Budaya
dan Seni, ISI dan ISBI
Agus Dermawan T.,
KRITIKUS;
PENULIS BUKU-BUKU SENI
Sumber
: KOMPAS, 14 Januari 2012
Upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mengonversi Institut Seni Indonesia menjadi Institut Seni Budaya Indonesia
menuai kontroversi. Ihwal ”budaya” diusung tinggi dalam nomenklatur (penamaan)
perguruan dan disejajarkan dengan ihwal ”seni”.
Konversi ini seperti menarget agar yang
muncul dari ISBI nantinya bukan hanya ahli (pencipta) seni saja, melainkan juga
ahli (pencipta) kebudayaan.
Padahal, kebudayaan tak lain adalah wujud
cantik peradaban yang tumbuh sebagai hasil kebersamaan dalam sebuah komunitas
besar. Dengan begitu, kebudayaan, sebagaimana kehidupan, sesungguhnya tidak
perlu pencipta ahli dari perguruan.
Kebudayaan Itu Akal
Kebudayaan, atau sistem budaya, berasal dari
kata buddhayah (Sanskerta) sebagai bentuk jamak dari buddhi, atau budi, atau
akal. Maka, kebudayaan bisa diartikan sebagai ”segala sesuatu yang berkaitan
dengan akal”.
Bertaut dengan akal yang tiada berbatas,
kebudayaan menawarkan pengertian sangat luas. Maka, AL Kroeber dan C Kluckhohn
dalam buku Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952)
menemukan 164 definisi tentang kebudayaan.
Keramaian definisi itu membuahkan wujud-wujud
kebudayaan seperti yang dikristalkan Koentjaraningrat. Wujud pertama adalah
kompleksitas gagasan, nilai, norma, peraturan, dan semacamnya. Wujud kedua
adalah kompleksitas aktivitas serta tindakan berpola dari manusia kala
menjalani hidup dalam masyarakat. Wujud ketiga hadir sebagai benda-benda karya
manusia, seperti beragam peralatan hidup hingga segala ciptaan yang bernilai
seni, atau kesenian.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan
adalah kompleksitas kemampuan dan kebiasaan yang dibentuk masyarakat. Ini
mencakup kepercayaan, pengetahuan, moral, etika, adat-istiadat, hukum, dan
kesenian.
Mata Ajaran
Dengan pemahaman demikian, kebudayaan
sebenarnya hanya perlu diajarkan sebagai salah satu pengetahuan dalam institusi
pendidikan seni. Sebagai langit penaung segala penciptaan seni. Kebudayaan
tidak perlu diangkat menjadi sosok otonom dalam nomenklatur lembaga. Oleh
karena itu, saya sepakat dengan pendapat Agus Priyatno dalam artikel ”Sekolah
Seni Idealnya Bagaimana?” (Kompas, 7/1).
Perguruan tinggi seni sebaiknya
berkonsentrasi kepada pendidikan seni saja. Apalagi, kita tahu, karya seni yang
baik harus dilahirkan dari keahlian optimal. Ini sejalan dengan asal mula seni
dari kata Latin, ars, yang artinya ahli atau mumpuni dalam pemikiran estetik
dan mempresentasikan ide estetik. Tanpa pendidikan yang terkonsentrasi dan
intensif, keahlian itu tak akan pernah terwujud.
Kita masih percaya bahwa seni atau kesenian
adalah sosok paling aksentuatif dalam perikehidupan sebuah bangsa, terutama
bagi bangsa Indonesia yang dari ke hari semakin memerlukan pencerahan. Dengan
begitu, pendidikan seni sangat diperlukan mengingat sedikitnya manusia yang
ditakdirkan jadi penggagas seni.
Sangat sedikit manusia yang berhasil tampil
sebagai seniman, figur yang mampu menciptakan rasa senang (dalam arti luas) di
tengah kehidupan.
Yang tak kalah penting, kesenian juga harus
diperkenalkan kepada masyarakat luas untuk diapresiasi, termasuk kepada para
pemimpin dan segenap orang (yang merasa) ”tinggi” di masyarakat. Kesenian agar
ditempatkan pada posisi terhormat sehingga tidak dilecehkan.
Kelas Bawah
Dalam benak sebagian masyarakat, kelas seni
memang masih di bawah. Dalam acara Indonesia Lawyers Club di televisi, pembawa
acara Karni Ilyas bertanya kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru,
Abraham Samad, ”Mengapa Anda tidak bicara banyak mengenai kasus yang ditangani
KPK?”
Abraham menjawab, ”Ketua KPK, kan, bukan
pemain sinetron yang ke sana kemari boleh ngomong apa saja.”
Dalam acara yang sama pada waktu yang
berbeda, pengacara Hotman Paris Hutapea mencerca pentolan Partai Demokrat,
Ruhut Sitompul. Menurut Hotman, semua omongan Ruhut bak pemain sinetron, tidak
ada yang benar. Hotman pun menyebut Ruhut, ”pelawak!”
Para tokoh itu tahu, pemain sinetron dan
pelawak adalah seniman, pekerja kesenian. Masyarakat non-kesenian Indonesia
juga menganggap kasta kesenian rendah dalam pranata sosial.
Ketika pemain sinetron Rieke Diah Pitaloka
dan penyanyi-presenter Tantowi Yahya terpilih jadi anggota DPR, sejumlah
pengamat politik mengatakan mereka naik kelas. Begitu juga ketika Rano Karno
jadi Wakil Gubernur Banten dan Dedi ”Miing” Gumelar jadi anggota DPR.
Ujung kalam, rasanya Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan tidak perlu mengibarkan bendera kebudayaan, apalagi dengan tiang
yang keliru. Yang perlu diangkat justru derajat kesenian. Kesimpulannya,
tetaplah ISI, tidak perlu ISBI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar