Darurat
Perdamaian Aceh
Teuku Kemal Pasya,
DOSEN
ANTROPOLOGI FISIP UNIVERSITAS MALIKUSSALEH, LHOKSEUMAWE, ACEH
Sumber
: KOMPAS, 12 Januari 2012
"Mempertahankan perdamaian Aceh jauh
lebih penting daripada memaksakan pelaksanaan pilkada."
Demikian salah satu
kesimpulan yang muncul ketika saya memfasilitasi pelatihan pendidikan pemilih
terhadap Komisi Independen Pemilihan kabupaten/kota se-Aceh, 7-8 Januari lalu.
Harapan itu muncul ketika pualam perdamaian
tiba-tiba tergores tragedi kekerasan yang kembali marak seperti era konflik
lalu.
Teror
Baru
Situasi keamanan Aceh semenjak akhir 2011
semakin labil. Aneka kasus pembunuhan misterius yang berlangsung dari 31
Desember 2011 hingga 5 Januari 2012 menyebabkan enam orang tewas dan 13
luka-luka. Kasus pembunuhan seperti terpola: mencari target pekerja luar dan
etnis minoritas di Aceh dilakukan di bawah pukul sembilan malam dan tidak
bermotif perampokan atau dendam.
Tanggal 8 Januari lalu muncul aksi pemotongan
menara listrik tegangan tinggi di Aceh Utara sehingga Aceh pesisir timur gelap
gulita. Pada 10 Januari muncul kasus penembakan di rumah salah seorang calon
bupati Aceh Utara dari jalur perseorangan.
Calon bupati ini sebelumnya adalah Wakil
Ketua DPR Kabupaten Aceh Utara dari Fraksi Partai Aceh. Pencalonannya,
pasca-keputusan MK, 3-10 November 2011, melahirkan reaksi negatif dari kalangan
Partai Aceh. Ia dianggap ”pengkhianat” karena saat itu Partai Aceh masih
berkomitmen untuk tidak mendaftarkan diri dalam pemilihan umum kepala daerah
(pilkada).
Di sisi lain, Gubernur Aceh dan Kepala Polda
Aceh menganggap kondisi keamanan Aceh masih kondusif untuk melaksanakan pilkada
pada 16 Februari 2012. Menurut Gubernur, kasus ini merupakan kecemburuan sosial
dan Kapolda menyimpulkannya sebagai kriminal murni.
Dua kesimpulan ini menyederhanakan masalah
agar tak berefek pada penundaan kembali Pilkada Aceh yang telah terjadi empat
kali. Jika kesimpulan itu benar, ada problem sosial akut terkait penguasaan
ekonomi antara penduduk tempatan dan masyarakat pendatang.
Padahal, kasus ini sama sekali jauh dari
kesimpulan sosio-antropologis itu. Kasus ini adalah teror oleh orang tak
dikenal dan tidak merepresentasikan ideologi kelompok mana pun di Aceh saat
ini. Kasus ini terkesan politis karena terjadi bersamaan dengan situasi kisruh
pilkada, tetapi belum dapat disimpulkan apakah pesannya agar pilkada ditunda
atau tetap jalan.
Kasus ini juga tidak merepresentasikan
pertikaian elite politik di Aceh saat ini. Memang pasca-keputusan Mahkamah
Konstitusi No 35/PUU/2010 yang membatalkan Pasal 256 UU No 11/2006
(Pemerintahan Aceh) tentang pembatasan kesempatan calon independen maju dalam
pilkada, Partai Aceh termasuk paling keras menolak. Efek lanjut penolakan itu
adalah Partai Aceh tidak ikut mendaftarkan calonnya pada kesempatan pertama
(1-7 Oktober) dan pasca-keluarnya keputusan sela Mahkamah Konstitusi (3-10
November).
Namun, dinamika politik di Aceh terus
bergulir. Pada akhir 2011, Partai Aceh melunak. Mereka akhirnya menerima
keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon independen dan bersedia mengikuti
pilkada, tetapi tentu dengan syarat pelaksanaan pilkada ditunda dan gubernur
saat ini diganti dengan pejabat sementara. Sikap itu tertuang dalam nota
kesepakatan yang ditandatangani Dirjen Otonomi Daerah dan Ketua Partai Aceh
Muzakkir Manaf pada 12 Desember 2011.
Ternyata dialektika positif di tingkat lokal
ini tidak direspons di tingkat nasional. Hasil rapat KPU dan Bawaslu pada 9
Januari lalu tetap tidak memberi peluang untuk membuka kembali pendaftaran
Pilkada Aceh. Otomatis Partai Aceh sebagai representasi politik terbesar di
Aceh (menguasai 33 dari 69 kursi di DPR Aceh dan 216 kursi di seluruh
kabupaten/kota Aceh) tersungkur harapannya untuk berpartisipasi dalam momen
sistem elektoral lokal ini.
Ketegasan
Pusat
Alasan tak dibukanya kembali pendaftaran bagi
Partai Aceh adalah tidak adanya landasan hukum dalam peraturan
perundang-undangan (UU No 32/2004 jo PP No 17/2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah). Padahal,
normativitas hukum harus bertekuk di depan konteks sosial politik luar biasa
yang memerlukan penanganan ”di luar hukum”.
Konteks Aceh yang baru keluar dari impitan
konflik seharusnya dilihat secara realistis. Walaupun Aceh agak lambat dalam
mengakhiri transisi menuju demokrasi, inilah dinamika politik lokal yang harus
diterima. Tidak semua hal sesuai teks resolusi konflik. Meskipun demikian,
teror dan kekerasan seperti saat ini bisa memermanenkan konflik kalau konflik
menjadi ritus dan ideal-ideal demokrasi, HAM, dan etik hukum dalam perdamaian
menjadi telantar.
Jalan kompromistis yang paling baik adalah
membuka kembali pendaftaran pilkada bagi Partai Aceh. Jika KPU telah buntu,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai representasi pemerintah bisa
berinisiatif melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau paling
tidak peraturan presiden dalam menyelesaikan krisis pilkada ini.
Di sisi lain, kepolisian harus bekerja
sungguh-sungguh membongkar konspirasi kotor teroris yang telah menimbulkan
citra sentimen etnis di Aceh. Jika sigap melumat teroris berbasis agama, polisi
seharusnya tak sulit membongkar teroris yang mendompleng Pilkada Aceh ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar