Demokrasi
Islam?
Saidiman Ahmad,
AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL
(JIL)
Sumber
: JIL, 16 Januari 2012
“...perubahan
politik menuju demokrasi yang melanda dunia Islam saat ini mesti dibaca sebagai
fenomena baru yang tidak melulu bisa dijelaskan melalui pendekatan doktrin dan
sejarah. Interaksi dan perilaku masyarakat Muslim sendirilah yang menyebabkan
itu terjadi. Pola-pola interaksi sosial yang terus berubah ditambah dengan
aktor-aktor demokrasi yang terus bergerak melakukan mobilisasi sumber daya yang
menyebabkan semua ini terjadi.”
Para ilmuan politik mencoba sejumlah
pendekatan untuk menguak potensi demokrasi pada masyarakat Muslim. Salah satu
pendekatan yang banyak digunakan saat ini adalah behavioristik yang
dikembangkan oleh Gabriel A. Almond dan Sidney Verba.
Berdasarkan analisa
perilaku masyarakat Muslim disimpulkan bahwa sebenarnya masyarakat Muslim
memiliki karakter suatu masyarakat demokratis. Masyarakat Muslim memiliki modal
sosial yang memungkinkan tumbuhnya demokrasi. Saiful Mujani, misalnya,
menemukan pola-pola itu pada masyarakat Muslim Indonesia. Perilaku masyarakat
Muslim Indonesia tidak jauh berbeda dengan perilaku masyarakat Kristen Amerika
Serikat seperti yang diteliti oleh Alexis de Tocqueville. Demikan pula dengan
masyarakat Italia sebagaimana yang diamati oleh Robert D. Putnam. Pada intinya,
masyarakat Muslim memiliki modal sosial untuk menyongsong sistem politik
demokratis.
Pendekatan lain dilakukan oleh para ilmuan
dari sayap yang agak kiri. Mereka menggunakan pendekatan gerakan sosial baru.
Dalam pendekatan ini disimpulkan bahwa yang bermain dalam gerakan sosial baru
tidak lagi kekuatan kelas, melainkan salah satunya adalah budaya, dalam hal ini
agama. Agama bisa menjadi alasan untuk sebuah gerakan sosial. Pendekatan ini,
misalnya, dilakukan oleh Carrie Rosefsky Wickham, Yaroslav Trovimov, di
Indonesia seperti Noorhaidi Hasan dan Burhanuddin Muhtadi.
Mereka menemukan
bahwa Islam bisa digunakan sebagai sentimen moral untuk melakukan gerakan
sosial menuju demokrasi. Ini, misalnya, yang menjelaskan desakan perubahan
politik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islamis di Turki, Mesir, Arab
Saudi, bahkan dalam beberapa hal di Indonesia. Bagi mereka yang menggunakan
pendekatan ini, Islam adalah potensi yang sangat besar bagi gerakan perubahan
sosial-politik di dunia Islam. Bagaimana melawan kekuasaan Wahhabi di Arab
Saudi, tidak bisa tidak harus menggunakan bahasa Wahhabisme itu sendiri.
Demikian pula di Iran, Syi’isme bisa digunakan untuk mengubah stagnasi politik
Iran yang mayoritas Syi’ah itu.
Jauh sebelum berkembangnya dua pendekatan di
atas, telah muncul upaya para sarjana Muslim untuk mencari kompatibilitas
sejarah dan doktrin Islam dengan demokrasi. Terutama pada Nurcholish Madjid
gagasan mengenai demokrasi Islam muncul dan mendominasi pemikiran sarjana
Muslim Indonesia. Cak Nur berupaya meretas dikotomi Islam dan demokrasi. Bagi
Cak Nur, sejak mula, Islam sudah berwajah demokratis. Adalah sembrono
menyatakan Islam dan demokrasi tidak sejalan.
Khulafa’
Al-Rasyidun
Contoh yang selalu dikemukakan oleh para
pendukung kompatibilitas doktrin dan sejarah Islam awal dengan demokrasi adalah
suksesi kepemimpinan pada masa khulafa’al-rasyidun. Keempat khalifah yang mulia
itu dianggap mempraktikkan sistem politik demokratis. Namun bagi Cak Nur,
sistem demokrasi yang coba diperkenalkan Islam itu terlalu maju pada zamannya
sehingga ia dengan segera tenggelam oleh trend monarkhi.
Pandangan ini sepintas tampak benar. Tapi
coba kita perhatikan secara lebih jeli. Keempat khalifah yang diangkat setelah
wafatnya Nabi Muhammad itu terpilih melalui mekanisme yang tidak seragam. Abu
Bakar pada mulanya terpilih menjadi khalifah melalui rapat kecil dadakan di
balai pertemuan (saqifah) Bani Sâ’idah. Tidak seluruh umat Islam memberi bai’at
kepada Abu Bakar. Pada mulanya Abu Bakar ditetapkan sebagai khalifah hanya
melalui persetujuan lima orang, yakni Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah,
Basyir bin Saad, Asid bin Khudair, dan seorang mantan budak bernama Salim. Ali,
misalnya berbait enam bulan kemudian setelah isterinya sekaligus anak
Rasulullah, Fatimah, wafat. Sementara salah seorang sahabat terkemuka, Zubair bin
Awwam enggan memberi baiat sampai Umar bin Khattab menekannya.
Pemilihan Umar bin Khattab sebagai khalifah
tampak sangat jauh dari mekanisme demokratis. Ia ditunjuk langsung oleh Abu
Bakar sebelum meninggal dunia. Jangan lupa, bahwa inisiatif untuk memilih Abu
Bakar sebagai khalifah juga datang dari Umar.
Pemilihan Utsman bin Affan mungkin adalah
pemilihan yang paling rumit. Sebelum wafat, Umar membentuk panitia kecil
pemilihan khalifah berjumlah enam orang ditambah satu orang tanpa hak suara,
yakni putranya sendiri, Abdullah bin Umar. Ada tiga sahabat memilih Utsman.
Satu orang memilih Ali. Salah satu anggota panitia kecil, Thalhah bin
Ubaidillah, sedang di luar Madinah. Yang terakhir, Abd. Rahman bin Auf, menjadi
fasilitator. Ada dua nama yang mengerucut, yakni Ali dan Utsman. Abd Rahman bin
Auf memanggil Ali dan bertanya apakah ia sanggup menjalankan tugas dengan
berpedang teguh kepada Quran, Sunnah, dan kebijakan dua khalifah pendahulu. Ali
menjawab bahwa dia akan berusaha sesuai pengetahuan dan kemampuannya. Ketika
pertanyaan yang sama diajukan kepada Utsman, dia dengan tegas menjawab, “Ya,
saya sanggup.” Atas jawaban inilah Abd Rahman bin Auf membaiat Utsman sebagai
khalifah. Ali dan para pendukungnya tentu sangat tidak puas dengan cara
pemilihan seperti itu.
Utsman dibunuh oleh demonstran yang tidak
puas dengan kepemimpinannya. Para demonstran itu kemudian mendesak Ali bin Abi
Thalib menggantikan Utsman. Pengangkatan Ali bin Abi Thalib ditentang oleh
sejumlah kelompok. Kelompok terbesar yang menentangnya adalah dari Syiria yang
dipimpin oleh gubernur Mua’awiyah bin Abi Sufyan dari klan keluarga Utsman,
Umayyah. Salah satu alasan Mu’awiyah menolak Ali adalah karena melihat luasnya
wilayah kekuasaan Islam. Bagi Mu’awiyah, seorang khalifah Islam harus merepresentasikan
seluruh wilayah kekuaasan Islam yang luas, tidak lagi melulu dari Madinah.
Sejumlah sahabat di Madinah sebetulnya menyetujui kritikan Mu’awiyah itu.
Sebelum Mu’awiyah memberontak, pemberontakan pertama terhadap Ali justru datang
dari Aisyah yang dibantu oleh Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah.
Inisiatif
Mu’awiyah
Apakah sistem pemilihan khalifah yang empat
itu demokratis? Apakah ia melampaui zamannya sebagaimana yang dikemukakan Cak
Nur? Rasanya tidak. Menurut Philip K. Hitty, praktik pemilihan pemimpin pada
masa Khulafa’ al-Rasyidun sebenarnya hanyalah melanjutkan praktik politik
kesukuan. Begitulah cara para pemimpin suku dipilih. Bukan demokrasi.
Pada titik ini, kita melihat sebetulnya
Mu’awiyah jauh lebih maju di banding Khulafa’ al-Rasyidun pada masanya. Segera
setelah Mu’awiyah mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan anak Ali, ia
segera membentuk pemerintahan sekuler. Pada masa Khulafa al-Rasyidun, seorang
pemimpin politik dan agama masih menyatu di tangan satu orang. Salah satu
alasan pemilihan Abu Bakar, misalnya, adalah karena ia sering ditunjuk oleh
Nabi memimpin salat ketika beliau berhalangan. Demikian pula salah satu alasan
pemilihan Umar oleh Abu Bakar adalah karena Umar sering menggantikannya
memimpin salat. Enam orang sahabat yang ditunjuk Umar untuk memilih khalifah
baru adalah karena Nabi menyatakan keenam orang itu dijamin masuk surga.
Demikian pula yang dilakukan oleh Ali ketika ia mencari alumni-alumni Perang
Badar untuk membaiat dirinya. Antara pemimpin salat dan pemimpin politik
identik. Pada masa Mu’awiyah, otoritas dunia akhirat ini hilang.
Tidak sedikit sarjana yang menyatakan bahwa
keputusan Mu’awiah mengangkat anaknya sebagai penggantinya adalah kemunduran
sistem politik dalam sejarah Islam. Mu’awiyah memulai tradisi monarkhi.
Pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Jika yang dipraktikkan oleh Khulafa al-Rasyidun adalah tradisi kesukuan, maka praktik politik Mu’awiyah adalah tradisi politik yang ia tiru dari dua negara maju saat itu, Bizantium dan Persia. Dari segi ini, Mu’awiyah mengadopsi praktik politik termaju pada masanya dan meninggalkan tradisi kesukuan. Luasnya wilayah kekuasaan Islam juga menjadi faktor berkembangnya sistem politik pada Dinasti Umayyah. Sistem politik dinastik ini kemudian dilanjutkan oleh dinasti-dinasti berikutnya. Di beberapa wilayah sistem dinastik itu masih dipraktikkan sampai hari ini.
Pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Jika yang dipraktikkan oleh Khulafa al-Rasyidun adalah tradisi kesukuan, maka praktik politik Mu’awiyah adalah tradisi politik yang ia tiru dari dua negara maju saat itu, Bizantium dan Persia. Dari segi ini, Mu’awiyah mengadopsi praktik politik termaju pada masanya dan meninggalkan tradisi kesukuan. Luasnya wilayah kekuasaan Islam juga menjadi faktor berkembangnya sistem politik pada Dinasti Umayyah. Sistem politik dinastik ini kemudian dilanjutkan oleh dinasti-dinasti berikutnya. Di beberapa wilayah sistem dinastik itu masih dipraktikkan sampai hari ini.
Kalau demikian kisahnya, maka perubahan
politik menuju demokrasi yang melanda dunia Islam saat ini mesti dibaca sebagai
fenomena baru yang tidak melulu bisa dijelaskan melalui pendekatan doktrin dan
sejarah. Interaksi dan perilaku masyarakat Muslim sendirilah yang menyebabkan
itu terjadi. Pola-pola interaksi sosial yang terus berubah ditambah dengan
aktor-aktor demokrasi yang terus bergerak melakukan mobilisasi sumber daya yang
menyebabkan semua ini terjadi. Doktrin dan cerita sejarah barangkali hanya bisa
dihayati. Sementara masa depan adalah hasil negosiasi dan interaksi kehidupan
kini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar