraf kedewasaan, bukan dibiarkan berada dalam
situasi kanak-kanak, agar Si Orang Tua (elit agama?) bisa terus-terusan berada
pada posisi sebagai The Big Brother yang mengawasi kehidupan moral
anak-anaknya. Keberagamaan jenis kedua ini juga mengandaikan bahwa seseorang
harus diajarkan untuk terus menalar, bukan menerima “perintah agama”
sebagaimana adanya, tanpa memperhitungkan konteks yang sudah berubah.
Dengan kata lain, jenis keberagamaan yang
hendak dikembangkan oleh mereka adalah keberagamaan yang dewasa dan matang.
Dalam keberagamaan model ini, umat seharusnya diajak untuk sampai ke taraf
kedewasaan seperti itu, bukan dihambat proses pendewasaannya dengan cara
ditakut-takuti dengan ayat ini atau itu, hadis ini atau itu, pendapat ulama ini
atau itu, dst.
Dalam keberagamaan yang dewasa semacam ini,
seseorang tak diajarkan untuk takut dan resah karena ada orang lain yang
mempunyai keyakinan atau paham yang beda dengan dirinya. Sebaliknya, dia justru
dibiasakan untuk menghadapi situasi yang beragam. Jika ada orang lain yang
memiliki paham atau keyakinan yang berbeda dengan dirinya, dia justru
memandangnya sebagai kesempatan positif untuk belajar. Sebab, dengan menjumpai
orang-orang lain yang berbeda, dia merasa bahwa dirinya bisa diperkaya secara
mental dan intelektual. Dia tak harus sepakat dengan orang-orang lain itu,
tetapi dia bisa belajar sesuatu dari mereka.
Dalam pola keberagamaan yang dewasa semacam
ini, seseorang didorong untuk bertanggung-jawab secara moral atas segala
tindakan yang ia lakukan. Jika yang bersangkutan memutuskan untuk menaati
ajaran agama yang ia percayai, maka ketaatannya itu bukanlah disebabkan kerana
adanya “polisi moral” yang memaksanya untuk taat. Sebaliknya, ia taat karena ia
tahu bahwa ketaatannya itu membawa maslahat yang besar, baik bagi dirinya atau
masyarakat secara lebih luas. Ia taat karena dia sadar bahwa dengan itulah dia
menjadi manusia yang bermakna.
Dalam pola keberagamaan yang dewasa itu,
seseorang dajarkan bahwa pada akhirnya, kesalehan atau ketidaksalehan adalah
perkara yang menyangkut hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Tak ada orang
lain yang berhak mencampuri urusan yang sangat personal semacam ini.
Tentu saja, orang itu tahu bahwa di luar sana
ada hukum positif yang mengatur tata-kehidupan sosial agar tertib. Jika dia
mencuri, dia tahu dia akan dihukum. Jika seseorang membunuh, dia juga akan
diadili. Tetapi perkara bagaimana dia beribadah atau berpakaian, perkara jenis
paham atau akidah apa yang dia peluk – hukum positif itu tak punya wewenang
apapun untuk mencampurinya. Sebab itu adalah bagian dari kebebasan personal
yang seharusnya dihormati oleh hukum publik.
Model keberagamaan seperti inilah yang
dikehendaki oleh para intelektual Muslim liberal-progresif di mana-mana. Tujuan
akhirnya bukanlah membebaskan umat untuk menjadi kanak-kanak yang bebas berbuat
apa saja karena Si Orang Tua sedang tak rumah, tetapi menjadi manusia yang
dewasa dengan rasa tanggung-jawab yang mendalam.
Agama dihayati bukan lagi sebagai beban.
Agama juga bukan lagi dipandang sebagai sederetan hukum yang tak bisa dinalar,
dan harus ditaati tanpa sikap dewasa yang rasional. Agama ditaati karena
aturan-aturannya memang masuk akal. Jika aturan-aturan yang lama sudah tak lagi
sesuai dengan keadaan, dia tak ragu-ragu untuk memahami aturan itu dengan cara
yang baru yang lebih sesuai dengan denyut zaman. Hanya dengan mengembangkan
sikap keberagamaan semacam inilah, umat akan mengalami pendewasaan
terus-menerus. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar