Tiga
Pelajaran tentang Cinta
Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITÉ PLURIDISCIPLINAIRES PANTHÉON-SORBONNE
Sumber
: KOMPAS, 3 Desember 2011
Dua
tokoh pemikir Barat, Plato dan Rousseau, yang buah pikirannya turut memengaruhi
”republik” sebagai bentuk negara dan ”demokrasi” selaku politik yang terkait
dengan cara penataan dan penyelenggaraan republik, tidak lupa membahas cinta
pribadi antara pria dan wanita.
Berdasar
tulisan para pujangga mengenai ”cinta”, dapat diketahui bahwa hanya ada satu
jenis cinta, tetapi jutaan kopinya yang berbeda. Ada sejumlah cinta sejati
sesuai penampilan sejumlah rasa: setiap orang membicarakannya, tetapi tak semua
melihatnya.
Cinta
menyentuh semua bidang kesinambungan karena obyek cinta adalah keabadian.
Aspirasi keabadian cinta ini tidak berasal dari spiritualisasi apriori, tetapi
dari kenyataan bahwa orang yang bercinta berhasrat memiliki terus-menerus apa
yang pener.
Pelajaran Pertama dan Kedua
Baik
Plato maupun Rousseau sama- sama memberikan posisi sentral pada cinta dalam
karya masing-masing, tetapi sulit menemukan dua erotika yang lebih berbeda
kedua kesamaan itu. Hal pertama bersifat aristokratis dan sangat homoseksual,
sedangkan yang kedua sangat terkait dengan ideal demokratis dan betul-betul
heteroseksual.
Bagi
sang pemikir Yunani, cinta tidak harus timbal-balik dan perbedaan antara yang
mencintai dan yang dicintai tetap bertahan seperti apa adanya. Cinta yang
dipikirkan Rousseau justru bermakna hanya berkait ketimbalbalikan tadi, di mana
pengalaman percintaan dari yang mencintai adalah serba majemuk, sedangkan ia
sungguh unik bagi yang dicintai.
Perbedaan
juga melekat pada tujuan cinta yang ditetapkan oleh kedua sang pemikir. Dalam
perspektif platonis, cinta menuntun ke kehidupan filosofis. Bagi Rousseau,
cinta merupakan dasar keberahian yang tak terelakkan bagi kehidupan politik ke
arah kebebasan.
Keunikan
pemikiran Plato tecermin pada julukan ”cinta platonis”, yaitu sejenis cinta
yang diagungkan, menjauhi realitas jasmaniah guna dikaitkan pada suatu
keindahan yang lebih esensial. Suatu pelajaran cinta yang pasti sulit diterima
oleh manusia ”modern” sekarang.
Plato
bukan tidak mengakui daya tarik keindahan tubuh. Namun, bagi sang filosof,
pelaksanaan cinta yang terbaik adalah suatu gerakan pengagungan berupa
meningkatkan cinta pada keindahan tubuh hingga ke titik perenungan terhadap
keindahan. Dengan kata lain, cinta platonis berada bukan pada penikmatan fisik,
tetapi dalam pencarian perfeksi.
Keunikan
pemikiran Rousseau adalah pengerahan ke sistem politik tiga hasrat: saling
peduli, cinta, dan patriotisme. Percintaan suami istri menduduki posisi
sentral, merupakan satu-satunya hasrat yang bisa mengaitkan kawula pada tanah
airnya. Melalui perkawinan, dengan membangun sebuah keluarga, setiap orang
tunduk pada kontrak sosial. Dalam formulasi dari kontrak ini, setiap pengontrak
membawahkan kebebasannya pada kemauan umum yang dihasilkan oleh kontrak itu.
Berkat formulasi ini terbentuk satu korps sosial tanpa menyinggung keberadaan
sang pemimpin yang membawahinya.
Inilah
keorisinalan Rousseau dalam tradisi kontraktualis: di sini para anggotanya yang
terpisah-pisah tak menyatu di bawah otoritas seorang raja atau seorang kepala
selaku pemimpin. Mereka menyatu sendiri, bergabung pada apa yang mereka bentuk.
Kontrak ini bukanlah ”kontrak penaklukan”, tetapi ”penyerahan pada
kolektivitas” yang diciptakan oleh kontrak itu sendiri, yaitu rakyat yang
berdaulat: dengan membentuk diri selaku rakyat, rakyat ini tetap berkeadaan
bebas.
Pelajaran Ketiga
Maka,
saya anggap perlu menyampaikan pelajaran yang ketiga tentang cinta mengingat
kita, rakyat Indonesia, perlu pemimpin. Natur dari pemimpin ini seharusnya
sesuai bentuk negara seperti dikehendaki diktum kontrak politik kita, UUD 1945,
dan dengan prinsip demokrasi seperti ditegaskan oleh para reformis.
Bentuk
negara Indonesia adalah republik. Pemimpinnya dipilih rakyat, lalu ia
dinobatkan jadi presiden. Demi pelaksanaan fungsi kepresidenan, dibentuk
kabinet yang terdiri atas menteri-menteri selaku pembantunya. Pilihan menteri
bisa berdasarkan kemampuan kerja dan/atau atas usulan parpol yang turut
berkoalisi. Asas kekerabatan tentu tak pantas dipakai.
Pertimbangan terakhir
ini harus dielakkan karena bisa jadi preseden buruk dalam membangun kekuatan
politik, lebih-lebih di kabinet, pemerintahan tertinggi dari republik yang
maunya demokratis.
Namun,
yang buruk dan tercela ini sudah terjadi di NKRI, walaupun secara tidak
sengaja. Presiden dan Menko Perekonomian dari parpol yang berbeda menjadi
berbesan sebagai akibat perkawinan anak-anak mereka. Akibat ini perlu secepat
mungkin ditiadakan sebelum nasi telanjur jadi bubur, sebelum diam-diam terjadi
koalisi parpol berdasar perbesanan. Pembenahan ”akibat” perlu karena ”sebabnya”
tidak mungkin dibatalkan. Perkawinan Ibas-Aliya tak boleh diganggu gugat karena
ia berdasarkan cinta murni.
Presiden
tidak bisa diminta mengundurkan diri karena dia adalah hasil pilihan rakyat.
Maka, Menko Perekonomian sebaiknya keluar dari jajaran kabinet, dengan lapang
dada, demi mencegah penodaan terhadap asas republik dan citra demokrasi. La
noblesse oblige! Sikap kesatria ini pasti bisa menjadi nilai tambah apabila dia
mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu mendatang.
Bukan
rahasia bahwa praktik parpol cenderung mengubah ”demokrasi” jadi ”aristokrasi”.
Pengunduran diri Menko Perekonomian bisa menyetop pemelesetan ”republik”
menjadi ”de facto monarki”. Bukankah bentuk-bentuk protokoler kenegaraan kita
sudah menjurus ke arah ”republik feodal”?
Sistem
kerajaan sudah biasa membuat perkawinan agung menjadi dasar pembentukan
kekuatan politik dari penguasa negara. Dalam dunia bisnis lazim dilakukan
perkawinan anggota keluarga demi pengukuhan kekuatan berbisnis. Hal ini tidak
boleh terjadi di NKRI yang bersistem pemerintahan demokratis. Sebab,
perkerabatan melalui perkawinan bisa menimbulkan bias dalam pengambilan
keputusan yang reasonable, apalagi dengan berlakunya kebiasaan ”rikuh pakewuh”.
Ajaran
ketiga tentang cinta ini bukan dimaksudkan untuk menggurui, melainkan untuk
mengingatkan agar politikus dan pejabat publik tidak bertindak semau gue.
Sesekali bisikan nurani perlu didengar dan tidak terus-menerus menyalahgunakan
ketidaktahuan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar