Antropomorfisme
dan Teks Suci
Ulil Abshar-Abdalla,
AKTIVIS
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 16 Januari 2012
...
manusia yang melakukan kegiatan penafsiran banyak jumlahnya, dan karena itu
penafsiran akan selalu banyak dan beragam. Teks suci dalam agama tertentu
memang satu. Tetapi penafsiran atas teks itu tidaklah mufrad/tunggal, melainkan
jamak/banyak. Keragaman tafsir adalah “nasib” yang tak terhindarkan dalam
komunitas agama manapun.
Judul esei saya kali ini tempak “serem” dan
serius, tetapi apa yang mau saya sampaikan sebetulnya sangat sederhana—bahwa
dalam kehidupan keagamaan, kita kerap melihat teks yang dianggap suci oleh
penganut agama itu. Fenomena “teks suci” ini biasanya kita jumpai pada
masyarakat yang sudah mengenal sistem penulisan.
Pada masyarakat yang pra-tulisan atau
“illiterate” (pre-literate?), kita melihat juga fenomena lain yang mirip dengan
“teks suci”, yakni “ingatan suci”. Yang saya maksudkan dengan istilah terakhir
ini adalah ingatan masyarakat tentang ajaran-ajaran yang mereka warisi dari
pendiri agama tertentu yang mereka anut. Karena mereka belum mengenal sistem
tulisan, mereka tak mencatat ajaran itu dalam sebuah teks, tetapi dalam
“ingatan”.
Karena ingatan itu berhubungan dengan ajaran
suci, bukan tentang hal-hal biasa yang sifatnya duniawi, maka kita sebut saja
sebagai “ingatan suci”.
Fungsi ingatan suci dalam masyarakat
pra-tulisan, sama dengan teks suci dalam masyarakat yang sudah mengenal
tulisan. Keduanya berfungsi sebagai rujukan bagi masyarakat bersangkutan.
Masyarakat tak bisa tegak tanpa suatu norma atau aturan tertentu. Fondasi
aturan itu, dalam masyarakat agama, ialah teks suci yang berisi ajaran-ajaran
yang mereka percayai sebagai berasal dari Tuhan.
Saat menghadapi situasi tertentu, dan
masyarakat bersangkutan mengalami kebingungan perihal sikap yang tepat
berkenaan dengan situasi itu, biasanya mereka akan merujuk kepada teks suci
tersebut; atau, dalam konteks masyarakat yang pra-tulisan, mereka akan merujuk
kepada “ingatan suci”.
Kita juga bisa menyebut teks suci itu teks
fondasional, yakni teks yang menjadi dasar kehidupan normatif masyarakat
bersangkutan. Dengan satu dan lain cara, setiap masyarakat membutuhkan teks
fondasional. Ini berlaku baik untuk masyarakat agama atau masyarakat sekular.
Sebagaimana sebuah rumah membutuhkan fondasi,
begitu juga sebuah masyarakat. Dengan fondasi itu, masyarakat akan bisa tegak
dengan kokoh. Umat Islam, misalnya, bisa tegak, antara lain, karena mempunyai
landasan tekstual yang kokoh pula. Landasan itu tiada lain adalah Quran. Inilah
teks fondasional bagi semua umat Islam di manapun.
Tentu saja, Quran tidak berdiri sendiri. Di
samping Quran ada sejumlah sekunder yang mendukung teks fonsadional. Misalnya,
dalam konteks Islam, ada hadis, ada pendapat para sahabat dan pengikut sahabat
(tabi’in), konsensus para sarjana (ijma’), penaralan rasional, dsb.
Hal serupa akan kita jumpai dalam agama
manapun. Setiap masyarakat agama akan selalu bertopang pada teks suci, pada
teks fondasional yang menjadi landasan normatif mereka.
Karena itu, benar belaka, jika ada gerakan
dalam sejarah Islam yang menguarkan semboyan Kembali kepada Quran dan Sunnah. Sudah
seharusnya semua golongan dalam Islam, tanpa terkecuali, kembali kepada dua
teks itu. Sebab, keduanya memang merupakan teks dasar yang menjadi rujukan
normatif bagi seluruh umat Islam.
Dalam kasus agama Kristen, hal yang kurang
lebih serupa juga kita jumpai: semua golongan dalam agama itu akan menjadikan
Perjanjian Baru (juga Perjanjian Lama) sebagai dasar normatif yang membentuk
kehidupan mereka. Setiap ada perselisihan dalam Kristen, semua pihak di sana
akan cenderung kembali kepada teks suci mereka dan mencari “dasar pembenaran”
(dalam pengertian justifikasi yang positif) bagi posisi tertentu yang mereka
anggap benar.
Hanya saja, dan ini yang lebih penting
menjadi perhatian semua pihak dalam komunitas agama, teks suci tidak bisa
bekerja sendirian. Teks suci harus disertai oleh hal lain, yaitu penafsiran
atau interpretasi. Tentu saja, agen yang bisa melakukan kegiatan penafsiran
hanyalah manusia, bukan malaikat atau binatang. Tak ada teks suci yang berdiri
sendiri, terisolasi, tanpa adanya seorang penafsir yang melakukan kegiatan
penafsiran.
Teks dan penafsiran adalah seperti saudara
kembar. Yang satu bisa ada dengan mengandaikan yang lain. Sebab teks adalah
barang mati; manusialah yang “menghidupkan”-nya agar menjadi sesuatu yang
bermakna. Kutipan dari Sayyidina Ali ibn Talib sangat tepat kita hidangkan di
sini: al-Quran khatt bain al-daffatain, la yanthiq, wa innama yanthiqu bihi
al-rijal – Quran adalah tulisan di antara dua lembaran, tak kuasa untuk
berbicara; hanya manusialah yang membuatnya berbicara. Dengan kata lain, hanya
manusialah yang bisa membuat suatu teks punya arti melalui kegiatan penjelasan,
pemahaman, dan penafsiran.
Oleh karena yang bisa melakukan penafsiran
hanyalah manusia, bukan yang lain, sebuah pemahaman dan penafsiran selalu bersifat
manusiawi, dan kepadanya melekat sifat-sifat manusiawi pula, misalnya sifat
kenisbian. Setiap penafsiran dipengaruhi oleh kondisi dan keterbatasan yang
melekat pada manusia. Setiap penafsiran, dengan demikian, berwatak
antropomorfis, bukan teomorfis. Itulah makna dari kata “antropomorfisme” dalam
judul di atas.
Tentu saja, manusia yang melakukan kegiatan
penafsiran banyak jumlahnya, dan karena itu penafsiran akan selalu banyak dan
beragam. Teks suci dalam agama tertentu memang satu. Tetapi penafsiran atas
teks itu tidaklah mufrad/tunggal, melainkan jamak/banyak. Keragaman tafsir
adalah “nasib” yang tak terhindarkan dalam komunitas agama manapun.
Ketunggalan teks suci tidak menjamin
ketunggalan pemahaman dan penafsiran atasnya. Meski masyarakat agama tertentu
merujuk kepada teks suci yang sama (misalnya, Quran), hal itu tidaklah menjamin
mereka akan memiliki pendapat dan tafsiran yang seragam. Perbedaan akan selalu
muncul, sebab memang ketunggalan tafsir dan pemahaman nyaris mustahil bisa
dicapai.
Hal lain yang patut dicermatkan, jika suatu
teks bisa dianggap suci, karena berasal dari Tuhan, misalnya, tentu penafsiran
atas teks itu tidaklah suci, sebab penafsiran berasal dari manusia yang serba
dibatasi oleh berbagai macam bentuk “contingencies”, hal-hal sementara yang
membatasi keberadaannya sebagai individu atau anggota dalam masyarakat.
Di sinilah letak relevansi pembedaan yang,
dulu, pernah dibuat oleh almarhum Prof. Nasr Hamid Abu Zayd antara agama dan
wacana agama, antara al-din dan al-khithab al-dini. Agama memang suci dan
bersifat mutlak, sekurang-kurangnya menurut masyarakat yang mempercayainya.
Tetapi, wacana tentang agama, termasuk di dalamnya adalah penafsiran, tidaklah
mutlak dan suci. Ia relatif, nisbi.
Dengan kata lain, walau ada teks suci, tetapi
tidaklah ada penafsiran yang suci. Penafsiran selalu berwatak antropomorfis,
historis, dan lekat-menempel pada ruang dan waktu tertentu. Karena wataknya
yang “contingent” atau tergantung pada syarat dan kondisi sosial tertentu
itulah, penafsiran juga bersifat plural dan jamak.
Berikut ini adalah contoh tentang watak
antropmorfisme penafsiran. Saya akan mengambil contoh soal isu ucapan Selamat
Natal yang akhir-akhir ini diributkan banyak kalangan. Sengaja saya ambil
contoh ini karena peristiwa perayaan Natal masih belum terlalu jauh berlalu
dari kita (teks ini ditulis pada 11 Januari 2012, persis pada hari ulang tahun
saya).
Banyak kalangan yang berpendapat, umat Islam
diharamkan mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristen. Biasa disebut dengan tahni’ah
dalam bahasa Arab. Alasannya? Karena ucapan seperti itu secara tak langsung
menujukkan bahwa si pengucap menyetujui doktrin atau kepercayaan Kristen.
Menyetujui kekufuran (maksudnya: kepercayaan yang bertentangan dengan prinsip
monoteisme Islam), demikian logika yang kerap dipakai oleh banyak ulama, sama
dengan kekufuran itu sendiri – al-ridha bi al-kufri kufrun.
Salah satu ulama klasik yang berpendapat
demikian ialah Ibn Taymiyyah (1263-1328 AD) dan diikuti oleh muridnya, Ibn
Qayyim al-Jauziyyah (1292-1350 AD). Mereka, antara lain, memakai ayat 39:27
sebagai dasar keharaman itu. Bagian dalam ayat itu yang menjadi landasan
argumentasi mereka berbunyi: wa la yardha li ‘ibadihi al-kufr – Dan Tuhan tak
menyukai kekufuran untuk para hambaNya. (Baca pendapat Ibn al-Qayyim ini dalam
Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn ‘Uthaimin [1413 H/1992 AD], jilid ke-3, hal.
44-46).
Catatan: Kalau kita cermat, sebetulnya ayat
tersebut sama sekali tak menunjukkan secara eksplisit tentang haramnya ucapan
Selamat Natal. Apakah mengucapkan Selamat Natal merupakan tindakan kekufuran
yang dimaksud ayat itu? Ayat itu sendiri hanya berbicara tentang sesuatu yang
umum saja, tidak secara spesifik mengenai soal ucapan Selamat Natal.
Mendasarkan keharaman ucapan itu pada ayat tersebut merupakan hasil penafsiran
yang dilakukan oleh seorang penafsir, yaitu Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim.
Di seberang dua ulama tadi, ada sejumlah
ulama dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang berpendapat lain. Bagi
mereka, umat Islam boleh menyampaikan ucapan Selamat Natal. Mereka memakai ayat
60:8-9 sebagai hujjah atau argumen penyokong. Secara garis besar, ayat itu
mengatakan bahwa umat Islam tak dilarang berbuat baik (an tabarruhum) dan adil
(wa tuqsithu ilaihim) terhadap orang-orang non-Muslim yang tak memusuhi mereka.
Mengucapkan Selamat Natal adalah salah satu perbuatan baik, dan karena itu,
sesuai dengan ayat tersebut, tentunya tidak dilarang.
Pendapat yang terakhir ini dikemukakan tak
kurang oleh Dr. Ali Gum’ah, mufti resmi negara Mesir. Pendapat Dr. Gum’ah juga
disokong oleh Syekh Ali Abdul Baqi, Sekretaris Jenderal Majma’ al-Buhuth
al-Islamiyyah, lembaga riset Islam yang berafiliasi dengan Universitas
Al-Azhar.
Syekh Abdul Baqi dengan lantang mengatakan,
“Sesiapa yang berpendapat bahwa memberikan ucapan selamat kepada pengikut agama
di luar Islam adalah haram, harus bisa menunjukkan teks yang jelas yang
menunjukkan hal itu.” (Baca Al-Mashry al-Yaum, 7/1/2012).
Contoh ucapan Natal ini menunjukkan dengan
baik bahwa teks yang sama, yaitu Quran, dipahami dan ditafsirkan secara
berbeda, dan kemudian juga melahirkan dua pendapat yang berbeda pula. Contoh
ini mendedahkan ke kita, bahwa ketunggalan teks suci tak menjamin ketunggalan
tafsiran. Jika semua umat Islam kembali memakai Quran, tidak dengan sendirinya
mereka akan mempunyai pendapat yang sama. Perbedaan akan selalu muncul. Kenapa?
Sebab tafsir mempunyai watak antropomorfis alias manusiawi, sebab ia diproduksi
oleh manusia. Dan setiap yang manusiawi akan berwatak plural.
Mana di antara dua pendapat itu –yang satu
mengharamkan, yang satunya membolehkan ucapan Natal—yang sesuai dengan Quran,
wong keduanya sama-sama memakai teks suci yang sama? Jawaban atas pertanyaan
ini tak bisa dicari dalam teks Quran, tetapi dalam sumber lain, yakni
pertimbangan kemaslahatan umum (maslahat ‘ammah). Dan kita tak boleh lupa,
kemaslahatan umum pada dasarnya adalah bagian dari ajaran utama Quran. Memakai
prinsip kemaslahatan umum sebagai dasar dalam penalaran agama, dengan demikian,
tak bertentangan dengan Quran itu sendiri.
Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Ali Gum’ah,
tukar menukar ucapan selamat dalam konteks perayaan hari raya keagamaan akan
memperkuat kesatuan nasional, serta menghindarkan kehidupan sosial yang penuh
kecurigaan dan salah paham. Keduanya tentu merupakan kemaslahatan umum (common
good) yang patut dipertimbangkan.
Dalam pandangan saya, menyadari dimensi
antropomorfis dalam penafsiran teks suci akan banyak membantu golongan-golongan
yang berbeda dalam komunitas agama tertentu untuk bersikap rendah hati, tidak
saling menuduh “menyimpang/sesat” yang lain.
Sebab, yang suci toch hanyalah teks.
Sementara tafsiran atas teks itu, tidak. Cekcok berkepanjangan biasanya muncul,
antara lain, karena satu pihak menyucikan tafsiran mereka begitu rupa sehingga
sama kedudukannya dengan teks suci itu sendiri.
Jika tafsiran yang berwatak antropomorfis
dimakzulkan dari tahta kesuciannya, tentu pengikut tafsiran itu lebih cenderung
tidak akan bersikap absolutistik atau mutlak-mutlakan. Wa ‘l-Lahu a’lam bi
al-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar